Share

Suamiku Terjerat Rayuan Janda
Suamiku Terjerat Rayuan Janda
Author: Kanina

Bab 1. Pertengkaran

“Yang, tolong siapin baju, ya? Mas sebentar lagi mau ada acara dengan teman-teman, Mas,” ucap suamiku pagi itu.

Belum sempat aku mengeluarkan suara, suamiku kembali berkata, “Kamu di rumah aja. Soalnya acaranya sampai malam. Kasihan Delisha kalau ikut. Takut capek.”

Pria itu kemudian menghilang di balik pintu kamar mandi. Suara gemercik air, terdengar dari balik pintu ruangan yang tak terlalu besar di samping kamar itu. Rutinitas pagi hari yang sibuk, membuatku tak terlalu ambil pusing dengan sikap Mas Raka, suamiku. Aku melanjutkan kegiatan memasak untuk sarapan pria itu dan juga putri kecilku yang masih tertidur di dalam kamar.

Orang-orang mengenalku sebagai Zhyvanna Amira, mantan desainer muda di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang ekspor pakaian jadi ini memiliki seorang suami bernama Raka Prayoga.

Banyak orang yang mengatakan bahwa aku beruntung karena memiliki seorang suami yang baik dan penyayang. Apalagi pekerjaannya adalah seorang manajer keuangan di salah satu perusahaan besar. Belum lagi parasnya yang tergolong rupawan menurut sebagian orang, membuat tetangga dan teman-temanku begitu iri padaku.

Usai menu sarapan matang dan bekal untuk Mas Raka selesai aku siapkan, aku beranjak menuju lemari pakaian di kamar kami, menyiapkan pakaian yang pantas untuk suamiku. Setelah itu, aku meninggalkan kamar itu menuju kamar putri kesayanganku yang sedang bermain di ruang tengah.

Tepat saat aku selesai memandikan Delisha, suamiku juga selesai bersiap dan rapi. Kami berjalan menuju meja makan untuk menyantap sarapan kami. Tak banyak bicara, hidangan yang kusiapkan tadi telah tandas dalam hitungan menit.

“Mas berangkat dulu, ya?” ucap Mas Raka seraya mengusap kepalaku usai menyeka sudut bibirnya dengan tisu.

Aku mengangguk. “Hati-hati di jalan. Kalau bisa jangan pulang terlalu malam, ya?”

Dia tak menjawab. Namun aku bisa menangkap kalau dirinya terpaksa untuk tersenyum. Ia langsung pergi meninggalkan kami berdua di dalam rumah.

*

Waktu begitu cepat bergulir. Kini, hari sudah berganti malam. Meskipun langit masih gelap, terdengar ayam berkokok pertanda saat ini sudah tengah malam. Namun, suamiku masih belum juga datang.

“Ada acara apa hingga lewat tengah malam?” gumamku sembari terus melihat ke arah jendela kaca yang tertutup. Berharap suamiku datang.

Jarum jam di dinding kamar menunjukkan pukul satu lebih lima belas menit. Terdengar suara mesin mobil memasuki pelataran rumah. Aku segera berlari ke luar menyambut suamiku yang pastinya lelah usai bekerja.

Aku mendekat ke arah pria yang baru saja membuka pintu mobil yang terparkir di tempat parkir rumah. Tak seperti yang aku duga, pria itu masih tampak segar dan bisa kulihat rambutnya masih basah seperti baru saja mandi. Aku menepis segala bentuk pikiran buruk yang tiba-tiba bersarang di kepalaku.

“Sudah pulang, Mas?” ucapku kepada suamiku yang baru saja menutup pintu mobil.

“E-eh, kamu belum tidur, Zhy?” sahutnya gugup.

“Zhy?” aku mengulang perkataan suamiku yang memanggilku dengan nama panggilanku.

“E-em, maksud aku ... kamu belum tidur, Yang?” ucapnya meralat perkataannya tadi.

“Iya, Mas. Sengaja nunggu kamu. Khawatir kamu kenapa-kenapa karena gak ada kabar.”

“Ya udah, ayo kita masuk.” Suamiku berjalan lebih dulu melewati diriku yang masih mematung di ambang pintu.

Aroma sampo lain terendus indra penciumanku saat pria itu lewat di depanku. Aku hafal aroma sampo yang ada di kamar mandi rumah kami. Aromanya tak seperti itu.

“Habis mandi di mana kamu, Mas?” tanyaku pada suamiku yang kini hendak berganti pakaian.

“Mandi di rumah teman. Tadi soalnya bantu benerin mobilnya yang mogok. Karena badan kotor semua dan gerah, jadi mandi aja sekalian,” ucapnya enteng. Hanya saja dia tak berani menatap kedua mataku seperti biasanya.

