"Jangan main-main, sebaiknya kamu jujur ... atau aku ...," ucapan Nella yang samar terdengar di telingaku tiba-tiba menggantung.
Aku yang memang memarkirkan motor agak jauh dari rumah, perlahan berjalan ke rumah dengan segala tanya di kepala.
Otakku yang tiba-tiba traveling membuatku buntu. Yang ada dalam pikiranku saat ini, aku ingin tahu tujuan Nella tiba-tiba datang ke rumah tanpa memberitahukan kepadaku lebih dulu.
Bukankah ia yang menyuruhku untuk mencurigai suamiku sendiri?
Pertanyaan itu terus saja berputar di kepalaku.
Bukankah ia pergi dengan calon suaminya?
Aku menggelengkan kepala untuk menepis pikiran burukku terhadap suami dan sahabatku.
Meski itu sangat mengganggu, apalagi banyak kejadian-kejadian nyata yang berseliweran tentang kasus suami dan sahabat yang selingkuh, terus sahabatnya jadi adik madu lalu istri pertama akan terbuang tanpa belas kasih.
Aku menggeleng pelan saat pikiranku menjadi paranoid.
"Tidak ... ini tidak mungkin, aku harus memastikannya sendiri," gumamku yang sudah hampir sampai di depan rumah dan sempat mendengar ucapan Nella, namun tiba-tiba berhenti begitu saja.
Hingga aku percepat langkah untuk sampai di ambang pintu.
"Atau Apa, Nella? Jujur apa? Siapa yang main-main?" cercaku dengan berbagai tanya yang kulayangkan padanya.
Aku menatap Nella, menuntut jawaban lalu beralih menatap Bang Danu yang nampak kaget dan berkeringat dingin. Terlihat ia berulang kali mengusap dahinya.
Membuat aku semakin penasaran dengan kedua orang ini. Apa yang keduanya tahu dan aku gak tahu sama sekali.
"E-ELy," ucap Nella nampak gugup.
"Iya ... ini aku Ely, Alyera sahabatmu. Kenapa Nel, kok tegang gitu? Santai aja kali!" ucapku sambil duduk di kursi yang berdampingan dengan kursi roda Bang Danu.
Aku langsung tertawa demi mencairkan suasana biar tidak tegang-tegang amat. "Ya ... ampun Nel, ekspresi kamu kok gitu banget, kayak kucing yang lagi ketahuan nyuri ikan, rileks dong!" kekehku
"Lucu banget kan, Bang?" tanyaku pada Bang Danu, sambil menepuk lengannya yang tiba-tiba mengangguk kaku dan ikut tersenyum. Tapi senyumnya seolah dipaksakan.
Begitu juga Nella, yang tadinya nampak pias kini ia juga ikut tersenyum dan nampak mengembuskan napas lega, karena tertangkap oleh mataku sendiri.
Aku sangat menikmati momen ini, dan aku terus memperhatikan ekspresi kedua orang ini. Sangat aneh buatku. Tapi aku tidak ingin jadi istri yang bar-bar, yang hanya mendengar sepotong kalimat lalu bertindak brutal yang akan membuat buruk nama baikku sendiri.
Aku harus jadi istri yang elegan, bukan? Seperti nasihat Nella, harus cari tahu secara diam-diam.
Karena langsung bertanya bukanlah solusi. Karena pengkhianat akan punya seribu alasan untuk berdusta.
Ya ampun, rasanya aku ingin memeluk Nella saat ini juga dan berterima kasih karena telah memberiku ide yang cemerlang. Tapi tunggu dulu ... Jangan buru-buru, kita akan cari tahu dulu yang sebenarnya.
"Oh, ya. Naifa ke mana, Bang? Kok gak kelihatan?"
Aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru.
"Ehm ... Naifa tadi izin pergi ke rumah temannya, kerja kelompok, sekalian ingin singgah mengaji di masjid," jawab Bang Danu yang sedikit berdehem.
Aku pun membulatkan bibirku guna menyebut O. Lalu mengangguk pelan.
"Eh, tadi Abang sama Nella, lagi bahas apa sih, serius amat?" tanyaku sambil menatap bergantian Bang Danu lalu Nella.
Keduanya nampak saling tatap seolah tatapan itu mereka sedang diskusi. Semakin ke sini, aku semakin dibuat penasaran.
