"Tenang saja! Aman!" Amara seolah-olah mengikuti permintaan Evan, padahal ia tidak bisa melihat sahabatnya terpuruk seperti itu.
***Gustav berdiri di depan jendela, ia pandangi kota Melbourne. Ponsel yang tadi ia gunakan untuk berkomunikasi, ia genggam kuat-kuat."Dilara," gumamnya tersenyum simpul.Pikiran Gustav mengangan-angan tentang awal mula dia bertemu dengan Dilara. Tanpa sepengetahuan siapa pun, Gustav dari awal menyukai Dilara. Bahkan Evan pun.Perjumpaan pertama kali yang tidak disengaja saat di dekat ruang rektorat kampus kala itu."Maaf, saya mau ke ruangan administrasi. Letaknya dimana ya, Mas?" Dilara yang saat itu kebingungan, mencari ruangan untuk mengurus beasiswanya.Gustav tak mengedipkan mata sedetik pun melihat gadis dihadapannya, gadis lugu dan polos membuat hatinya berdesir pada pandangan pertaman."Mas? Bisa tunjukkan saya dimana letak ruangan administrasi?" ulang Dilara yang melih"Aku tidak bisa bertindak gegabah, aku harus memikirkan nasib Dilara nantinya bagaimana. Aku lebih menyayangkan Dilara daripada Evan." Gustav masih bergelut dengan pikirannya sendiri di luar ballroom hotel tersebut. Sekembalinya Gustav dari luar, Gustav memindai ruangan yang banyak dihiasi lampu dan bunga-bunga sebagai dekorasi itu dengan seksama. Tapi objek yang dia cari tak ada lagi di ballroom. Gustav menghampiri Amara dan Ridho yang berada di atas kursi pelaminan. "Kamu tahu di mana mereka?" tanya Gustav dengan raut wajah gusar. "Mereka sudah pulang dari tadi," jawab Amara dan Ridho serempak. Mendengar jawaban itu pun, riak wajah Gustav menjadi pucat pasi. Ia jalan menuruni anak tangga panggung mempelai, dan mencari kursi kosong, ia hempaskan bokongnya di kursi kosong tersebut. Gustav menarik napas dalam dan mengeluarkannya secara teratur. Dadanya menjadi tidak tenang, berdebar tak karuan, gelisah membayangkan Dilara sekembalinya
Evan yang menyadari ponsel Dilara tertinggal di rumah menjadi kalut. Bahkan meetingnya berjalan alot. Pikirannya bercabang. "Bagaimana, Pak Evan?" tanya Pak Rahardi saat pengajuan proposal yang sudah mereka bahas tadi. Evan mengerjapkan matanya, lamunannya buyar. "Oh, maaf, Pak," jawabnya canggung. "Bagaimana kalo saya pelajari dulu, Pak?" lanjutnya kikuk. Rahardi berdecak kecil, sudah capek-capek asistennya menerangkan tapi yang diterangkan malah melamun ."Baiklah, saya tunggu persetujuan anda nanti sore," balas Rahardian."Terima kasih, Pak," ucap Evan menyunggingkan senyum tipis. Sehari ini Evan uring-uringan sendiri, bahkan tadi sudah berniat membatalkan meetingnya tapi tidak bisa ia batalkan begitu saja. Selepas kepergian Rahardi, Evan mengendurkan dasinya dan membuka dua kancing kemejanya. Pikirannya melalang buana. Entah seberapa besar efek ponsel tersebut sehingga membuat dia kalang kabut.
"Ternyata kamu sangat menyukai permainan kasar seperti ini, Istriku," ejek Evan dengan seringaian di wajahnya. "Nanti bisa kita ulang lagi dengan yang lebih kasar dan menuntut," lagi ucapan Evan sangat merendahkannya. Dilara melengoskan wajahnya, enggan menatap wajah suaminya dan segera bangkit dari tidurnya. Dengan gerakan cepat, Dilara menyambar selimut, benda yang menutupi tubuh mereka selama bergemul tadi. Mereka? Bukankah hanya Evan saja yang bisa merasakan turn on sedangkan Dilara tertekan dibawah kungkungannya?Dengan gerakan cepat pula, tangan Evan menyambar selimut yang menutupi tubuh Dilara. Dilara terhuyung, dengan gerakan cepat, Evan menangkap tubuh itu sebelum jatuh ke lantai. "Kenapa buru-buru, Sayang? Bukankah tadi aku bilang mau mengulanginya lagi? Atau kamu mau permainan kita lanjutkan di sana?" lirik Evan pada pintu kamar mandi. Dilara menelan salivanya dengan susah payah. Dengan gerakan kaku dia gerakkan kepala meng
"Mas, aku mau minta izin pergi ketemu dengan Amara," pesan sudah terkirim.Dilara menunggu dengan hati berdebar. Menantikan suaminya segera membalas pesannya. "Ya!" saat membaca pesan balasan dari Evan, Dilara dengan senang hati mempersiapkan dirinya dan Julia untuk segera pergi menemui Amara. ***Saat melihat Dilara memasuki ruangan restoran dengan kesusahan, Amara bangkit dari duduknya membantu Dilara membawakan tas diapers baby. "Tidak usah repot-repot, Ra," tolak Dilara halus. "Bantu saja gak masalah kok," balas Amara menandakan dirinya tidak keberatan membantu Dilara."Gimana acara bulan madunya?" tanya Dilara antusias. Amara menyunggingkan senyum sebelum menjawab. "Luar biasa, Dil," pekiknya bersemu merah. "Baguslah, kalau begitu, Ra. Aku ikut senang," sahut Dilara. "Ngomong-ngomong, kamu gak kerja lagi, Ra?" tanya Dilara penasaran. "Kerja, Dil. Ini masih cuti, Dil," jawab Amara me
