Share

5. P.O.V Danu

Namaku Danu Jaya, Jaya adalah nama Bapak dan Farida--ibuku. Alhamdulillah kedua orang tuaku masih ada dan masih sehat.

Hanya saja, Bapak tidak terlalu suka padaku karena menurutnya aku anak pemalas. Hanya Ibu yang selalu menyayangi dan mendukung setiap langkahku.

"Kamu itu sudah menikah, sudah punya anak dan istri, tapi masih saja malas kerja! Kapan kamu dewasa, Danu? Mau kamu kasi makan apa anak orang, hah?" omel Bapak setiap aku datang ke rumahnya untuk minta uang buat beli rokok waktu itu.

"Makan nasi lah, Pak," balasku sambil mengisap rokok yang baru saja kuambil darinya dan berusaha tak ambil pusing dengan ocehannya yang sudah seperti buruh beo.

Bapak memukul kepalaku dengan pecinya sambil terus memarahiku. "Kamu pikir, nasi itu bisa datang dengan sendirinya ke rumahmu! Kamu pikir anak orang mau cuman dikasi makan nasi saja tanpa lauk dan sayur!"

"Sudah ... sudah, Pak. Jangan memarahi Danu terus-menerus, Pak, yang ada dia makin buntu nanti otaknya. Kasihan anak kita, Pak." Ibu datang melerai bapak yang hampir memukulku lagi.

Begitulah ibuku, selalu saja membelaku setiap bapak marah-marah tidak jelas begitu. Itulah bukti kasih sayang ibuku.

"Belain aja terus, Bu! Belain anak ibu yang manja itu. Udah berjanggut sana-sini, udah ngambil anak orang tapi gak ada inisiatif mau kerja. Malu aku, Bu sama besan kita. Anak kita sudah menggantikan tanggung jawab orang tuanya untuk menafkahi Ely, tapi anak kita malah begini. Rokok pun minta ke sini!"

Bapak selalu bawa-bawa mertuaku yang ada di kampung. Padahal keluarga Ely tidak pernah ikut campur masalah rumah tangga anaknya.

Cukup mereka tahu keadaan anaknya yang sehat dan masih bernapas, ya ... Alhamdulillah bagi mereka.

Kadang sesekali datang ke kota untuk menjenguk istriku, sambil membawa buah tangan dari kampung juga kadang amplop yang ia selipkan di tangan istriku tanpa banyak oceh kayak Bapak.

Ini kejadian saat putriku masih bayi dan memang saat itu aku gak dapat kerjaan sama sekali, karena cape mendengar Bapak marah-marah terus tiap hari, makanya aku kerja serabutan yang penting ada buat beli rokok.

Rokok yang penting lebih dulu, buat makan belakangan lagi pula istriku juga bekerja di rumah. Penghasilannya menjahit juga lumayan buat beli beras dan kawan-kawannya.

Sekarang aku sudah gak cape dan pusing lagi memikirkan itu semua, karena aku sudah bahagia sekali saat ini.

Aku akan menceritakan bagaimana definisi orang bahagia versiku. Punya istri cantik, baik, penurut, pekerja, keras dan berbakti itulah kunci kebahagiaanku, di tambah anak perempuan yang cantik dan juga bisa diandalkan adalah pelengkap kebahagiaan ini.

Setiap hari kerjaanku hanya duduk, baring, makan enak, dan main game OL. Aku tak perlu susah-susah memikirkan pekerjaan yang menurutku sangat susah dicari. Tak perlu memikirkan bagaimana caranya mencari uang agar bisa disulap jadi makanan.

Semua pekerjaan sudah di handle oleh Alyera--istriku, gadis manis yang kunikahi delapan tahun yang lalu.

Aku hanya perlu menikmati hasilnya dan ia yang akan panen pahalanya. Bukankah membantu suami mencari rezeki adalah ladang pahala untuk istri?

Nah ... itu dia, aku sedang membantu istriku untuk mendapatkan pahala sebanyak-banyaknya dengan cara berbakti pada suami.

