Aku berdiri di ambang pintu kamar, sambil menyandar di kusen pintu dengan mata yang fokus menatap suamiku yang tak bosan-bosannya memainkan ponsel.
Aku melirik jam di dinding yang sudah menunjuk angka sepuluh, itu artinya sudah hampir tengah malam. Namun Bang Danu masih bergeming di depan TV yang sejak tadi siarannya tak dihiraukan olehnya.
Aku mengembuskan napas berat, seberat beban yang aku tanggung selama ini, tetapi tak pernah terasa sama sekali karena aku selalu berlapang dada.
Namun, kali ini dadaku rasanya sesak memikirkan kejanggalan yang terjadi belakangan ini.
Tanpa sadar, bulir bening menetes di pelupuk mata. Aku mengelapnya pelan lalu melangkah ke kamar Naifa untuk memastikan kalau putri kesayanganku sudah tidur.
Setelah memastikan, kalau Naifa sudah tidur.
Aku kembali melangkah ke ruang nonton TV dan menemui Bang Danu untuk mengabarkan kalau esok pagi aku akan mengantarnya ke rumah sakit untuk periksa kesehatan kakinya.
"Bang ... besok pagi jangan lupa awal bangun! Kita akan ke rumah sakit untuk cek kaki, Abang," kataku saat duduk di atas karpet berhadapan langsung dengan suamiku yang lebih tinggi karena duduk di kursi rodanya.
Bang Danu yang tadinya, fokus dengan game di ponsel pintarnya langsung menatapku dengan tatapan yang sulit aku pahami. Ada raut kaget di sana.
"Kok, dadakan banget, Dek? Aku belum ada persiapan apa-apa, loh," protesnya, yang langsung membuat alisku terangkat.
"Persiapan apaan sih, Bang? Kamu hanya perlu siapkan badan doang, itu aja, kok, dibikin ribet," omelku karena merasa aneh dengan ucapannya itu.
"Bu-bukan itu, maksudnya ... aku belum ngasih tau ke Ibu, kalau besok akan ke rumah sakit. Biasanya kan Ibu ...."
"Kan ada aku, Bang. Besok aku yang akan antar kamu periksa," potongku cepat karena aku tahu kalau suamiku itu mau bilang kalau ibunya yang selalu mengantarkan ia periksa.
"Tapi, Dek ...."
"Gak ada tapi-tapian, Bang. Besok aku akan minta cuti khusus untuk kamu, jadi gak usah khawatir!" tekanku.
"Tidak bisa gitu, dong, Dek. Masa cuman gara-gara aku, terus kamu main cuti aja. Nanti, gaji kamu akan berkurang, dong."
Aku tersentak mendengarkan ucapan Bang Danu. Apa tadi? Gaji? Setakut itu ia dengan gajiku jika berkurang daripada dengan keadaan dirinya sendiri? Atau ....
Pikiranku langsung teringat pada Nella yang menyuruhku untuk menaruh curiga pada Bang Danu. Lalu tadi siang, Nella juga memberi alasan yang sama kalau ia datang ke rumah untuk menginterogasi Bang Danu secara langsung untuk mengakui kalau ia adalah pria di restoran itu.
"Kamu, sih, keburu datang ... gagal deh rencanaku untuk tahu jawaban suamimu," omel Nella tadi siang saat aku mencurigainya.
"Emangnya kenapa kalau aku datang? Kan, malah bagus, aku bisa langsung tahu, juga," kataku lalu menoleh ke belakang, melihat situasi apakah suamiku menyusul ke mari atau tidak.
"Tapi, gak gitu, juga kali. Kalau kamu ada ... mana mau dia ngaku. Kalau dia mau kasi tahu kamu, ya udah dari kemarin-kemarin kali," imbuhnya
"Terus aku harus, apa?" tanyaku karena merasa buntu dan merasa ucapan Nella semuanya benar dan aku yang salah.
