Bab 8: Apa Maumu?
Kukatakan keinginanku dengan tegas pada Yulia. Mbok Sunem yang ternyata juga mendengarnya menangis dari arah luar kamar. Wanita paruh baya itu tidak tahan melihat betapa hancurnya kondisiku dan pernikahan kami berdua.
“Bu, jangan begini ... kasihan Nandya,” ujarnya dari arah luar. Wajah siapa pun pasti akan serupa dengan Mbok Sunem jika melihat putri kecil kami yang terlelap di kasur. Gadis mungil itu seakan terusik setelah mendengar keributan yang dilakukan oleh ibu dan tantenya. Dia menggeliat perlahan, lalu kembali terlelap di ranjang.
“Jangan ambil keputusan gila, Sari. Kalau kamu tetap begini, kamu hanya akan menyesal!” Yulia masih mengingatkanku.
Kutatap sekali lagi Nandya, dia butuh Mas Janu di dalam hidupnya. Jauh lebih besar dibanding aku membutuhkan Mas Janu.
“Masih belum terlambat untuk memperbaiki semua ini. Pikirkan dengan matang sebelum bertindak. Belum ada kejelasan juga jika Desty dan Mas Janu
Bab 9: Balasan Istri yang Tersakiti “Kamu memang sudah gila. Kamu minta aku menjaga anak wanita itu dan kalian bisa pergi berdua ke rumah sakit? Kalau ke rumah sakit, kalau ke hotel bagaimana?” pekikku kemudian. Tidak bisa kubayangkan andai hal itu benar-benar terjadi. Hanya aku yang boleh bersama Mas Janu dan melihat sisi lain dari pria itu. Terlihat Mas Janu lelah menghadapi ocehanku barusan. Tapi, aku jelas tidak terima jika dia bersikap sememuakkan ini hanya untuk menyenangkan hati Desty. Harusnya hanya aku yang diperlakukan bak ratu, bukannya wanita lain yang pernah menoreh luka di dalam hatinya. “Mas, kenapa kamu ....” “Jangan membantah, Sari. Aku ini suamimu!” “Ya, dan kamu suami yang dhalim! Kamu menyakiti hatiku demi perempuan lain,” seruku. Aku tidak bersedia mundur melihat bagaimana tingkah laku Mas Janu saat ini. Dia sudah begitu berbeda sampai tidak bisa kubedakan lagi antara kenyataan dan mimpi belaka. Bagaimana
Bab 10: Kelakuan Desty Kami tiba di rumah sakit setelah setengah jam memulai perjalanan. Ternyata, rumah sakit yang ditunjuk oleh Mas Janu adalah rumah sakit yang sama dengan yang didatangi Desty saat anaknya dirawat. Tentu saja aku mencak-mencak. Padahal hanya luka kecil tapi dibawa ke rumah sakit sebesar ini. Padahal aku melakukan hal itu karena ulah Desty sendiri, tapi harus repot seperti ini. “Mas Janu, nanti temenin, ya?” lirih Desty dari arah belakang. Wanita itu memasang wajah risau setelah melihat IGD yang sepi dari dalam mobil. Entah apa lagi tujuannya bersikap demikian. Tapi jelas kutemukan jika Desty sedang mencoba mencuri perhatian Mas Januku yang berharga. “Iya, nanti ditemenin!” “Iya, nanti aku temenin, kok!” sahutku tepat setelah Mas Janu. Enak saja Desty ini, dia ingin berduaan dengan suamiku. Jika kubiarkan, entah apa hasutan yang akan dilakukannya pada Mas Janu. “Kamu di mobil saja!” M
Bab 11: Hadiahkah Ini? Aku menatap dokter itu dengan sorot mata bingung. Telingaku mendengarnya dengan sangat jelas, tapi rasanya tetap seperti mimpi. Bagaimana bisa dokter itu memvonisku mengandung? Benarkah ini? Sejak kapan ada bayi mungil di dalam perutku yang sangat rata? “Saya sarankan Anda mengunjungi dokter obgyn. Mungkin, masih kehamilan awal, makanya Anda belum menyadarinya.” Dokter tersebut berterus terang. “Saya juga tidak tahu apa yang terjadi di dalam pernikahan Anda, tapi saya sarankan ada baiknya Anda membahas hal ini dengan suami Anda. Dalam beberapa kasus, kehamilan bisa menjadi pemikat kuat antara pasangan.” Aku terhenyak. Rasanya masih tidak bisa dipercaya. Bagaimana bisa aku mengandung kembali setelah sekian lama kosong? Bahkan, hubungan terakhirku dengan Mas Janu itu bulan lalu. Apa saat itu? Aku mengusap dada. Denyut jantung jadi lebih cepat dibanding sebelumnya. Bukankah harusnya aku bahagia karena akan
