Bab 7: Pilih Aku atau Dia?
“Hentikan, Sari!” Mas Janu terus menahanku untuk berhenti membekap Desty. Tetapi tubuhku bagai tak mau mengerti. Desty yang kini mengap-mengap dengan rambut yang basah tidak sedikit pun menaruh empati di hatiku.
“Hentikan, Mas bilang hentikan!” teriaknya lagi.
Ditariknya dengan satu hentak tanganku yang sedari tadi menghajar Desty ke udara, dan wanita itu segera luruh ke lantai sembari menangis.
Aku menatap wajah Mas Janu yang kian memerah dengan mata nanar. Perbuatanku yang barusan tentu membuatnya akan semakin membenci diriku.
“Mas ... tolongin aku?!” rintih Desty dari bawah. Tangannya terayun-ayun memohon uluran dari suamiku.
Aku meliriknya sesaat, riasan wanita itu menjadi berantakan, bahkan bulu matanya telah terjatuh ke pipi dengan maskara yang luntur. Tidak ada yang bisa dilakukannya lagi selain meringis ketakutan dan menangis.
Beranjak dari Desty, karyawan-karyawan lain ternyata sudah memenuhi ruangan ini. Mereka menatap ke arahku, seakan-akan aku ini monster buruk rupa, bahkan menaruh iba pada Desty karena kini pria-pria itu berbondong-bondong membantunya berdiri.
Desty terlihat begitu lemah, kedua lututnya seperti tidak punya tenaga, dan aku yakin benar semuanya hanya sandiwara. Dua karyawan pria yang memapah Desty memberi perintah agar segera menghubungi ambulans. Menurut mereka Desty terluka cukup parah hingga harus diberi pertolongan.
Bersamaan dengan Desty yang pergi, tersisa aku, Mas Janu dan Yulia di ruangan ini. Tidak ada satu karyawan pun yang menaruh iba padaku, mereka menilai jika Destylah yang benar dan aku yang salah. Meski marah pun, tidak seharusnya sampai semengerikan ini, begitulah dengungan lebah yang terus terdengar.
“Kamu kelewatan, Sar!” tambah Mas Janu. Luka di hatiku kian melebar, mungkin sebentar lagi akan bernanah lalu membusuk. Pria ini memihak Desty dibandingkan istrinya sendiri yang mengambil jalan pintas demi menyelamatkan rumah tangga.
Aku meneguk sakit itu, mengusap seluruh air mata di kedua belah pipi, “Terserah kamu, Mas! Pergi saja sana sama pria-pria itu, ngejar Desty!” serangku.
“Kenapa ngejawab, Sar? Kamu tahu, kamu itu melakukan kekerasan sama Desty!”
“Mas sama seperti mereka!” Gigiku gemeretak. Kesal melihat Mas Janu yang dibutakan matanya oleh wanita itu.
“Ini kantor, Sar! Kamu sadar enggak apa jadinya setelah hari ini, hah? Kamu mau dicap sebagai wanita mengerikan? Wanita kasar dan keras?” Mas Janu terus meneriakiku, menambah sayat-sayat baru di hatiku yang sudah berdarah.
Aku membuang pandangan, menatap sembarang arah demi menghindari mata Mas Janu. Pria itu masih tidak mau mengerti tentang apa yang kupikirkan hingga menuduh dan mengataiku macam-macam. Mengabaikan perjuanganku selama ini untuk membahagiakan dirinya dan lebih memilih memihak wanita yang sudah memberinya luka.
Ya ... tentu ini semua soal paras. Siapa yang tidak mengakui keindahan paras wanita itu? Saat kuliah dulu, dia adalah primadona kampus yang membuat pria mana pun bisa bertekuk lutut, termasuk Mas Janu. Setidaknya itulah yang dikisahkan Yulia padaku.
“Yul ... bawa Sari pulang!” Mas Janu menoleh ke arah Yulia.
“Aku tidak mau, Mas! Kamu mengusirku?”
“Kamu harus menenangkan dirimu di rumah. Pikirkan baik-baik apa yang sudah kamu lakukan barusan, dan jangan berani ke kantor kalau belum minta maaf sama Desty!” perintahnya.
“Aku enggak akan pernah minta maaf!”
“Sari!” Mas Janu kembali meneriakiku. Pria itu membuka kait kancing dari jasnya, lalu menekan keningnya sendiri.
“Kamu berubah, Sar ....”
“Aku berubah? Mas yang berubah!” tunjukku padanya. “Mas mulai mengabaikanku dan Nandya setelah bertemu dengan Desty di reuni dulu. Apa yang sebenarnya dia lakukan padamu, Mas ... sampai kamu jadi seperti ini!”
“Yul ... bawa Sari pulang!” Mas Janu kembali memerintah Yulia.
“Ya sudah, Sari ... kita pulang dulu, ya? Aku akan nemenin kamu di rumah,” ucap Yulia.
Wanita itu mendekatiku, lantas memapahku dengan kedua tangannya yang penuh kehangatan. Kutatap sekali lagi Mas Janu yang jahat itu dengan air mata yang kian berderai. Tidak kusangka, jika jatuh cinta padanya dulu membuat hatiku seterluka ini.