"Ya ... seperti perkataan aku sebelumnya, kamu selidiki diam-diam."
Itulah perbincangan terakhir Nella sebelum pulang, tadi siang.
Aku menghela napas pelan lalu berucap," Pokoknya besok pagi, Abang harus tetap pergi periksa," tegasku pada Bang Danu yang terdengar berdecak sebal. Namun aku mengabaikan itu.
Aku harus mulai dari pemeriksaan kaki Bang Danu untuk melihat hasilnya lebih jelas, daripada hanya menduga-duga saja, tetapi tak ada bukti.
Aku terbangun di jam tiga dini hari, untuk mengecek ponsel suamiku yang ia letakkan di atas nakas.
Bukankah, benda pertama yang seorang istri periksa saat mencurigai suaminya adalah telepon genggam? Maka itu pula yang kulakukan saat ini. Untungnya HP milik suamiku tak pernah ia kunci.
Aku menatap layar pipih milik suamiku dengan serius. Namun, aku sangat heran saat satu persatu aplikasinya aku periksa, termasuk aplikasi hijau, biru, pink dan segala penyimpanannya tak luput dari pemeriksaan.
Ini sangat aneh menurutku, karena HP Bang Danu benar-benar bersih seolah gak aktivitas di dalamnya. Padahal setiap mata ini menatap Bang Danu, pasti ia sedang bermain ponsel.
Lalu apa ini? Kuperiksa kembali pesan masuknya juga pesan WAnya guna memastikan kalau benar-benar gak ada isinya sama sekali.
Nihil.
Harusnya aku lega, karena gak ada pesan aneh dan nyeleneh yang bisa bikin seorang istri naik pitam.
Ini tidak berlaku denganku, justru aku malah semakin curiga. Jika aplikasi pesan sebersih ini berarti Bang Danu sengaja menghapus semuanya sebelum tidur dan bisa saja ada sesuatu di dalamnya sehingga ia hapus.
Mungkin itu alasannya gak mengunci ponselnya, karena ia yakin sudah dibersihkan semuanya.
Tapi, bukan Alyera namaku kalau aku putus asa.
Setiap rahasia pasti akan ketahuan. Tinggal tunggu waktu yang tepat saja.
Aku teringat kalau pesan yang kita hapus bisa dilihat lagi di kotak sampah. Aku coba otak-atik ponsel suamiku dengan harap cemas. Berharap ada sampah yang belum suamiku hapus, juga cemas karena takut Bang Danu tiba-tiba bangun.
Mataku memicing menatap sebuah obrolan yang belum suamiku bersihkan dari tempat sampah.
Aku membaca dengan seksama pesan dari sesenomor yang tak diberi nama olehnya.
Dadaku kembang-kempis setelah membaca beberapa pesan.
Aku menoleh ke arah pria yang sedang tidur pulas dan mendengkur. Ingin rasanya aku mencekik lehernya biar dia langsung koit.
Tapi urung kulakukan. Aku tak ingin masuk bui cuman gara-gara lelaki yang gak tahu diuntung ini.
Aku kembali membaca pesan selanjutnya dan hatiku rasanya memanas.
Kuremas ponsel suamiku hingga layarnya retak.
Rasanya aku ingin meremas jantungnya juga agar ia sadar kalau aku sedang murka. Tapi cepat aku kendalikan amarah ini, sebelum aku bertindak bar-bar.
Hati siapa yang tak sakit? Perasaan siapa yang tak hancur saat mendapatkan suami yang ia sayang, suami yang ia rawat selama ini ternyata main serong?
Aku jatuh terduduk di lantai. Butiran kristal yang sejak tadi berdesakan ingin keluar dari iris mata akhirnya lolos juga melewati pipiku. Sekuat tenaga aku menahan diri ini, jangan sampai aku tersedu-sedu dan membuat Bang Danu terbangun.
