Share

Aku Salah Apa?

Suamiku Simpanan Tante-tante 9

Aku Salah Apa?

"Halah dasar kamu itu banyak alasan! Pokoknya aku mau sebelum jam delapan malam, uang itu sudah kembali padaku! Jika tidak, maka aku akan mempermalukan kamu dan juga Saleh di media sosial dan juga di tempat kerja! Dasar tak tahu diuntung!"

Mbak Desi rupanya makin meradang saat ini. Entah kenapa dia menjadi jahat seperti itu. Apa semua ini hanya karena rasa cemburu karena Mas Mamat memberiku uang? Atau ada hal lain yang membuat Mbak Desi sepetinya kini amat membenciku?

"Tolong jangan lakukan itu, Mbak. Aku janji hari ini akan mengembalikan uang itu," ucapku spontan, karena tentu saja aku tak mau jika nanti akan dipermalukan di media sosial.

Jika aku saja yang dipermalukan oleh Mbak Desi tak masalah, tetapi jika fitnah itu nantinya berimbas pada Mas Saleh, tentu aku tau akan mau hal itu. Jadi lebih baik aku iya kan saja permintaan kakak iparku itu. Entah nanti aku dari mana akan mendapatkan uang, atau memang jika sudah sangat terpaksa, aku pun akan menggunakan uang pemberian dari Mas Saleh saja dulu.

"Oke! Aku memberi kamu kepercayaan untuk hari ini saja! Dan ingat setelah ini kamu langgar, tak akan ada maaf lagi bagimu! Susah sekarang mendingan kamu kumpulkan uang untuk melunasi semua hutang kamu itu! Jadi orang jangan mau anaknya saja dong!"

Setelah mengucapkan kata-kata yang pedas itu, Mbak Desi pun langsung mengakhiri panggilan itu. Ada rasa marah dan juga amat kecewa dengan apa yang saat ini suami dari kakakku itu lakukan.

Kurasa apa yang saat ini dilakukan oleh Mbak Desi itu sudah sangat keterlaluan, aku jadi berpikir untuk menceritakan semua ini pada Mas Mamat. Toh kurasa aku pun benar, jadi rasanya enak ada salahnya jika aku mengadukan kelakuan istrinya itu pada Mas Mamat.

Segera ku kirimkan sebuah chat pada kakak kandungku satu-satunya itu. Mumpung rasa dongkol di hati ini makin menjadi, aku pun ingin membagi rasa ini pada Mas Mamat.

[Mas ... sudah bangun?]

Ku kirim sebuah pesan singkat dulu, sebagai pancingan saja dulu. Ternyata Mas Mamat saat ini langsung membaca pesanku itu, dan dia pun terlihat sedang mengetikkan pesan balasan untukku.

[Tentu sudah dong, Ga. Ada apa? Semua baik baik saja bukan?]

Membaca balasan pesan dari Mas Mamat itu, kurasa saat ini saudara kandungku satu-satunya itu mulai khawatir. Sejak dahulu aku dan Mas Mamat memang dekat sekali, segala keluh kesah dan apa pun yang terjadi, selalu aku bagi dengannya. Karena dia orang yang sangat bijaksana, alhasil kakakku itu selalu sukses membuat hatiku kembali tenang.

[Alhamdulillah semua baik-baik saja kok, Mas. Aku ingin membicarakan suatu hal dengan kamu Mas. Ini semua tentang Mbak Desi.] Balasku yang langsung to the point.

Ternyata balasan pesan dariku itu membuat rasa penasaran pada Mas Mamat. Buktinya saat ini dia tak membalas pesanku itu, tetapi dia malah langsung coba menghubungiku. Aku pun segera menerima panggilan itu, karena kurasa bicara melalui sambungan telepon akan lebih enak dari pada hanya dengan saling berkirim pesan.

"Assalamualaikum, Mas," ucapku memulai panggilan dengan Mas Mamat melalui sambungan telepon ini.

"W* alaikum salam, Mega. Ada apa dengan Desi?" Mas Mamat pun ternyata langsung menuju pada pokok permasalah.

Pertanyaan Mas Mamat itu tidak kasar, malah terasa lembut dan ada perhatian di sana. Tetapi entah mengapa kurasa tak enak hati sendiri, jika harus membicarakan kelakuan buruk Mbak Desi pada suaminya ini. Karena aku pun amat tahu jika selama ini Mas Mamat sangat mencintai istrinya itu. Dengan aku mengadu, apa ini berarti aku harus membuat mereka bertengkar?

"Mega ... mengapa kamu diam saja? Apa Desi menyakiti kamu?" Mungkin karena aku sejak tadi hanya berdiam, Mas Mamat pun kembali menanyakan hal itu.

"Ah tidak kok, Mas. Mbak Desi baik kok sama aku," ucapku sedikit gugup,"hanya saja aku mau mengabarkan jika tas pesanannya sudah ready. Aku mengatakan Hal ini kepada kamu karena sepertinya nomor Mbak Desi nggak aktif."

Kuurungkan niat untuk mengadukan kelakuan Mbak Desi itu, karena aku pun tak enak jika membuat keluarga Kakakku itu nantinya jadi berantakan. Mas Mamat sebagai seorang abang sudah pasti sangat menyayangiku. Tetapi sebagai seorang suami pun dia pasti sangat mencintai istrinya. Dulu pernah Mbak Desi ingin meminta cerai saja, Mas Mamat pernah frustasi dan malah ingin mengakhiri hidupnya.

"Hahaha ... Jadi kamu hanya ingin menyampaikan pesanan si Desi saja, Ga? Kukira ada apa, kok tadi di awal kamu rasanya serius sekali?" tanya Mas Mamat lagi.

"Iya, Mas. Ya maaf, itu semua karena aku khawatir sama Mbak Desi, karena nomornya nggak aktif, Mas. Hehehe. Kalau begitu sudah dulu ya, Mas. Ini si Kevin nangis. Wassalamu alaikum."

"Iya deh iya. Nanti aku sampaikan ya. Waaalaikum salam."

Entah Mas Mamat akan curiga pada sikapku atau tidak, yang pasti aku tak boleh mengatakan hal ini padanya. Karena kurasa hal ini adalah pilihan terbaik. Tepat saat ini juga si Kevin memang terbangun dan menangis, jadi itu bisa menjadi sebuah alasan yang kurasa lumayan tepat sih.

Kini dialihkan perhatian pada Kevin, agar dia tak terus saja menangis. Sekitar lima menit kemudian ponselku kembali bergetar.

[Kamu mau main belakang? Awas kalau sampai kamu ngadu! Aku akan buat dia gila atau mungkin mati sia-sia!]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status