Share

7. Mengumpulkan Informasi

POV Alyera

 

"Apa-apaan ini, Bang?!"  

 

Aku menghampiri Bang Danu yang terlihat kaget dengan kedatanganku. Apalagi dia melihat kali ini wajahku tampak tak bersahabat.

 

Siapa yang tak marah, saat melihat anaknya di suruh angkat air dari rumah tetangga. Rasanya kepalaku sudah mengeluarkan asap saat ini juga. 

 

Bukan karena tak ingin anakku di suruh-suruh, tetapi ada alasan lain di balik kemarahanku ini.

 

"D-dek ... se-sejak kapan di situ?" tanya Bang Danu gugup.

 

Aku mengabaikan pertanyaannya. Tatapanku beralih pada Naifa yang sudah ke luar dari WC. Aku mendekat ke arah putriku lalu mengusap kepalanya.

 

"Naifa main dulu, ya! Soalnya Mama dan Papa mau ngobrol sesuatu hal yang sangat penting!" titahku pada gadis kecilku yang langsung mengiyakan dan berlalu pergi setelah meraih tanganku dan mencium dengan takzim. Hal itu juga yang ia lakukan pada papanya.

 

Aku kembali menghampiri pria yang tengah duduk di atas kursi roda setelah memastikan kalau Naifa sudah keluar dan tak akan mendengar apa yang akan kami bahas setelah ini.

 

"Sejak kapan Adek, datang?" tanyanya 

 

"Haruskah aku jawab, hmm ...?"

 

"Aku ingin tau karena setahuku Adek ...."

 

"Sejak Abang menyuruh Naifa untuk minta air di rumah tetangga!" bentakku seketika Bang Danu terlonjak.

 

"Jelaskan, Bang! Ada apa dan kenapa?!

 

"A-aku l-lupa ba-yar ---"

 

"Bayar apa, Bang?" potongku cepat 

 

Semoga Allah mengampuniku karena meninggikan suara di depan suami. Rasanya kesabaranku sudah berada di level tinggi.

 

"Bayar tagihan air leding, dan ... air leding kita mungkin diputuskan ... alirannya," sahutnya terbata meski sedikit ragu, mungkin juga takut kusembur kedua kalinya.

 

Aku menghela napas kasar. "Kenapa Abang, tak bayar? Bukankah biasanya bayar lewat M-Bangking dan juga ATM aku kan di tanganmu, Hmm ...!" ucapku memberi penekanan di akhir kalimat.

 

"Ka-karena uangnya ...."

 

"Karena uangnya kamu pakai buat bayar petugas di rumah sakit untuk buat dokumen palsu, iya kan?!" 

 

Bang Danu yang tadinya menunduk langsung mengangkat wajahnya menatapku.

 

Dadaku naik turun menahan emosi yang sejak tadi kutahan-tahan.

 

"Bukan begitu, Dek. Abang bisa jelaskan, kok, pasti kamu salah paham." Bang Danu hendak meraih tanganku namun kutepis seketika.

 

Tak Sudi aku disentuh oleh pria yang tega melakukan semua ini padaku dan putriku.

 

"Ayo jelaskan, Bang? Jelaskan menurut versimu!?"

 

"Intinya ... Kamu hanya salah paham, Dek. Pasti kamu dapat kabar burung, kan? Pasti Nella yang telah mengha ...."

 

Kedua alisku naik turun mendengar ucapan Bang Danu.

 

"Nella kenapa, Bang? Ada hubungan apa kamu sama dia?" cecarku menatapnya penuh intimidasi.

 

"Hah ... Nella ... aku gak ada hubungan apa-apa sama Nella, Dek. Percayalah, aku pikir Nella telah menghasut Adek untuk ...."

 

"Untuk ...?

 

Bang Danu semakin membuatku bingung dan ia terlalu bertele-tele.

 

"Tidak ada apa-apa, Dek. Lupakan soal Nella! Ayo ikut denganku, Dek!"

 

Bang Danu hendak menarik tanganku untuk ikut dengannya yang kewalahan mendorong kursi rodanya. 

 

Aku hanya berdiri tak ada niat untuk membantunya. Karena percuma saja hanya buang-buang waktu dan tenagaku selama dua tahun lebih.

 

Aku hanya mengikuti Bang Danu ke kamar karena ia memang masuk ke kamar dan mengambil berkas lalu memperlihatkan padaku.