Ah ... aku memang payah. Bahkan aku masih memikirkan dirinya yang bisa-bisa tidurnya terganggu olehku. Padahal orang yang selalu kupikirkan belum tentu memikirkan perasaanku.
Segera kuhapus kasar air mata ini, agar tak berlarut-larut dalam kesedihan ini. Aku harus menyimpan bukti ini.
Aku mengambil ponselku, memotret bukti pesan para pengkhianat ini. Mana tahu aku membutuhkannya suatu saat nanti.
Setelah itu, aku ke layar utama, lalu menyimpan HP Bang Danu di bawah tepatnya di samping nakas. Seolah ponsel itu jatuh karena Bang Danu gak sengaja menyenggolnya dan layarnya retak.
Kemudian, aku keluar kamar dan menuju dapur.
Segelas
Dua gelas
Tiga gelas
Empat gelas
Lima gelas air putih tandas di tenggorokan.
Napas pun naik turun karena sesak rasanya, mengingat nasib ini yang mungkin kurang beruntung
Astaghfirullah Al-azim
Aku segera beristigfar. Takut Allah akan murka jika aku mengeluhkan nasib diriku.
Bukankah setiap ujian sesuai kemampuan hamba-Nya?
Berarti aku mampu melewati ujian ini, dan bukti kasih sayang-Nya padaku yaitu melalui petunjuk-Nya.
Saat kembali ke kamar, aku kesusahan untuk tidur. Daripada aku termenung seorang diri lebih baik aku segera salat Tahajud.
Selesai salat, aku lanjutkan dengan membaca surah pendek hingga waktu salat Subuh tiba.
Setelah salah Subuh, aku ke dapur dan segera menyibukkan diri dengan semua peralatan dapur.
Hingga waktu terus bergulir dan tanpa sadar kalau Bang Danu sudah bangun dan menghampiriku di dapur.
"Dek ..."
"Iya, Bang," sahutku lalu menoleh sekilas menatap suamiku yang setia duduk di kursi rodanya tapi cintanya yang tak setia.
Aku melempar senyum termanisku seperti biasa. Seolah-olah tak terjadi apa-apa dengan hatiku.
Padahal nyatanya, hatiku sedang menangis.
"Adek, tau gak kenapa HP-ku tiba-tiba retak begini." Bang Danu memperlihatkan ponselnya yang retak sedikit, tetapi wajah paniknya bukan main.
Bagaimana dengan hatiku, Bang? Hatiku retak seribu karenamu.
Ingin rasanya aku mengatakan isi hatiku padanya. Namun, urung kulakukan karena aku belum punya cukup bukti.
Aku pasang muka prihatin, lalu berucap," Loh, kok bisa sih, Hp-nya kayak gini, Bang. Aku baru tahu, loh."
"Entahlah, Dek." Bang Danu mengembuskan napas kasar.
"Kirain, kamu tau," lanjutnya menuduhku.
"Abang nuduh, aku. Mana mungkin aku bisa melakukannya. HP itu kan di atas nakas sebelahmu. Bisa saja, kamu yang tak sengaja menyenggolnya dengan tangan lalu jatuh," kelitku lalu memasang wajah merajuk
"Bukan nuduh kamu, Dek. Cuman nanya kirain kamu tau, gitu," elaknya sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Kan, aku udah bilang. Kalau aku baru tau sekarang, tetapi kamu masih nanya. Seolah aku yang buat HP itu retak," omelku tak mau kalah.
Meski memang aku pelakunya. Tapi, aku tak mungkin sebodoh itu mau mengaku, karena aku tak mau dia curiga kalau aku habis otak-atik ponselnya.
"Maafkan aku, Dek! Abang gak ada maksud begitu." Bang Danu meraih kedua tanganku namun aku langsung meringis.
Ah ... sial.
Bang Danu menyentuh luka di tangan yang sudah kuplester.
"Dek ... tanganmu kenapa?"
