"Ternyata kamu sangat menyukai permainan kasar seperti ini, Istriku," ejek Evan dengan seringaian di wajahnya. "Nanti bisa kita ulang lagi dengan yang lebih kasar dan menuntut," lagi ucapan Evan sangat merendahkannya.
Dilara melengoskan wajahnya, enggan menatap wajah suaminya dan segera bangkit dari tidurnya. Dengan gerakan cepat, Dilara menyambar selimut, benda yang menutupi tubuh mereka selama bergemul tadi.Mereka? Bukankah hanya Evan saja yang bisa merasakan turn on sedangkan Dilara tertekan dibawah kungkungannya?Dengan gerakan cepat pula, tangan Evan menyambar selimut yang menutupi tubuh Dilara. Dilara terhuyung, dengan gerakan cepat, Evan menangkap tubuh itu sebelum jatuh ke lantai."Kenapa buru-buru, Sayang? Bukankah tadi aku bilang mau mengulanginya lagi? Atau kamu mau permainan kita lanjutkan di sana?" lirik Evan pada pintu kamar mandi.Dilara menelan salivanya dengan susah payah. Dengan gerakan kaku dia gerakkan kepala meng"Mas, aku mau minta izin pergi ketemu dengan Amara," pesan sudah terkirim.Dilara menunggu dengan hati berdebar. Menantikan suaminya segera membalas pesannya. "Ya!" saat membaca pesan balasan dari Evan, Dilara dengan senang hati mempersiapkan dirinya dan Julia untuk segera pergi menemui Amara. ***Saat melihat Dilara memasuki ruangan restoran dengan kesusahan, Amara bangkit dari duduknya membantu Dilara membawakan tas diapers baby. "Tidak usah repot-repot, Ra," tolak Dilara halus. "Bantu saja gak masalah kok," balas Amara menandakan dirinya tidak keberatan membantu Dilara."Gimana acara bulan madunya?" tanya Dilara antusias. Amara menyunggingkan senyum sebelum menjawab. "Luar biasa, Dil," pekiknya bersemu merah. "Baguslah, kalau begitu, Ra. Aku ikut senang," sahut Dilara. "Ngomong-ngomong, kamu gak kerja lagi, Ra?" tanya Dilara penasaran. "Kerja, Dil. Ini masih cuti, Dil," jawab Amara me
"Saya terima nikah dan kawinnya Dilara Abraham binti Abraham Wahyudi dengan perhiasan emas seberat 88 gram dan uang sebesar 150 juta di bayar tunai." suara lantang Evan yang sedang berjabat tangan dengan Bapak, menjawab ikrar ijab kabul yang di saksikan oleh para saksi dan tamu."Sah?" tanya penghulu pada saksi kedua belah pihak. Dari pihak mempelai laki-laki dan pihak perempuan."Sah" jawab saksi-saksi tersebut.Semua orang yang hadir pun bersuka cita mendengar kata "SAH" tersebut. Termasuk Bapak, Beliau memperlihatkan senyuman damai di wajahnya. Beliau begitu bahagia bisa melihat anak gadis satu-satunya menikah di usia yang hampir memasuki 30 tahun. Demi Bapak orang tua satu-satunya yang aku miliki, aku belajar ikhlas untuk menerima pinangan dari Evan. Mulai hari ini statusku sudah berganti yang dulunya seorang wanita lajang, sekarang sudah berganti menjadi Nyonya. Yang dulunya orang sering memandang sebelah mata, kini mereka hormat. Ya, ini semua karna Evan. Harta dan kedudukan
"Diammu, aku anggap sebagai persetujuan Dilara." ucap Evan. "Aku sudah menunggu seperti ini sejak kamu masuk ke dalam kehidupanku lagi, Dilara." lanjutnya lagi dengan suara tercekat. Dilara diam sejenak menanggapi permintaan Evan, setengah hati mengiyakan, setengah hati ingin menolak. Tapi jika menolak pun itu hal mustahil bagi Dilara, mana mungkin bisa?Dilara pun pasrah. "Silahkan, lakukan apa yang kamu inginkan, Mas." Dilara pun akhirnya memberikan ijin pada Evan. Dilara tidak bisa mengelak dari permintaan Evan. Mereka sama-sama sudah dewasa usia juga sama, latar pendidikan, dan pengaruh pergaulan mereka membahas hal-hal seperti seks bukanlah hal tabu bagi mereka yang pernah hidup di negara 'bebas'. Meskipun mereka pernah hidup di negara bebas seperti itu, tapi pendidikan moral mereka tetap berpegang teguh sesuai ajaran yang telah mereka terima sejak kecil. ***"Kamu bisa jalan, Dil?" ucapnya khawatir pada kondisi Dilara pagi ini yang berjalan terlihat aneh. "Bisa, Mas. Aku bu