Dengan diantar dan ditemani Yulia, aku pulang ke rumah. Kurasakan wajah yang sembab dan panas, sedangkan air mataku masih menetes tanpa henti.
“Mbok ... buka pintu! Ini aku Yulia dan ibu!” teriak Yulia seraya mengetuk pintu dengan keras.
Aku masih bersandar padanya, menumpu diri karena kedua lutut ini tidak lagi bisa menolongku sama sekali. Perasaanku begitu terluka setelah diteriaki Mas Janu. Belum lagi sikapnya yang lebih mengutamakan Desty dibanding aku istrinya sendiri.
--
“Bu ... kenapa, Bu?” Mbok Sunem memelotot setelah membuka pintu. Aku pergi dalam keadaan yang rapi, lantas pulang dengan wajah sembab dan rambut acak-acakkan. Kemeja kantorku juga basah di bagian depan, serta sepatu dan rok yang lembab berkat menghajar Desty di kantor tadi.
“Mbok ... bantu aku dulu, ya?” pinta Yulia.
Mbok Sunem mengangguk, kemudian memapahku bersama Yulia hingga ke kamar. Meski sedikit terseok, aku berhasil sampai dan duduk di ranjang dekat dengan Nandyaku yang berharga. Gadis kecil itu sudah terlelap, mungkin lelah bermain bersama Mbok Sunem pagi tadi.
Segera, aku merebahkan tubuh di sisi Nandya, memeluk gadis kecilku seperti yang dilakukan Mas Janu dulu, kemudian menumpahkan segala rasa sakit di sana. Aku terisak hampir seperti meraung, memukuli dada karena terasa sesak. Di sisiku hanya ada Yulia, memberi beberapa kata-kata agar aku menjadi tenang.
“Desty benar-benar kelewatan! Aku akan bicara dengannya nanti, Sar.”
“Memangnya akan ada yang berubah?” ucapku di sela-sela tangis.
“Aku yang salah, Yul ... tidak seharusnya mencoba mendapatkan Mas Janu di saat hatinya sedang terluka parah karena Desty dulu.”
“Astaga, Sar ... kamu ngomongin apa, sih? Semua ini salahnya Desty, dia yang pergi ninggalin Mas Janu padahal mereka sudah tunangan. Sekarang, saat dia dibuang sama juragan emas itu, dia datang ke Mas Janu.”
“Tetap aku yang salah. Karena ini salahku, biar aku dan Nandya yang pergi dari sini. Mas Janu mungkin lebih senang, karena bisa bersama Desty,” sahutku seraya bangkit dari ranjang.
Aku mendekati almari, lalu menurunkan koper paling besar meski jalanku saja masih sempoyongan. Berkat itu, benda berat itu terjatuh menghantam lantai, menimbulkan bunyi berdebam yang mengagetkan Nandya. Kulihat salah satu rodanya menggelinding lalu menabrak dinding.
“Kamu mau ke mana, Sar?” tahan Yulia. “Jangan gila!”
“Aku harus mengusaikan semua ini, Yul. Mas Janu harus memilih, antara aku dan Nandya atau Desty!” pungkasku tanpa berhenti beraksi. Aku tidak akan membiarkan hal ini berlanjut dengan mudahnya. Luka yang akan terjalin di hati bisa saja menarikku ke jurang yang tidak bertepi. Nandya juga bisa terseret di dalamnya. Aku tidak ingin begini.
Bab 56: Pilihan Terakhir (Tamat)“Pengantin prianya, tolong geser ke kanan, lebih dekat dengan pengantin perempuan!” perintah itu turun dari pria yang memakai kemeja berkerah dengan tulisan Gun Foto.Pria yang memakai setelan pengantin putih dan batik khas yang melilit pinggang tersenyum lagi. Dia mendekat perlahan ke arah kanan sesuai dengan instruksi dan langsung mengapit lengan mempelai perempuan yang tidak lain adalah diriku.Ya ... ini adalah hari pernikahan kami. Tidak ada tamu undangan, tidak ada pesta pernikahan dan kemewahan.Semuanya sangat sederhana, termasuk gaun putih dan jilbab yang saat ini membalut tubuhku. Kami sepakat akan hal ini sejak satu bulan lalu saat permintaan ibu mertua kupenuhi.“Oke ... senyum!” Pria itu berseru kembali.Aku hampir saja lupa melengkungkan bibir karena gugup melihat ibu mertua terus memandang ke arah kami berdua. Ditambah lagi
Bab 55: Jawaban yang DitungguKata orang, wanita itu kerap kali buta matanya jika sudah berbicara soal cinta. Sepintar dan semandiri apa pun dia, seluruh indranya akan mati saat berurusan dengan perasaan. Mereka sering kali terjebak, terjerat dan terseret dalam. Jatuh dari ketinggian ke lembah tanpa dasar. Terdorong dan terperangkap dalam penjara yang dibangun olehnya sendiri. Akibatnya, mereka terluka parah, sampai kritis dan koma. Kadang ada yang mati rasa lalu menganggap semua pria itu sama. Jika sudah begitu, para wanita sering kali menyalahkan orang lain. Menuduh para prialah yang membuatnya seperti ini, tanpa sadar jika mereka sendiri yang memberi kontribusi dan memudahkan semua kejahatan itu terjadi.Buruknya lagi, ada yang sudah terluka, namun masih berusaha dan bertahan. Angan mereka terus melayang dan terikat dengan masa lalu yang sebenarnya kelam. ‘Mereka
