Share

Suamiku, Ustad Bucin
Suamiku, Ustad Bucin
Penulis: UmiYazid

Keracunan

"Semoga aja gak ada yang lihat." Batin Amira.

Ini pertama kali Amira melakukan hal tidak terpuji.

Gadis berpostur semampai itu membuka pintu belakang, lalu masuk dengan mengendap-endap, seraya matanya terus mengawasi setiap sudut rumah, berharap tidak ada yang melihat aksinya.

Lututnya mulai gemetar, walau separuh hatinya masih menolak, dan jantungnya berdebar, dia terus saja melangkah, hingga tiba dititik fokusnya, yaitu meja makan, yang letaknya berhadapan dengan salah satu kamar.

Rasa lapar memaksanya masuk ke rumah yang ia tahu sedang tidak ada pemiliknya itu.

Tanpa menunggu lagi, segera ia raih sepotong ikan goreng dan sepotong tahu goreng, yang tersimpan di bawah tudung saji, setelah dirasa cukup untuk lauk makan siangnya, ia menutup kembali tudung saji dan ingin segera keluar.

Ketika berbalik badan, hendak segera pergi.

"Eh, Amira, ngapain?" tanya seseorang yang suaranya tak asing bagi Amira.

"Oh, ini ... Buat makan siang .... " jawab gadis berkulit putih itu, menunjukkan yang baru saja diambilnya.

Lelaki tegap dan berkulit sawo matang itu berdiri diambang pintu kamar, menatap Amira dengan ekspresi datar.

Namanya Hamzah, anak sulung pimpinan pesantren, tempat Amira menimba ilmu agama selama empat tahun ini.

Lelaki berambut buzz cut dan memiliki hidung bangir itu memang jarang berada di rumahnya, tapi dia cukup mengenal Amira.

Ya, bisa dikatakan hampir semua santri putra mengenal gadis yang jadi primadona di Pesantren itu, tak terkecuali Hamzah.

Amira tersenyum salah tingkah, lalu pamit keluar. Wajahnya memerah karena menahan malu. Bagaimanapun mengambil sesuatu tanpa izin sama yang punya bukanlah hal yang baik.

Amira Azzahra, sudah empat tahun mondok di Pesantren Nurul Huda.

Ya, setelah sekolahnya lulus dari pesantren tersebut, Amira tetap tinggal di pesantren, selain melanjutkan kuliah di jurusan tarbiyah, Amira juga membantu mengajar adik-adik kelasnya.

gadis yang merupakan anak sulung dari tiga bersaudara itu sudah sangat akrab dengan keluarga Ustaz Harun, pimpinan pesantren, kecuali dengan Hamzah, anak sulung pimpinan, selain usianya yang sudah dewasa, pria ini juga jarang berada di pesantren.

Setelah makan siang, Amira bersama dua temannya, yaitu Wati dan Maya bercengkerama sambil menunggu waktu salat zuhur di teras asrama para santri putri, yang terletak di belakang rumah Ustaz Harun.

sementara asrama para santri putra berada di depan rumah, berdekatan dengan mesjid dan kelas-kelas.

Amira, selain cantik, juga dikenal ramah oleh teman-teman di pondok, gadis itu tidak pernah memilih-milih teman, juga pandai dalam menjaga hubungan agar selalu baik.

Suara mobil masuk ke halaman rumah menghentikan tawa para santri, Ustaz Harun dan keluarga sudah pulang dari Rumah Sakit.

Bayi delapan bulan, yang bernama Amel, anak Bungsu Ustaz Harun, harus dibawa ke rumah sakit karena mengalami muntah hebat sehabis sarapan.

Kedatangan Umi Rubiah, istri pimpinan ke asrama belakang membuat Amira bersama dua temannya yang masih bercerita langsung terdiam.

“Amira, masuk sebentar, ya!” titah Umi Rubiah dengan wajah datar, lalu masuk kembali.

Ya, walaupun Umi Rubiah merupakan sosok yang lembut, tapi tidak menurunkan tingkat keseganan para santri pada beliau.

Mendapat titah itu, Amira dan dua temannya saling melempar pandang, bertanya-tanya dalam hati masing-masing.

Ada rasa penasaran juga gelisah, perkara apa kira-kira yang akan ditanyakan, apakah mengenai lauk yang berkurang di meja makan.

Dengan hati penuh tanda tanya, gadis itu menghampiri istri pimpinan pondok yang sedang duduk di kursi ruang keluarga bersama suaminya.

Gadis berkerudung hitam itu berdiri di sudut ruang keluarga, sekitar dua meter dari tempat Umi Rubiah dan Ustaz Harun duduk.

“Ada apa ya, Umi?” tanya Amira dengan hati-hati.

"Amira, apa saja yang kamu masukkan dalam buburnya Amel tadi pagi?" tanya ibu dari bayi delapan bulan itu.

"Kayak biasa, Umi," jawab Amira.

"Kata Dokter, Amel muntah-muntah karena kemungkinan ada kandungan 0bat, jenis nark*ba yang dia konsumsi," lanjut Umi Rubiah sambil menatap Amira.

Gadis berjilbab hitam itu kaget sekaligus takut, bagaimana bisa bubur yang dia masak dan dihaluskan dengan chopper tadi pagi berkandungan nark*ba.

Amira begitu kaget, ada rasa takut, juga kasihan pada bayi bernama Amel itu, ada rasa tidak percaya juga, jika dipikir-pikir mustahil ada kandungan obat. Secara, bayi kan tidak makan yang aneh-aneh.

“Coba kamu ingat lagi, apa kira-kira yang salah, karena Amel gak makan apa-apa lagi selain bubur dan susu!” tegas wanita berjilbab lebar itu.

Memang tadi pagi, Umi Rubiah minta tolong sama Amira,untuk masak bubur bayi buat Amel, dan menurut gadis berumur sembilan belas tahun itu sudah melakukan dengan benar, sesuai instruksi yang diberikan.

“Chopper-nya kamu cuci bersih nggak?” tanya Umi Rubiah lagi.

“Nggak, Umi. Saya ambil chopper-nya di lemari piring.”Jawab Amira semakin takut.

Wanita berjilbab lebar itu terlihat mengingat-ingat.

“Tadi malam Chopper-nya dipakek sama Hamzah,Jangan-jangan .... ” Lirih wanita berjilbab lebar itu lagi.

Ustaz Harun yang sedari tadi mendengarkan obrolan Amira dengan istrinya kini tiba-tiba berdiri dengan wajah murka lalu berkata kepada istrinya, “panggilkan Hamzah sekarang juga, anak kurang aj4r!”

Jangan lupa follow akun ya say, vote juga, terima kasih...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status