Makanya selama 2 tahun lebih aku pura-pura lumpuh dan Ely percaya tanpa banyak curiga sama sekali. 

Aku hanya perlu memberikan nafkah batin saja, itupun kadang dia yang harus bersusah payah melakukannya, aku hanya tinggal terima enaknya saja. 'Kan aku lumpuh, mana bisa bergerak bebas.

Istriku itu memang polos dan terlalu cinta padaku sehingga sanggup melakukan apa pun demi aku. Itulah cinta yang kadang beda tipis dengan kebodohan dan orang-orang menyebutnya bu-cin.

Pikiranku melanglang buana pada kejadian sebelum aku seperti ini. Awal mulanya aku frustrasi karena baru saja dipecat oleh mandor bangunan di tempat aku bekerja sebagai buruh.

"Kamu enak-enakan tidur di sini, sementara yang lain sibuk kerja. Kalau kamu masih ngantuk pulang sana dan tidur sepuasnya! Aku gak butuh pekerja malas kayak kamu!" hardik mandor padaku, bahkan ia tak memberikan gajiku karena aku belum cukup sehari bekerja.

Memang gajiku aku ambil setiap hari karena untuk membeli rokok dan sisanya baru kuberikan pada istriku, itupun kalau sisa.

Tapi hari itu, aku benar-benar mengantuk karena habis begadang semalaman sambil main game. 

Bukan karena nganu ya.

Ide cemerlang muncul saat aku di perjalanan pulang. Sambil mengendarai motor dengan perlahan aku melihat seseibu sedang jalan dengan santai sambil bawa tas yang pasti isi di dalamnya ada dompet dan uang.

Daripada gak merokok lebih baik aku pakai ideku itu, sekali-sekali tidak apa-apa kali, pikirku saat itu.

Akan tetapi keberuntungan tidak berpihak padaku. Saat aku mengambil tasnya dan melajukan motor, Ibu itu teriak minta tolong sehingga pengendara lain menghadangku dan orang-orang langsung berkerumun saat aku terjatuh dari motor.

Setelah aku babak belur, mereka malah meninggalkan aku tanpa belas kasihan.

Terpaksa aku harus bangkit dan berusaha mengendarai motorku meski badan rasanya sakit semua dan motor terlihat oleng.

Nasib nahas kembali terjadi padaku, mungkin aku kurang fokus mengendarai motorku, sehingga di persimpangan saat hendak berbelok tiba-tiba ada mobil dan kecelakaan tak terelakkan lagi.

Aku pun teriak histeris saat terseret beberapa meter lalu jatuh dan tertimpa motor.

Sakit bukan main hingga aku dilarikan ke rumah sakit.

Di sana aku meraung-raung saat diperiksa. Kakiku terasa sakit dan luka-luka karena kata dokter ... tulang kakiku ada yang retak sedikit hingga harus diperban dua-duanya.

Kakiku masih bisa sembuh kata dokter, karena retaknya tak terlalu parah dan aku pun akhirnya bernapas lega. Hanya perlu bantuan kursi roda untuk sementara waktu.

Untung saja pemilik mobil yang menabrak mau bertanggung jawab membayar biaya berobat dan juga membelikan aku kursi roda yang harganya tidak murah itu.

"Dasar anak ceroboh! Sudah tahu bawa motor kenapa gak fokus liat jalanan!" omel Bapak saat menjengukku waktu itu.

"Bapak ini, bukannya menyemangati anak biar gak terpuruk malah dimarahin. Mending bapak pulang sana! Doain anak kita biar cepat sembuh!" sembur ibuku kala itu membuatku mencebik ke arah Bapak.

Bapak benar-benar pulang. Hanya Ibu dan istriku yang selalu gantian menjagaku di rumah sakit

Kadang Ely pulang karena anak kami masih kecil dan ia juga harus mengerjakan jahitannya di rumah. Kalau dia gak kerja mau makan apa kita.