"Saya terima nikah dan kawinnya Dilara Abraham binti Abraham Wahyudi dengan perhiasan emas seberat 88 gram dan uang sebesar 150 juta di bayar tunai." suara lantang Evan yang sedang berjabat tangan dengan Bapak, menjawab ikrar ijab kabul yang di saksikan oleh para saksi dan tamu."Sah?" tanya penghulu pada saksi kedua belah pihak. Dari pihak mempelai laki-laki dan pihak perempuan."Sah" jawab saksi-saksi tersebut.Semua orang yang hadir pun bersuka cita mendengar kata "SAH" tersebut. Termasuk Bapak, Beliau memperlihatkan senyuman damai di wajahnya. Beliau begitu bahagia bisa melihat anak gadis satu-satunya menikah di usia yang hampir memasuki 30 tahun. Demi Bapak orang tua satu-satunya yang aku miliki, aku belajar ikhlas untuk menerima pinangan dari Evan. Mulai hari ini statusku sudah berganti yang dulunya seorang wanita lajang, sekarang sudah berganti menjadi Nyonya. Yang dulunya orang sering memandang sebelah mata, kini mereka hormat. Ya, ini semua karna Evan. Harta dan kedudukan
"Diammu, aku anggap sebagai persetujuan Dilara." ucap Evan. "Aku sudah menunggu seperti ini sejak kamu masuk ke dalam kehidupanku lagi, Dilara." lanjutnya lagi dengan suara tercekat. Dilara diam sejenak menanggapi permintaan Evan, setengah hati mengiyakan, setengah hati ingin menolak. Tapi jika menolak pun itu hal mustahil bagi Dilara, mana mungkin bisa?Dilara pun pasrah. "Silahkan, lakukan apa yang kamu inginkan, Mas." Dilara pun akhirnya memberikan ijin pada Evan. Dilara tidak bisa mengelak dari permintaan Evan. Mereka sama-sama sudah dewasa usia juga sama, latar pendidikan, dan pengaruh pergaulan mereka membahas hal-hal seperti seks bukanlah hal tabu bagi mereka yang pernah hidup di negara 'bebas'. Meskipun mereka pernah hidup di negara bebas seperti itu, tapi pendidikan moral mereka tetap berpegang teguh sesuai ajaran yang telah mereka terima sejak kecil. ***"Kamu bisa jalan, Dil?" ucapnya khawatir pada kondisi Dilara pagi ini yang berjalan terlihat aneh. "Bisa, Mas. Aku bu
"Kenapa memangnya?" tantang Gustav begitu saja. Dilara yang mendengar pun mendongakkan kepala menatap Gustav. Di mata Gustav terlihat jelas ada luka yang menganga. "Jangan cemburu, itu hanya cerita masa lalu." sengaja Gustav memprofokasi Evan yang sedang cemburu. "Sebaiknya kita pergi saja." ucap Dilara enggan jika harus mengorek masa lalu mereka. Di korek pun tidak akan ada perubahan apa pun. "Kita juga harus check out kan?" Dilara mengingatkan Evan agar segera kembali ke kamar untuk berkemas pakaian dan pulang mengantarkan sang ayah. "Kami duluan." Evan berpamitan dan merangkul Dilara secara posesif. Mereka pun berjalan menjauh dari tempat yang mereka duduki tadi. Gustav yang melihat itu melengos ada rasa tidak nyaman menghampiri dadanya, Gustav kalah langkah dari Evan. Seandainya dia bisa lebih dulu, hanya sesal yang kini bisa di lakukannya. ***Saat mereka sedang berkemas, hp Dilara berbunyi menandakan ada pesan masuk. Melalui pop-up Dilara tau siapa si pengirim pesan. Anonym
Dilara yang mendengar usulan Evan pun mendongakkan kepalanya. "Mas, aku lagi berduka." ucapnya lirih. "Aku tau, tapi aku tidak bisa melihatmu begini, Dil." sanggah Evan dengan keputusannya. "Baiklah tiga hari kita di sini, Dil. Setelah itu kita kembali ke Jakarta." Evan sedikit demi sedikit akan menunjukkan taringnya pada Dilara. Dilara hanya mampu menganggukkan kepala pasrah. Dan jika terlalu lama berada di desa Dilara tidak yakin bisa berkembang lagi, dia harus mencari kesibukan untuk mengalihkan hatinya yang sedang berduka. ***Tiga hari sudah mereka di desa sekarang waktunya kembali ke kota. Setelah cuti panjang Dilara di berikan ijin untuk bekerja di perusahaan Evan lagi. Perusahaannya sedang menangani proyek baru pembangunan jalan tol. "Sudah selesai, Dil?" tanya Evan tanpa memandang Dilara, masih fokus dengan tabletnya. "Ayo." Dilara pun sudah merapikan tempat sarapan mereka dan sudah siap untuk berangkat kerja bareng. Tidak ada suara satu sama lain yang mengisi mobil ter