Bibir Lusi terkatup rapat. Mata perempuan berusia tiga puluh empat tahun itu menatap nanar ke arahku, menunjukkan rasa terkejut sebab aku menemukan benda tersebut di dalam tasnya.“Untuk apa kamu menyimpan benda seperti itu, Lusi?!” Sentakku kalap, tidak peduli kalau saat ini keadaan Lusi sedang tidak berdaya. Hati ini sudah terlanjur sakit serta terbakar cemburu.“Itu punya temen!” Jawabnya pelan.Bulsyit!Mana ada seorang teman yang menitipkan kontrasepsi kepada seorang wanita. Memangnya aku kaki-laki bodoh.“Katakan, Lusi. Siapa laki-laki yang tadi bersama kamu, juga beberapa pria yang berkirim pesan dengan kamu. Apa jangan-jangan, selama ini kamu menjual tubuh kepada mereka?!” Mencondongkan badan menatap dalam-dalam netra beningnya.Plak!Panas perih menjalar di pipi kanan serta kiriku, saat tangan Lusi mendarat. Dia terlihat kalap. Mungkin tersinggung dengan ucapanku.“Kenapa mesti tersinggung? Nyatanya banyak chat di ponsel kamu dengan para lelaki hidung belang, bahkan kamu meng
Ah, sepertinya tidak mungkin. Mayla begitu mencintaiku. Buktinya, walaupun sudah tahu aku berkhianat, dia masih mau memberikan hakku sebagai seorang suami. Pasti Mayla belum bisa move on dariku.Karena penasaran, iseng-iseng kubuka sosial media berwarna biru belogo huruf F dan melihat apa saja kegiatan Mayla selama dia menjauh dariku. Pasti isi statusnya hanya ratapan-ratapan pilu. Aku sangat yakin itu.Dan ....Sial!Kenapa semua statusnya malah memamerkan kedekatannya dengan Abraham juga Gus Azmi. Apa maksudnya coba?Apa dia sengaja ingin memanas-manasi aku?Tidak Mayla. Aku tidak akan cemburu melihat kamu bersama kedua manusia sok alim itu. Aku masih lebih hebat dari mereka, bahkan kalau aku mau, saat ini juga aku bisa membawamu kembali ke rumah dan menjauhkan kamu dari kedua laki-laki sok tampan itu.Argh!Melempar semua yang ada di atas meja, hingga berkas-berkas yang belum selesai aku kerjakan berserakan di lantai.“Ibnu, apa-apaan kamu. Kenapa semua berkas-berkas yang ada di me
Drrrttt... Drrrttt... Ponsel dalam saku celanaku terus saja berdering. Lagi. Lusi memanggil. Sambil menahan emosi kugeser tombol hijau, menyapa wanita yang membuat moodku buruk sembari masuk ke dalam. “Mas, jemput sekarang. Aku sudah keluar dari rumah sakit, kamu malah nggak mau jemput aku!” Rutuknya tanpa basa-basi. “Iya, aku jemput sekarang!” jawabku malas. Kembali masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin kendaraan roda empat tersebut untuk menjemput Lusi. Orang lain yang berbuat, malah aku yang suruh repot. “Lama banget, sih?!” sungutnya saat aku menepikan mobil di parkiran rumah sakit. Aku hanya menoleh tanpa berucap sepatah kata pun. “Mana uang aku yang kamu pake buat bayar biaya rumah sakit?” Lusi menodongkan tangan. Aku mendesah kesal. Duit mulu yang ada di dalam otaknya. “Mas! Mana uangnya?!” teriak perempuan berambut keemasan itu membuatku berjingkat kaget. “Nggak ada!” jawabku sambil fokus mengemudi. “Kok bisa nggak ada? Pokoknya aku nggak mau tahu. Ganti uang aku s
#Mayla“Oke. Kalau kamu tidak mau memberikan uang itu. Berarti saya tidak akan menceraikan kamu juga. Supaya status kamu gantung dan tidak ada satu orang pun yang bisa menikahi kamu!” ancam Mas Ibnu, menatap menghunus manikku.Aku menyentak nafas kasar sambil membuang muka. Kebiasaan, hobi sekali mengancam serta menekan istri.Tapi aku tidak akan gentar, Mas. Aku akan mempertahankan hakku dan juga Raihan, tidak akan membiarkan apa yang sudah kita berdua susah payah kumpulkan dinikmati oleh si pelakor.“Aku pastikan hidup kamu tidak akan bahagia, Mayla!” ucapnya lagi sebelum pergi meninggalkan toko bunga tempatku bekerja.“Kamu yang sabar, Mayla. Jangan takut!” Abraham mendekat dan berdiri di sisiku.Aku mengangguk dan tersenyum.“Aku akan selalu melindungi kamu dan juga Raihan!” ucapnya lagi.Aku menoleh menatap wajah tampannya. Lagi. Ada desiran aneh di dada manakala tanpa sengaja pandangan kami saling berserobok. Aku tidak tahu perasaan apa yang sudah bertengger di dada. Apakah itu