Bab 54: Pengakuan Mas Janu “Bagaimana dengan masa laluku dan Mas Janu, Bu? Aku tidak yakin masih bisa bertemu dengannya jika kami kesbali ke Jakarta,” sahutku pada ibu mertua.Ada banyak faktor yang harus aku pertimbangkan lebih dulu, bukan? Jika kembali dengan Mas Surya, itu artinya kami harus pulang ke Jakarta. Di sana ada terlalu banyak orang yang mengetahui kisah pedih hidup kami. Lalu, ada Desty dan Yulia yang telah mempermainkan diriku.Membayangkannya saja sungguh saat memuakkan. Aku tidak ingin bekerja keras membiasakan diri dengan lingkungan yang menjijikkan.“Aku paham maksud dan keinginan Ibu, tapi di sini aku merasa nyaman dan tenang. Duniaku dan Nandya sudah tumbuh di sini.”Manik mata ibu mertua memendar mendengarku. Dia berusaha menahan perasaan kecewa dengan seutas senyum tipis.Lekas dia berpaling, lalu mengambil secarik tisu yang diletakkannya dekat dengan Nandya. Ibu mertua mengusa
Bab 53: Permintaan “Silakan, Bu?” Mbok Sunem bertutur lembut pada ibu mertua dan Mas Surya yang memaksa ikut dengan kami ke rumah setelah pertemuan sesaat lalu.Meski sebenarnya aku belum yakin dengan jalan ini, sangat tidak mungkin kubiarkan ibu mertua yang bahagia melihat kami menerima luka penolakan. Akhirnya, aku memaksa diri dan mengajak mereka mampir ke rumah baruku dan Mbok Sunem.Sebuah rumah kecil yang sedang kucicil di pemerintahan itu terlihat agak memalukan. Apalagi jika mengingat hidupku selama bersama Mas Janu cukup mewah, bahagia dan tentu bergelimang rupiah.“Maaf, Bu ... hanya ....”“Kamu bagaimana di sini?” Ibu mertua langsung memotong.Wanita paruh baya itu tidak mendengar ucapan penyesalan soal hunian sederhana yang kuberikan untuk cucunya. Padahal, jika diingat-ingat lagi, di Jakarta sana Nandya mendapatkan semuanya. Rumah bagus, mobil dan
Bab 52: Tiga Tahun Kemudian – Kota BaruTiga Tahun Kemudian.22 April 2023, 07.10 WIBAku menatap halaman masjid yang kini penuh sesak. Banyak jemaah sudah lebih dulu berdatangan jauh sebelum diriku, bahkan tidak ada lagi ruang yang tersisa hingga beberapa perempuan terpaksa berdiri sembari menunggu lowong.“Mbok, sempit sekali kayanya,” lirihku pada wanita itu.Mbok Sunem yang menggendong Nandya hanya terpaku. Ini sudah kali ketiga lebaran Idul Fitriku di kota orang, namun tidak pernah berhasil mendapat tempat yang nyaman. Kami sering terlambat karena harus menunggu Nandya bangun. Jika dipaksa, gadis kecil itu malah akan rewel jadinya. “Nggak apa-apa, Bu ... kita berdiri saja.” Begitulah Mbok Sunem yang penuh rasa sabar itu berujar.Dia langsung mendahuluiku, menuju teras masjid yang terbuka dan sedikit disiram hangat matahari . Aku mengekor di belakang dengan harapa
Bab 51: Perpisahan “Maaf, Mas ... dan terima kasih,” lirihku seraya memutar ujung jari di permukaan cangkir.Ini sudah ketiga kalinya kata itu aku ucapkan pada pria yang telah memberiku Nandya. Mas Janu ... kami bertemu kembali setelah sekian lama berperang. Uniknya, pertemuan ini sangat sunyi, seolah kami masih saling mengerti.Lelah mengulur waktu dengan cangkir, aku mulai menurunkan kedua tangan ke bawah meja dan memilih memilin ujung blouse putih dengan lambang C di dada. Tidak lupa, kutatap juga heels dengan dua tali yang menyilang di depan. Lalu, melirik sepatu mungil yang dipakai oleh gadis kecilku.Ada Nandya di pangkuan. Anak kecil itu tidak rewel meski di depannya ada Mas Janu̶ sang ayah. Sedangkan Mas Janu hanya melirik sesekali, dia tidak menyentuh, berusaha menekan diri setelah mendengar ucapan dariku.“Ma ... a.”“Katakan hal lain selain kata maaf. Aku muak mendengarnya, Sari!&rdq