"Sebenarnya bahasan yang gak terlalu penting, sih, Dek," jawab suamiku itu yang membuat aku langsung menautkan alis.
"Gak apa-apa dong, kalau aku tahu juga apa yang kalian bahas. Masa sama istri sendiri, sahabat sendiri main rahasia-rahasiaan. Gak seru, ah." Aku memonyongkan bibir beberapa senti biar nampak kalau aku sedang merajuk.
Bang Danu menggeser sedikit kursi rodanya untuk lebih dekat denganku. Lalu memelukku erat sekali.
"Jangan cemberut gitu, dong, Dek! Kalau kamu cemberut, kadar kecantikanmu jadi kebangetan, dan bikin aku makin klepek-klepek, loh," ucapnya masih dengan posisi yang sama membuatku memutar bola mata malas.
Sungguh, gak masuk di akal dan logikaku, ucapan Bang Danu benar-benar gak nyambung sama sekali. Mungkin saja ia hanya ingin mengalihkan pikiranku.
Tidak sayang, aku tidak mudah dikelabui. Pokoknya aku harus kupas tuntas sampai ke akar-akarnya.
"Ehm ... kalian lupa, ya, kalau masih ada tamu di sini," deham Nella membuatku dan Bang Danu menoleh ke sumber suara yang terlihat kesal.
"Daripada kalian mesra-mesraan mending kalian makan ini martabak manis yang kubawa tadi!" tunjuk Nella pada sekotak makanan yang bertuliskan martabak manis.
"Kamu bawa martabak manis juga, niat banget ya," kekehku lalu meraih kotak itu, kemudian mengambil sepotong dan memakannya.
Aku kalau sedang kalut memang suka melampiaskan ke makanan dan kebetulan orang yang membawa kekalutan juga membawakan obatnya.
"Iya, dong. Itu kan makanan kesukaanmu. Tadi gak niat mampir sih, cuman lagi ada urusan dan jalurnya lewat sini, ya, singgah aja sekalian," kata Nella dan semakin membuat aku bingung.
"Bukankah, tadi kamu bilang kalau sedang bersama calon suamimu?" tanyaku dengan menatap serius.
Nella terlihat berpikir sejenak, terlihat dari ekspresinya.
"Tadi memang sama calon suami, tetapi ia segera kembali kerja setelah urusan yang penting selesai," jawabnya
Aku fokus menatap Nella untuk mencari kebohongan di matanya. Namun, tak kutemukan sepertinya ia berkata jujur. Lalu apa ini, kenapa aku jadi paranoid? Sepertinya aku yang kurang pandai melihat ekspresi seseorang.
"Kalian belum jawab loh, pertanyaan aku yang di awal! Sebenarnya kalian bahas apa, sih?" tanyaku lagi setelah menghabiskan sepotong martabak manis dan mengelap bibirku dengan tisu.
"Kami cuman bahas soal film sih, ternyata aku sama Bang Danu sama-sama suka nonton film Turki dan itu tadi, aku tanya dia buat jawab jujur soal ini BLA BLA BLA," terang Nella panjang kali lebar namun tidak ada yang nyambung sama sekali dengan ucapan yang jelas terdengar di telingaku.
"Tadi aku kayak dengar kamu ngomong kayak gini ' jangan main-main atau ...' gitu, kan?" cercaku lagi karena belum puas dengan jawaban Nella
"Kamu salah dengar kali, Dek. Soalnya kami memang bahas film seperti yang Nella jelaskan," jawab Bang Danu cepat, seolah mereka saling melindungi dari sebuah kebohongan.
Aku mulai menyerah untuk bertanya dengan mereka. Lebih baik aku ikut strategi awal untuk menyelidiki diam-diam.
"Mungkin, memang aku salah dengar karena gak terlalu fokus. Sepertinya aku butuh istirahat," kataku memilih pura-pura percaya dengan ucapan suami dan sahabatku, agar mereka gak terlalu waspada terhadapku.
Nella dan Bang Danu terlihat mengangguk bersamaan.
Untuk mengetahui rahasia seseorang, kita perlu jadi pura-pura bodoh.
Setelah basa-basi sebentar, Nella pamit pulang dan aku mengantarnya ke depan, sampai di samping motor matic miliknya.