"Kenapa memangnya?" tantang Gustav begitu saja. Dilara yang mendengar pun mendongakkan kepala menatap Gustav. Di mata Gustav terlihat jelas ada luka yang menganga. "Jangan cemburu, itu hanya cerita masa lalu." sengaja Gustav memprofokasi Evan yang sedang cemburu. "Sebaiknya kita pergi saja." ucap Dilara enggan jika harus mengorek masa lalu mereka. Di korek pun tidak akan ada perubahan apa pun. "Kita juga harus check out kan?" Dilara mengingatkan Evan agar segera kembali ke kamar untuk berkemas pakaian dan pulang mengantarkan sang ayah. "Kami duluan." Evan berpamitan dan merangkul Dilara secara posesif. Mereka pun berjalan menjauh dari tempat yang mereka duduki tadi. Gustav yang melihat itu melengos ada rasa tidak nyaman menghampiri dadanya, Gustav kalah langkah dari Evan. Seandainya dia bisa lebih dulu, hanya sesal yang kini bisa di lakukannya. ***Saat mereka sedang berkemas, hp Dilara berbunyi menandakan ada pesan masuk. Melalui pop-up Dilara tau siapa si pengirim pesan. Anonym
Dilara yang mendengar usulan Evan pun mendongakkan kepalanya. "Mas, aku lagi berduka." ucapnya lirih. "Aku tau, tapi aku tidak bisa melihatmu begini, Dil." sanggah Evan dengan keputusannya. "Baiklah tiga hari kita di sini, Dil. Setelah itu kita kembali ke Jakarta." Evan sedikit demi sedikit akan menunjukkan taringnya pada Dilara. Dilara hanya mampu menganggukkan kepala pasrah. Dan jika terlalu lama berada di desa Dilara tidak yakin bisa berkembang lagi, dia harus mencari kesibukan untuk mengalihkan hatinya yang sedang berduka. ***Tiga hari sudah mereka di desa sekarang waktunya kembali ke kota. Setelah cuti panjang Dilara di berikan ijin untuk bekerja di perusahaan Evan lagi. Perusahaannya sedang menangani proyek baru pembangunan jalan tol. "Sudah selesai, Dil?" tanya Evan tanpa memandang Dilara, masih fokus dengan tabletnya. "Ayo." Dilara pun sudah merapikan tempat sarapan mereka dan sudah siap untuk berangkat kerja bareng. Tidak ada suara satu sama lain yang mengisi mobil ter
"Apa ada yang menelpon, Mas?" tanya Dilara yang keluar dari kamar mandi, kaget melihat Evan sedang memegang hpnya. Tapi Dilara harus bersikap santai, seolah-olah tidak ada apa-apa. Memang benar tidak ada apa-apa selain pesan penting dan dari Anonymous. Tentang Anonymous apa mungkin Dilara mendapat pesan dari dia?Evan pun menunjukkan layar ponsel yang dia pegang pada Dilara. "Ada pesan masuk." katanya dan dia berlalu begitu saja meninggalkan Dilara. "Oh. Iya, Mas." ucap Dilara buru-buru membuka hpnya. Senyum tipis terbit begitu saja setelah membaca pesan tersebut.Dari awal Dilara sudah nyaman dengan 'Anonymous', karna dia lah yang sering memberikan perhatian kecil kepada Dilara sewaktu masa kuliah di Jakarta. Hanya saja dia selalu menyamarkan diri. Setiap Dilara menanyakan dia siapa dan keberadaannya dia selalu mengelak tidak ingin diketahui oleh siapa pun. Pernah dulu ketika Dilara mencoba mencari tahu siapa dia lewat mahasiswa IT ta
"Aku harus melakukan sesuatu." ucap Evan bangkit dari tempat tidur dan memakai pakaian yang tadi telah di lepasnya. Evan pun menyambar kunci mobil yang ada di atas meja nakas. "Semoga perkiraanku benar, kalo Dilara sedang hamil tak akan aku lepaskan barang secuil pun." ucap Evan yang sudah duduk di belakang kemudinya. Jam sudah menunjukkan di angka 23.30 WIB, Evan pun bergegas mencari apotek 24 jam untuk membelikan tes peck pada sang istri. "Mbak, ada tes peck?" tanyanya kepada salah satu penjaga apotek tersebut. "Iya, ada, Pak. Bapak mau cari yang bagaimana?" tanya penjaga apotek sesopan mungkin. "Yang paling bagus, Mbak." jelas Evan memilih tes peck yang seakurat mungkin untuk memastikan jika istrinya benar-benar sedang hamil. "Ini, Pak." sang pegawai apotek menyodorkan tes peck dan Evan menyodorkan uang sebagai alat transaksi. ***Sesampainya di rumah Evan sudah mendapati sang istri tertidur pulas. Dia menyunggingkan
"Kenapa kalian begitu kaget?" tanya Evan yang heran melihat ekspresi Gustav dan Ridho. "Sebelum menikah gak kamu perkosa kan?" bisik Ridho tepat di telinga Evan. "Bacot lo!" Evan pun berlalu masih memeluk pinggang Dilara secara posesif. "Mas, aku mau ke kamar mandi." pamit Dilara yang langsung berlari ke kamar mandi. Adegan tersebut tidak luput dari dua pasang mata yang jaraknya tidaklah jauh dari mereka. Sesampainya di kamar mandi, Dilara memutahkan semua sarapannya. "Sudah?" tanya Evan yang sudah menunggui Dilara dari tadi di depan toilet. "Iya." jawab Dilara lemas. "Aku antar ke kamar, jika mau apa-apa langsung pesan saja servis room." saran Evan yang dianggguki Dilara."Mas, nanti aku ingin keluar melihat pemandangan di luar." pinta Dilara sedikit merajuk. "Tidak, Dilara. Kamu tetap di kamar tunggu aku sampai selesai meeting." tegas Evan sekali lagi jika dia tidak mau di tolak atau perintahn