Lima hari aku di rumah sakit, perasaanku sangat enak karena tak perlu memikirkan pekerjaan. Aku cuman makan, minum dan tidur saja kalau bosan ya ... main hape.

Ide cemerlang untuk pura-pura lumpuh itu akhirnya muncul di kepala ini dan aku paksa ibuku untuk membantu dalam sandiwara ini.

Tentu saja tanpa sepengetahuan Bapak. Kalau bapakku tahu bisa tamat riwayatku. Aku membayar petugas untuk memalsukan hasil pemeriksaan kakiku tanpa sepengetahuan dokternya.

Dari mana aku dapat uang untuk membayar petugas? Tentu dari orang yang sudah menabrak aku.

Terkadang ada benarnya kata orang tua, setiap kejadian pasti ada hikmahnya dan aku merasakan hikmah yang luar biasa ini.

Hasil yang asli aku simpan dan hasil yang palsu aku tunjukkan pada Bapak dan Ely dan mereka percaya karena melihat keadaan kakiku yang masih diperban

Setiap seminggu sekali, Ely akan menyuruhku untuk periksa kesehatan kakiku. Namun, aku menolak pergi dengannya. Aku selalu beralasan untuk diantar sama ibu saja karena ia sibuk bekerja. Ia setuju dan selalu percaya dengan apa yang aku ucapkan.

Hingga istriku itu selalu uring-uringan karena pelanggan jahitnya sedang sepi. Namun, ia tak patah semangat, ia pergi melamar pekerjaan sesuai saran dari salah satu pelanggannya.

Tentu, ia mau karena aku paksa ibuku untuk membujuknya, agar ia mau bekerja di luar sana yang gajinya lumayan. Daripada di rumah dapat capenya hasilnya receh.

Kurang apa coba aku jadi suami? Karena aku istriku bisa seperti sekarang ini, makanya kartu ATM-nya aku yang pegang, dia hanya mengambil sekedarnya saja untuk ongkos beli bensin ke tempat kerja, juga membeli kebutuhan dapur.

Awalnya dia menolak saat aku meminta ATM-nya untuk kupegang. Namun, aku beri alasan kalau biar gak boros dan untuk tabungan masa depan harus dipegang olehku. Akhirnya ia setuju tanpa banyak drama lagi dan ia sangat patuh padaku.

Akan tetapi, belakangan ini sikap istriku itu jauh berbeda dari sebelumnya. Dia tak lagi merespon ajakanku untuk nganu, bahkan tak sedih lagi saat aku mengucapkan kata-kata yang putus asa.

Perubahan sikap Ely terjadi setelah aku mengajak kekasih gelapku makan malam romantis di sebuah restoran mewah .

Hatiku bertanya-tanya, mungkinkah Ely curiga dan mengendusnya?

Akan tetapi, segera kutepis pikiranku ini. Karena tidak mungkin Ely curiga. Selama ini dia tidak sempat untuk ini itu karena kesibukannya di pabrik juga di rumah. 

Bahkan badannya pun tak sempat ia urus saking sibuknya, tapi ia tetap cantik dan aku mengakui itu. Namun aku juga butuh suasana baru, orang baru yang lebih segar dipandang mata.

Makanya aku tertarik dengan seorang wanita cantik yang aku kenal di aplikasi game OL. Awalnya main bareng, lalu tukar nomor, saling kirim pesan yang awalnya basa-basi jadi lebih serius, dan akhirnya kami ketemu dan saling mengungkapkan perasaan.

Dia punya suami dan aku punya istri. Kita menjalani hubungan karena butuh sensasi baru yang tak ditemukan dari pasangan kita masing-masing.

Aku senyum-senyum saat melihat foto kekasihku itu sambil duduk di sofa, sesekali menghirup rokok lalu meniup asapnya kadang diselingi dengan menyesap kopi.

Ah ... nikmatnya hidup ini. Nikmat mana lagi yang aku dustakan.

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status