"Ng-nggak kenapa-kenapa kok, Bang. Ta-tadi terkena ... pecahan piring ... ya, pecahan piring, " kataku terbata tapi berusaha meyakinkan.
Bang Danu seolah kurang percaya karena aku terlihat gugup. Namun, aku terselamatkan oleh suara salam seseorang.
Tapi siapa yang bertamu pagi-pagi begini?
Dari suaranya sangat tak asing buatku.
Sebelum ke luar, ku tatap Bang Danu meminta penjelasannya.
Bersambung ...
POV Alyera "Kamu ngapain, jalan sambil nunduk? Mikirin apa? Kamu beruntung karena aku datang tepat waktu kalau tidak ... mungkin jidatmu sudah selebar tiang tadi," katanya sambil bertanya, disertai dengan sindiran serta kekehan.Aku memilih memalingkan wajah ke luar jendela menatap pohon yang masih terkena cahaya langit yang mulai redup berganti cahaya malam.Ucapan pria cambang ini benar-benar bikin jengkel, asli."Kok, gak dijawab?" tanyanya lagi membuatku menarik napas dalam."Saum," jawabku singkat."Apa hubungannya, puasa dengan bicara?""Saum bicara," balasku lagi dengan memutar bola mata."Emang ada saum bicara, tapi ngebalas terus dari tadi," kekehnya sembari menatap lurus ke depan. Aku memilih diam tak menjawab lagi."Biar aku tebak," katanya antusias."Gak lagi pengen main tebak-tebakan," protesku"Kamu pas jalan tadi pasti sambil mikirin suami kamu," ujarnya sok tahu banget."Calon mantan suami," ujarku penuh penekanan."Sama aja, kan baru calon berarti masih.""Terserah T
Hari-hariku semakin kacau, kala pulang ke rumah untuk makan siang. Akan tetapi, Nella belum masak sama sekali.Bahkan istriku itu masih betah berlabuh di pulau mimpi dan melukis pulau Kalimantan di sarung bantal.Aku hanya bisa membuang napas kasar, mau marah juga tidak bisa karena sudah bisa ditebak kalau aku akan kalah berdebat sama Nella."Yank! Bangun!" Aku menggoyangkan tubuh Nella yang masih terbungkus selimut itu."Ini udah tengah hari, loh. Udah mau masuk waktu salat Zuhur," ujarku lagi, tetapi Nella tetap bergeming.Saat menyebut salat Zuhur ada yang bergetar di dalam hati. Entah sejak kapan terakhir kali aku melakukan salat. Sudah sangat lama sekali aku tidak melaksanakan kewajibanku sebagai umat yang mengaku beragama muslim.Mungkin aku bisa bisa dinobatkan jadi duta Islam KTP, karena mengaku Islam, tetapi tidak melaksanakan kewajiban.Aku mendadak ingat, Ely. Dia selalu mengingatkan aku untuk salat sambil duduk. Meski aku lebih memilih berbohong dan mengaku sudah mengerjak
"Minggu depan aku akan menikah dengan kekasihku," ucap Nella sambil menatap langit-langit kamar, seolah ada yang membuatnya resah.Lain halnya denganku, aku senang mendengar dia akan menikah. Setidaknya dia tidak memintaku lagi datang kemari, sekedar memuaskan hasratnya.Malam ini aku hanya terpaksa melakukannya karena dia memintaku. Hanya sebagai balas budi ... itu saja. Semenjak mengetahui kalau asetnya juga dipakai oleh bandot tua, aku jadi jijik padanya.Meski kuakui, kalau dia pernah membuatku melayang tinggi ke langit ke tujuh. Tapi, malam ini tidak sama sekali.Aku hanya berusaha membuatnya puas dengan permainanku karena lagi-lagi aku ingin membalas jasanya yang telah membelikanku motor. Meski ngutang, tetapi wanita ini tidak pernah menagih seperti para wanita rentenir."Pakai aja uangnya buat kamu makan sama beli kuota!" ucap Nella menolak setiap aku menyetor upah ngojekku. Itulah yang membuat aku ingin membalas jasanya. Kalau bukan karenanya, mungkin aku sudah hidup gembel di