 

"Ini hasil pemeriksaan kakiku tadi pagi, Dek! Lihatlah dan percaya sama aku kalau itu hasil yang akurat dan aku memang sudah tidak bisa lagi jalan dan tidak bisa cari bekerja ...."

 

Bang Danu berhenti mengoceh panjang lebar saat aku merobek-robek berkas itu menjadi sebuah kepingan kecil dan kutabur di atas kepalanya.

 

Tampak wajahnya terkejut dengan tingkahku kali ini. Apakah aku keterlaluan?

Tentu tidak. Tidak sama sekali ... dia yang sudah keterlaluan.

 

"Apa-apaan kamu, Dek?!" berangnya seketika karena mungkin kertas ini menurutnya sangat mahal harganya.

 

"Kenapa, Abang marah, hah? Kita tidak butuh kertas ini, bukan? Ada atau tidaknya kertas ini hasilnya sama saja, iya, kan?"

 

Bang Danu meremas rambutnya dengan kasar. "Tapi kenapa kamu robek, hah? Aku sudah membayar mahal berkas ...."

 

Pria yang tengah duduk dikursi roda itu seketika menghentikan ucapannya. Mungkin ia baru sadar kalau ia sudah keceplosan mengatakan rahasianya sendiri dan membuatku mengepalkan tangan menahan geram.

 

"Ma-maksudku ... bukan begitu, yang sebenarnya ---"

 

"Sebenarnya kamu telah membohongiku selama ini, iya kan? Kamu juga tidak lumpuh lebih tepatnya pura-pura LUM-PUH!"

 

Aku melemparkan selembar kertas ke wajah suamiku yang baru saja kukeluarkan dari dalam tasku.

 

"Apa ini?" tanyanya seperti pura-pura bodoh.

 

"Baca ...! Kamu masih bisa melihat dengan jelaskan? Apa mata kamu mulai gak berfungsi dengan normal efek kelamaan duduk?" titahku menatapnya sinis.

 

"Dari mana Adek mendapatkan dokumen ini?" tanyanya semakin panik.

 

"Dari mana aku dapat, itu gak penting, Bang. Yang terpenting sekarang ini adalah berikan aku alasan atas semua kepura-puraanmu ini?"

 

Aku mendaratkan bokongku di kursi dengan asal, sembari berusaha keras menahan agar bulir bening yang sejak tadi kutahan tak jatuh di depan pria yang tak berhak aku tangisi.

 

Aku mendongak menatap langit-langit rumah dan tak berniat menatap ke arah pria yang sudah 8 tahun lebih menjadi suamiku.

 

Beruntung tadi pagi, aku tak benar-benar berangkat bekerja. Semalam aku sudah minta bantuan Nella untuk memintakan aku izin cuti untuk hari ini pada Mandor dengan alasan, aku ada urusan penting.

 

Setelah mengantar anakku ke sekolah, aku putar arah dan kembali ke arah rumah.

 

Aku memarkir motor di tempat yang agak jauh dari rumah, tetapi masih dapat melihat mobil dan motor yang lewat atau berhenti di depan rumah.

 

Tak lama kemudian sebuah mobil berhenti di depan rumah dan tampak Ibu Mertua dan Bang Danu keluar dari rumah.

 

Aku terkejut bukan main, saat melihat pria yang selama ini kuanggap lumpuh ternyata bisa berjalan dengan normal ke arah mobil.

 

Aku berusaha meredam amarah dalam dadaku dan terus mengawasi dari kejauhan, sehingga mobil itu bergerak dengan kecepatan sedang dan aku segera membuntuti dengan jarak yang tak terlalu dekat. Supaya tak mencurigakan, agar misiku tuntas setuntas-tuntasnya.

 

Keningku mengerut saat melihat suamiku dan ibunya turun di pelataran rumah sakit.

 

"Bukankah ia bisa jalan? Kenapa ia ke rumah sakit?" gumamku dengan diri sendiri.

 

Daripada bertanya-tanya seperti orang bodoh, lebih baik aku ikuti saja mereka.

 

Bukankah aku memang bodoh? Sebodoh itu aku hingga selama ini tak sadar telah di tipu.

Aku tersenyum miris memikirkan diriku yang sangat mudah dikibuli oleh suami sendiri. 