“Mayla! Kamu itu kenapa sih?!” Ternyata Abraham mengejar dan mengambil paksa semua barang yang ada di tangan.“Aku mau pulang, Bram. Anak aku nungguin!” ucapku meninggikan nada bicara satu oktaf.“Kan tadi aku sudah bilang. Kita pulang bareng-bareng. Rumah kita searah. Kamu juga pulangnya ke toko aku!” Dia menatap tajam wajahku tanpa ekspresi.Aku menelan ludah sambil memalingkan wajah. Salah tingkah.“Kembalikan barang-barang aku, Bram!” pintaku memelankan nada bicara.“Aku nggak mau!”Ya Tuhan, aku baru tahu kalau laki-laki ini begitu keras kepala. Apa sih maunya Abraham?“Bram. Aku mau pulang. Anak aku nungguin!” Memasang wajah memelas.“Mayla. Kita pulang bareng. Memangnya kenapa sih kalau jamu pulang sama aku? Apa kamu lagi ada janji sama pria lain?”Memutar badan, berlari menuju lift dan turun ke lantai dasar. Dan ketika berada di halaman mal ternyata Athira dan pria itu sudah berdiri di sana.Ya Allah. Maunya dia apa sih? Apa sengaja ingin memanas-manasi aku dengan kekasih baru
Malam kian beranjak larut dan sunyi. Aku membenamkan tubuh ke dalam selimut, mencoba memejamkan mata menjemput lelap, mengistirahatkan badan serta hati yang terasa lelah. Tidak lupa juga mematikan ponsel. Menghindari panggilan masuk dari orang-orang terdekatku.Namun entah mengapa, walaupun berusaha untuk memejamkan mata, hati ini terus saja berkelana. Aku selalu saja memikirkan perempuan yang siang tadi bersama Abraham di mal.Ya Allah. Kenapa aku harus merasa seperti ini?Kenapa aku harus marah melihat dia bersama wanita lain?Dia itu bukan siapa-siapa aku. Dia dekat sama aku juga hanya karena kasihan melihat aku selalu disakiti oleh Mas Ibnu.Kembali membuka mata, menyalakan ponsel memutar murrotal supaya hati merasa tenang. Aku tidak mau terus-menerus memikirkan kaki-laki yang tidak memiliki hubungan apa-apa denganku.Menyibak tirai, membuka pintu ketika sebuah mobil berwarna merah terparkir di depan rumah dan Gus Azmi keluar dari dalam mobil tersebut. Wajah Raihan terlihat sangat
Ponsel dalam tas Gus Azmi terus saja berdering. Pria berpenampilan sederhana itu segera keluar, menerima panggilan dari seseorang di seberang sana dengan wajah terlihat gusar.Ada apa?“May!” Mendesah sebal ketika Abraham menghampiri sambil tersenyum.“Kamu ngapain, Bram. Kirain sudah pulang?” tanyaku sambil merengut.“Lah, aku dari tadi di belakang kamu, loh. Masa kamu nggak tahu?” Alis tebal pria berambut gondrong itu bertaut hingga hampir menyatu.“Memangnya aku ada spionnya. Bisa lihat orang yang ada di belakang?!”Abraham tertawa. Ih, dasar nggak jelas. Memangnya ada yang lucu dan bisa membuat orang tertawa?“Kalau ada Gus Azmi ada aku di sebelah kamu juga nggak kelihatan, May. Dia yang lebih mencolok karena dia itu calon suami kamu!” Dia berujar sambil mengambil posisi mendorong kursi roda, membawa Raihan menemui dokter ortopedi, memeriksakan perkembangan kesehatan kaki anakku.“Dek Mayla, maaf saya harus pulang ke Tegal sekarang. Ada keperluan mendesak di sana. Sekali lagi saya
“Terus, kalau kamu bareng terus sama Athira, aku harus bilang wow, gitu?!” dengkusku sambil mendorong kursi roda membawa Raihan menjauh dari toko bunga.Hatiku benar-benar kesal dibuatnya. Ngapain pakai pamer-pamer kalau malam bareng sama sugar baby-nya, memangnya keren banget apa!Duduk di kursi teras, mendengkus kesal karena ternyata kunci rumahku tertinggal di mobil Abraham.“Kenapa, Mbak Mayla Yasni. Nggak bisa masuk ya?” tanya Abraham sambil nyengir kuda. Nyebelin.Aku hanya diam enggan menyahut. Melipat kedua tangan di dada, mengerucutkan bibir kesal kepada pria berambut panjang itu.“Kamu kenapa sih, May. Akhir-akhir ini kamu terlihat uring-uringan dan sering marah-marah. Apa kamu ada masalah sama Ibnu?” Abraham menarik kursi dan duduk.“Bukan urusan kamu!” sungutku kesal.“Iya, memang bukan urusan aku. Tapi kamu sering bersungut-sungut di depanku. Kalau aku salah, aku minta maaf. Apa jangan-jangan, kamu masih marah gara-gara kejadian di mal tempo hari?!” Dia menatap menyelidik