"Bang Danu! Bangun!" samar kudengar suara seseorang memanggil. Lebih tepatnya membangunkan karena terasa tubuhku terguncang."Hem ... Apaan sih, Ly. Aku masih ngantuk ini!" balasku dengan malas dan kembali merapatkan selimut, dan meringkuk sembari memeluk guling."Kok, Ely sih, Bang! Ini aku Nella," protes seseorang yang langsung membuatku terperanjat karena baru sadar kalau aku sedang di rumah Nella, sahabat istriku yang sudah kunikmati keindahan tubuhnya."Eh ... maaf Nella Sayang. Aku lupa kalau sekarang aku ada di rumahmu. Biasanya kan aku dibangunkan sama Ely," balasku sambil menatap wanita yang kini memasang muka cemberut karena merajuk."Apa kejadian yang semalam kamu juga lupa, Bang?" tanyanya membuat aku kembali panas dingin."Oh, jelas tidaklah. Masa lupa sih, sama permainanmu yang sungguh sangat agresif, tapi aku suka," balasku sambil mengecup pipinya yang memerah dan Nella langsung senyum malu-malu.Ah, wanita. Hanya modal rayuan maut saja, sudah luluh mau diapain juga. It
"Pergi kamu dari sini! Jangan pernah nampakkan wajahmu di depanku. Sekarang aku sudah tidak punya anak sama sekali." Bapak melempar tas berisi pakaian ke hadapanku sembari menyuruhku pergi dari rumahku sendiri.Rumah itu memang dibangun memakai dana dari Bapak, tetapi aku berhak tinggal karena aku anaknya satu-satunya. Eh ... malah mau dijual rumah itu, terus diberikan sama Ely. Padahal yang anaknya itu aku, bukan Ely. Ely itu hanya menantu, menantu itu orang luar yang tidak berhak sama sekali.Aku meraih tas itu, lalu bangkit dan pergi tanpa berpamitan pada Bapak dan Ibu. Kulihat Ibu menangis pilu menatap kepergianku, tetapi tak dapat mencegah karena mungkin tidak berani melawan suaminya yang tua bangka itu.Para tetangga masih saja sibuk menonton drama yang sebenarnya sudah selesai. Begitulah parah tetangga, selalu penasaran dengan masalah orang. Bukan untuk simpatik, melainkan ingin menertawakan.Aku yakin seratus persen kalau mereka sedang menertawakan diriku, bahkan mungkin ada
"Sekarang kamu tidak bisa berbuat apa-apa, Sayang. Karena apa? Karena kamu memang masih begitu sangat sangat mencintaiku." Bang Danu semakin mendekat dan menyeringai menjijikkan."Bismillah." Kuangkat kakiku tinggi-tinggi hingga lututku mendarat di selangkangannya."Auw ... Auw ... Arggggg." Bang Danu spontan memegang benda pusakanya dan menjerit-jerit."Syukurin." Kini giliran aku yang menyeringai sinis padanya."Kalau kamu berpikir aku sangat ingin kembali dengan pria sepertimu, kamu salah. Tidak pernah terlintas dipikiranku sama sekali untuk mengambil apa yang sudah aku muntahkan." Aku berpangku tangan di depan Bang Danu yang masih meringis."Kamu jangan besar kepala dan mengkhayal setinggi langit! Karena, kalau itu jatuh sakit. Aku tekankan sekali lagi, aku tidak butuh suami benalu sepertimu.""Ely, Sayang. Kenapa kamu jadi ganas dan bar-bar begini?" tanyanya dengan sekuat tenaga menahan sakitnya.""Aku benar-benar ingin kembali padamu, Sayang.""Ya, ampun. Siapa yang mau lelaki b