Bab 12: Panggilan yang Mencurigakan “Aku apa, Sari? Kenapa kamu jadi bingung begini, sih?” protesnya. Mas Janu lalu melirikku untuk kesekian kalinya. Dia pasti bingung melihat bagaimana gugupnya aku saat ini. Padahal, yang ingin kusampaikan padanya adalah berita besar yang tentu akan menggembirakan. “Apa pendapatmu soal kita ....” Lagi, lidahku kelu. Entah mengapa keraguan jauh lebih besar sampai aku tidak mampu mengungkapkannya pada Mas Janu. Benarkah ini pertanda akan ada hal buruk yang kami alami nantinya? Kuyakinkan lagi hati ini. Mas Janu berhak untuk tahu lebih dulu dibanding orang lain. Baru saja bibir ini hendak terbuka, Mas Janu berpaling ke arah gawainya yang dia simpan di dashboard mobil. Buru-buru Mas Janu mengambilnya, seolah khawatir jika aku merebutnya lebih dulu. Benda pipih yang mencurigakan itu berdering sangat pelan. Biasanya, Mas Janu selalu menyalakan dering lumayan keras agar dirinya bisa cepat me
Bab 13: Ketukan Pintu dan Panggilan Putus Asa Malam itu, aku mengambil keputusan sulit dengan mengunci pintu depan. Mas Janu yang pergi untuk Desty tidak akan kuberi kesempatan untuk masuk. Dia sudah memilih, dan kubiarkan dia pergi dengan pilihannya. Semua itu kuterima meski hati ini tersayat sakit. Sembari menemani Nandya bermain, aku termenung berulang kali. Pernikahan yang kukira akan abadi, kapal yang kusangka akan terus berlabuh sampai ke pelabuhan terakhir, nyatanya goyang diterpa badai di awal perjalanan. “Nandya dan aku bisa tanpa papa,” bisikku pada diri sendiri. Nandya tidak mengerti arti dari air mata serta tindakan tersebut. Dia hanya terus bermain dan bermain, seolah esok hari akan tetap sama seperti ini. Lalu, kudengar ketukan pintu dari luar. Aku melirik jam di dinding, tepat pukul dua belas malam. Untuk pertama kalinya aku membiarkan Nandya bermain hingga larut dan aku terjaga dengan mata membengkak. K
Bab 14: Mas Janu dan Desty“Biadap sekali kalian berdua!” seruku dengan jari yang mengacung ke arah mereka.Bagaimana bisa Mas Janu dan Desty terus bersama meski kami baru saja bertengkar. Di depanku saat ini, Mas Janu duduk di atas kursi putarnya yang sempat kucintai, sedangkan Desty berada di depan meja dengan posisi condong ke arah Mas Janu.Mereka berdua sangat dekat, posisi mereka juga bisa menimbulkan kesalahpahaman. Saat aku menerobos ke ruangan mereka, hanya Mas Janu yang terkejut, sedangkan Desty berbalik dengan sikap yang sangat anggun, seakan sudah menanti semua ini.“Sari?” Mas Janu berseru. Dia hendak meninggalkan kursinya sebelum aku meluncur cepat ke arah mereka berdua.“Tidak perlu bangun, kali ini aku yang datang!” balasku.Begitu tepat berada di depan mereka berdua, kuambil botol tinta yang ada di atas meja Mas Janu. Benda itu aku buka dan isinya segera melumuri tangan.
Bab 15: Melaporkan Mas JanuBolehkah begini? Aku mendadak ragu saat tiba di sebuah rumah yang sederhana.Pagi-pagi buta, aku datang ke sini tanpa sepengetahuan Mas Janu dan Mbok Sunem. Aku memboyong Nandya dan melarikan diri jauh dari mereka.Kuhela napas, rasanya tidak adil jika kulakukan hal ini. Tapi, hanya di sinilah perlindungan yang bisa kudapatkan sekarang. Mereka pasti akan memihakku, setidaknya untuk sementara waktu.“Mari, Sayang?” lirihku pada Nandya.Bayi itu masih terlelap di atas kereta bayinya. Kulepas benda itu dan langsung memasang kaki untuk menumpu. Kami akan menginap di sini sampai permasalahan ini mencapai titik terang. Tidak masalah jika Mas Janu dan Desty akan tetap menikah, tapi setidaknya aku berhasil membuat mereka tahu kelakuan sebenarnya Mas Janu terhadap anak dan istri sahnya.Kami lantas berjalan masuk. Mobil terparkir di halaman luas yang bisa digunakan untuk bermain sepeda.
Bab 16: Kebenaran dari Bibir Mas Surya Kulihat pria bernama Surya itu ragu untuk jujur dan berterus terang soal ucapannya barusan. Bagaimana bisa dia tiba-tiba menyebutkan soal peringatannya terhadap Mas Janu lalu terdiam seperti kebingungan setelahnya? Jika sekarang dia mengelak, maka baik aku, ibu dan bapak mertua tentu tahu kalau Mas Surya sedang berdusta. “Jawab Mbak, Surya?” tuntut ibu mertua dengan intonasi yang tinggi. Wanita itu tidak menyangka jika adiknya yang berusia jauh di bawahnya itu bisa mengatakan sesuatu yang begitu mengejutkan. Tidak ingin tinggal diam dan hanya menonton, aku lekas bersuara setelah ibu mertua, “Apa maksudnya, Mas Surya? Apa yang sebenarnya terjadi di belakangku selama ini?” Aku hendak berdiri, namun ibu mertua meminta agar dia saja yang menghadapi Mas Surya. Memang benar, jika pria itu tidak akan mudah membuka mulut, apa lagi menurut pada permintaan orang lain. Hanya ibu Mas Surya saja yang didengar