 

Seketika kukepalkan tangan dengan kuat, rahangku mengeras, dadaku kembang kempis menahan amarah dan mataku memanas saat melihat Ibu dan anak yang saling membantu dalam hal kebohongan.

 

Aku terus mengawasi mertua dan suamiku dari kejauhan. Hingga berjam-jam lamanya dan mereka sudah selesai dengan urusannya itu.

 

Aku hendak berbalik dan sialnya aku menabrak seorang suster yang melintas di belakang.

 

"Maaf ... maafkan, aku." Aku mengatupkan tangan pada wanita yang berpakaian perawat dan ia melakukan hal yang sama.

 

Aku membantunya memungut berkas yang ia pegang tadi dan terus menunduk dan bersembunyi di balik kerumunan orang yang datang membantu.

 

Setelah itu, aku berlari keluar dan berniat bersembunyi. Untung saja saat tiba di parkiran aku melihat ada mobil yang pintunya terbuka sedikit.

 

Aku masuk ke mobil itu dan bersembunyi.

 

Ternyata ada orang di dalamnya dan terkejut melihat aku masuk ke mobilnya. Namun, spontan tangan ini membekap mulutnya agar ia tak teriak dan tidak menyuruhku keluar dari mobil karena aku melihat suami dan Ibu mertua berjalan ke luar rumah sakit.

 

Aku menghela napas lega saat melihat suamiku sudah pergi bersama ibunya.

 

Aku langsung saja meminta maaf pada pemilik mobil dan langsung berlari ke luar tanpa menoleh lagi dan aku mengabaikan teriakan, ocehan dan makian orang itu.

 

Lagi pula aku tak mengenalinya, aku hanya sedang kepepet saja dan tak sengaja masuk ke mobilnya.

 

Aku langsung saja menemui petugas yang baru saja suamiku temui.

 

Ternyata tak mudah mendapatkan informasi dari petugas itu. Ia seolah ketakutan dan selalu berkelit.

 

"Mohon maaf, Bu. Kami tidak bisa membocorkan informasi apa pun tentang pasien kami," kelitnya.

 

"Saya ini istrinya loh, masa saya tidak bisa tahu informasi apa pun tentang hasil pemeriksaan kaki suami saya!" omelku padanya yang menunduk.

 

Beribu cara kucoba dan bernegosiasi dengannya, tetap saja dia ngotot dengan pendiriannya.

 

Aku membuang napas kasar dan melangkah ke luar rumah sakit dengan tatapan kosong. Merasa gagal mendapatkan informasi untuk kujadikan barang bukti.

 

Hingga tiba di parkiran dan aku hendak mengeluarkan motor yang aku parkir secara sembunyi-sembunyi agar tak terlihat oleh suami dan mertuaku tadi.

 

Tiba-tiba petugas tadi memanggil dan mengatakan kalau ia bersedia memberi informasi apa pun yang aku mau.

Bahkan ia membawaku kembali masuk ke rumah sakit dan menyuruhku menemui dokter yang pernah menangani suamiku 2 tahun lalu.

 

Akan tetapi, ia memberi syarat agar aku tak mengadukan semua yang ia lakukan pada atasannya.

 

Aku mengangguk setuju karena aku butuh bukti dari dia dan aku kasihan juga padanya. Nampak sekali ia ketakutan saat menemuiku di parkiran. Seolah-olah ada yang mengancam dan menggertaknya.

 

Padahal aku tidak melakukan semua itu, bahkan aku merasa aneh dengan petugas itu. Kenapa ia cepat sekali berubah pikiran. Padahal tadi ia begitu keukeuh tak mau membantuku.

 

Ingin sekali aku bertanya kepadanya tentang apa yang membuatnya berubah pikiran, tetapi urung kulakukan karena takut ia juga berubah pikiran kembali.

 

Aku harus  mengumpulkan bukti secepat mungkin.

 

Jiwa dan ragaku terguncang saat mengetahuinya semua fakta tentang suamiku yang selama dua tahun lebih telah mengelabuiku.

 

Semua hasil medis suamiku di perlihatkan oleh dokter yang pernah menanganinya.

 

Aku langsung berterima kasih pada dokter dan petugas itu karena mau membantuku. 

 

Setelah itu aku pamit pulang setelah mengatupkan tangan pada kedua orang itu.

 

Selanjutnya, aku harus meminta penjelasan dari pria yang sudah memberikan satu putri padaku.

 

 

Bersambung...

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status