"Terima kasih, buah tangannya, Nel." Aku memeluk Nella
"Sama-sama, Ly. Oh,ya, tadi pagi kamu mau cerita soal apa?" tanya Nella
"Cerita apa? ... aku lupa, kayaknya. Mungkin, gak terlalu penting," kataku padanya karena udah gak berselera untuk cerita apa-apa pada Nella.
Nella mengangguk pelan.
"Kayaknya aku yang harus bertanya serius dan empat mata sama kamu, Nel."
"Tanya soal apa?"
"Apa maksud kamu sebenarnya? Kamu kasi aku foto yang kamu bilang itu adalah suamiku,terus kamu menyuruhku menyelidiki suamiku sendiri. Lalu apa ini ... kamu datang tiba-tiba ke rumahku meski sudah tau kalau aku lagi gak ada di rumah. Apa tujuan kamu sebenarnya?" tanyaku pada Nella yang terlihat kaget dan salah tingkah.
"El-Ely ... aku sebenarnya ... aku,"
Nella terlihat sangat gugup dan terbata.
"Sebenarnya apa, Nella? Aku hanya ingin tahu alasan dari semua ini. Apa kamu ada sesuatu dengan Bang Danu?"
Pertanyaanku kali ini langsung membuat Nella melotot.
Bersambung ....
POV Alyera "Kamu ngapain, jalan sambil nunduk? Mikirin apa? Kamu beruntung karena aku datang tepat waktu kalau tidak ... mungkin jidatmu sudah selebar tiang tadi," katanya sambil bertanya, disertai dengan sindiran serta kekehan.Aku memilih memalingkan wajah ke luar jendela menatap pohon yang masih terkena cahaya langit yang mulai redup berganti cahaya malam.Ucapan pria cambang ini benar-benar bikin jengkel, asli."Kok, gak dijawab?" tanyanya lagi membuatku menarik napas dalam."Saum," jawabku singkat."Apa hubungannya, puasa dengan bicara?""Saum bicara," balasku lagi dengan memutar bola mata."Emang ada saum bicara, tapi ngebalas terus dari tadi," kekehnya sembari menatap lurus ke depan. Aku memilih diam tak menjawab lagi."Biar aku tebak," katanya antusias."Gak lagi pengen main tebak-tebakan," protesku"Kamu pas jalan tadi pasti sambil mikirin suami kamu," ujarnya sok tahu banget."Calon mantan suami," ujarku penuh penekanan."Sama aja, kan baru calon berarti masih.""Terserah T
Hari-hariku semakin kacau, kala pulang ke rumah untuk makan siang. Akan tetapi, Nella belum masak sama sekali.Bahkan istriku itu masih betah berlabuh di pulau mimpi dan melukis pulau Kalimantan di sarung bantal.Aku hanya bisa membuang napas kasar, mau marah juga tidak bisa karena sudah bisa ditebak kalau aku akan kalah berdebat sama Nella."Yank! Bangun!" Aku menggoyangkan tubuh Nella yang masih terbungkus selimut itu."Ini udah tengah hari, loh. Udah mau masuk waktu salat Zuhur," ujarku lagi, tetapi Nella tetap bergeming.Saat menyebut salat Zuhur ada yang bergetar di dalam hati. Entah sejak kapan terakhir kali aku melakukan salat. Sudah sangat lama sekali aku tidak melaksanakan kewajibanku sebagai umat yang mengaku beragama muslim.Mungkin aku bisa bisa dinobatkan jadi duta Islam KTP, karena mengaku Islam, tetapi tidak melaksanakan kewajiban.Aku mendadak ingat, Ely. Dia selalu mengingatkan aku untuk salat sambil duduk. Meski aku lebih memilih berbohong dan mengaku sudah mengerjak
"Minggu depan aku akan menikah dengan kekasihku," ucap Nella sambil menatap langit-langit kamar, seolah ada yang membuatnya resah.Lain halnya denganku, aku senang mendengar dia akan menikah. Setidaknya dia tidak memintaku lagi datang kemari, sekedar memuaskan hasratnya.Malam ini aku hanya terpaksa melakukannya karena dia memintaku. Hanya sebagai balas budi ... itu saja. Semenjak mengetahui kalau asetnya juga dipakai oleh bandot tua, aku jadi jijik padanya.Meski kuakui, kalau dia pernah membuatku melayang tinggi ke langit ke tujuh. Tapi, malam ini tidak sama sekali.Aku hanya berusaha membuatnya puas dengan permainanku karena lagi-lagi aku ingin membalas jasanya yang telah membelikanku motor. Meski ngutang, tetapi wanita ini tidak pernah menagih seperti para wanita rentenir."Pakai aja uangnya buat kamu makan sama beli kuota!" ucap Nella menolak setiap aku menyetor upah ngojekku. Itulah yang membuat aku ingin membalas jasanya. Kalau bukan karenanya, mungkin aku sudah hidup gembel di