Aku hanya menganggukkan kepalaku, mencoba memahami meskipun sulit untuk dimengerti.

Aku tak mendapati bekas oli atau kotor mobil pada pakaiannya. Dan juga, kenapa harus keramas juga? Dengan aroma sampo wanita pula.

Aku duduk di tepi ranjang, menunggu suamiku yang sangat lama berganti pakaian. Tak biasanya pria itu berperilaku demikian.

Setelah sekitar lima belas menit di kamar mandi, suamiku keluar dari ruangan itu. Dia tersenyum lalu mengajakku tidur.

Karena tak ingin terus menerus berpikir yang tidak-tidak, aku memilih menuruti keinginan suamiku untuk merebahkan diri di atas ranjang kami.

Pria itu memelukku dari belakang. Seperti malam-malam biasanya, kami selalu tidur saling berpelukan.

Aku mencoba memejamkan mata meski rasanya sangat susah. Akan tetapi aku harus beristirahat meski hanya beberapa jam agar tubuhku tetap bugar karena aktivitas pagi hari yang sangat padat.

Saat jam menunjukkan pukul tiga lebih empat puluh lima menit di pagi hari, aku merasakan ada benda kenyal yang menyentuh leher belakangku. Siapa lagi kalau bukan ulah suamiku. Aku tak bergeming meskipun ia melakukan hal itu. Aku biarkan ia melakukan apa pun yang ia mau.

Beberapa saat kemudian, ia menghentikan kegiatannya karena tak mendapat balasan dariku. Dia kemudian beranjak ke kamar mandi, menutup pintu dengan sedikit kasar.

“Apa mungkin ia marah?” gumamku lirih.

Aku mendapati ponsel suamiku di sisi ranjang yang sebelumnya ia tempati. Kucoba membuka ponselnya. Dikunci.

“Tak seperti biasanya,” gumamku.

Aku terus mencoba menggunakan kombinasi angka yang sering ia gunakan bahkan menggunakan kombinasi tanggal lahir kami.

Gagal!

Sekali lagi aku mencoba menggunakan kombinasi tanggal pernikahan kami.

Belum selesai aku mengetikkan angka untuk membuka kunci benda pipih itu, sebuah notifikasi pesan masuk tertera di layar.

Sebuah nama hanya dengan tanda titik mengirimkan pesan kepada suamiku. Bisa aku pastikan kalau orang yang mengirim pesan itu adalah seorang wanita. Melihat foto profil yang ditampilkan di sana adalah seorang wanita berkaca mata yang sangat cantik dan modis.

“Nanti tolong jemput Icha dulu kalau mau ke rumah ya?” aku membaca isi pesan yang tampak di layar pop up ponsel yang terkunci itu.

Ponsel itu kembali berbunyi, menampilkan sebuah pesan lain dari nomor yang sama.

Belum sempat aku membaca isinya, benda pipih itu kini sudah beralih ke tangan seorang pria yang menatapku nyalang.

“Apa-apaan kamu?!” bentaknya.

Aku hanya terdiam. Hanya karena memegang ponselnya, dia se-marah itu?

“Kamu bisa gak, sih, menghargai privasi aku? Ponsel ini privasi aku, jangan sekali-kali kamu menyentuh atau membuka isinya!” ujarnya dengan suara meninggi.

Aku tertegun. Masih tak menyangka dengan ucapannya yang baru saja ia katakan.

Tanpa terasa, bulir bening mengalir di kedua pipiku. Air mata itu lolos dari bendungannya tanpa permisi.

Aku menatap pria itu tak kalah sengit. Kulihat wajahnya memerah dengan dadanya yang naik turun menahan emosi.

“Privasi katamu, Mas?! Oke. Kalau kamu memiliki privasi dengan tak membiarkanku membuka isi ponselmu, jangan pernah dekati aku. Jangan pula kamu membuka isi ponselku. Seimbang, bukan?” cibirku mengatur gemuruh yang sekuat mungkin ku tahan.

“Kamu!” dia mengacungkan telunjuknya ke arahku tanpa menyelesaikan kalimatnya.

“Apa?! Bukankah itu yang kamu mau??”

Bulir bening lolos begitu saja tanpa bisa kucegah. Kuusap kasar jejak basah yang masih tersisa di pipiku.

“Kita berpisah saja. Buat apa bersama jika ada batasan privasi di antara kita? Aku lebih senang hidup sendiri daripada terikat status denganmu, Mas!”

Rasa panas menjalar usai Mas Raka mengayunkan tangannya ke pipi. Detik berikutnya, kakinya melangkah mundur seraya menatap tangannya yang sedikit memerah.

“A-aku tak akan pernah menceraikanmu, Zi!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status