"Bang Danu! Bangun!" samar kudengar suara seseorang memanggil. Lebih tepatnya membangunkan karena terasa tubuhku terguncang."Hem ... Apaan sih, Ly. Aku masih ngantuk ini!" balasku dengan malas dan kembali merapatkan selimut, dan meringkuk sembari memeluk guling."Kok, Ely sih, Bang! Ini aku Nella," protes seseorang yang langsung membuatku terperanjat karena baru sadar kalau aku sedang di rumah Nella, sahabat istriku yang sudah kunikmati keindahan tubuhnya."Eh ... maaf Nella Sayang. Aku lupa kalau sekarang aku ada di rumahmu. Biasanya kan aku dibangunkan sama Ely," balasku sambil menatap wanita yang kini memasang muka cemberut karena merajuk."Apa kejadian yang semalam kamu juga lupa, Bang?" tanyanya membuat aku kembali panas dingin."Oh, jelas tidaklah. Masa lupa sih, sama permainanmu yang sungguh sangat agresif, tapi aku suka," balasku sambil mengecup pipinya yang memerah dan Nella langsung senyum malu-malu.Ah, wanita. Hanya modal rayuan maut saja, sudah luluh mau diapain juga. It
"Pergi kamu dari sini! Jangan pernah nampakkan wajahmu di depanku. Sekarang aku sudah tidak punya anak sama sekali." Bapak melempar tas berisi pakaian ke hadapanku sembari menyuruhku pergi dari rumahku sendiri.Rumah itu memang dibangun memakai dana dari Bapak, tetapi aku berhak tinggal karena aku anaknya satu-satunya. Eh ... malah mau dijual rumah itu, terus diberikan sama Ely. Padahal yang anaknya itu aku, bukan Ely. Ely itu hanya menantu, menantu itu orang luar yang tidak berhak sama sekali.Aku meraih tas itu, lalu bangkit dan pergi tanpa berpamitan pada Bapak dan Ibu. Kulihat Ibu menangis pilu menatap kepergianku, tetapi tak dapat mencegah karena mungkin tidak berani melawan suaminya yang tua bangka itu.Para tetangga masih saja sibuk menonton drama yang sebenarnya sudah selesai. Begitulah parah tetangga, selalu penasaran dengan masalah orang. Bukan untuk simpatik, melainkan ingin menertawakan.Aku yakin seratus persen kalau mereka sedang menertawakan diriku, bahkan mungkin ada
"Sekarang kamu tidak bisa berbuat apa-apa, Sayang. Karena apa? Karena kamu memang masih begitu sangat sangat mencintaiku." Bang Danu semakin mendekat dan menyeringai menjijikkan."Bismillah." Kuangkat kakiku tinggi-tinggi hingga lututku mendarat di selangkangannya."Auw ... Auw ... Arggggg." Bang Danu spontan memegang benda pusakanya dan menjerit-jerit."Syukurin." Kini giliran aku yang menyeringai sinis padanya."Kalau kamu berpikir aku sangat ingin kembali dengan pria sepertimu, kamu salah. Tidak pernah terlintas dipikiranku sama sekali untuk mengambil apa yang sudah aku muntahkan." Aku berpangku tangan di depan Bang Danu yang masih meringis."Kamu jangan besar kepala dan mengkhayal setinggi langit! Karena, kalau itu jatuh sakit. Aku tekankan sekali lagi, aku tidak butuh suami benalu sepertimu.""Ely, Sayang. Kenapa kamu jadi ganas dan bar-bar begini?" tanyanya dengan sekuat tenaga menahan sakitnya.""Aku benar-benar ingin kembali padamu, Sayang.""Ya, ampun. Siapa yang mau lelaki b