LOGIN
"Bisa kamu melayani saya?"
Revan seketika bingung, dadanya terasa sesak. Ia menatap Cyntia yang duduk anggun di depannya, dengan gaun ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Suara tawaran itu seperti petir yang menggelegar di kepalanya. Dalam hatinya, ia tak ingin menyakiti Aruna, istri yang sangat ia cintai. "Jaminannya hutang kamu lunas, dan aku berikan bonus uang 10 juta," lanjut Cyntia sambil menyilangkan kaki. Kaki jenjangnya bergerak pelan, seakan disengaja untuk membuat Revan makin salah tingkah. Tawaran itu membuat pikiran Revan makin kacau. Ia menelan ludah, tangannya mengepal di atas lutut. "Jika aku menerima tawaran ini, Aruna pasti akan kecewa," pikirnya. Cyntia tersenyum nakal, senyum yang berbahaya. Ia lalu berdiri, melangkah perlahan ke arah Revan. Tumit sepatunya berdetak di lantai, menciptakan irama yang membuat jantung Revan berdetak makin kencang. "Tenang saja, dia tidak akan tau. Hanya kita berdua yang tau," ucapnya lirih, sebelum tangannya yang halus mendarat di dada bidang Revan. Jemarinya menekan pelan otot Revan, membuat pria itu menegang. "Pikir baik-baik, Revan. Jika kamu menerima uang dariku, istrimu akan senang. Wanita mana yang tidak akan bahagia jika suaminya banyak uang? Dia bisa belanja, beli emas, dan masih banyak lagi." Revan memejamkan mata sejenak, seolah ingin menutup semua godaan itu. "Aku– aku pikir-pikir lagi," jawabnya terbata, berusaha menjaga jarak, meski tubuhnya seakan tertahan di kursi. Tanpa menghiraukan keraguannya, Cyntia tersenyum puas. Ia mengambil sebuah amplop coklat dari tasnya, lalu dengan santai menyelipkannya ke dalam tas kerja Revan yang terbuka di samping kursi. Gerakannya penuh keyakinan, seakan tahu Revan tidak akan bisa menolak. "Itu adalah tanda jadi kita, Mas Revan," katanya sambil menatap tajam, membuat pria itu tak kuasa menolak pandangan matanya. Revan, pria tampan dengan tubuh kekar yang sering menjadi pusat perhatian wanita, kini berada di ujung jurang. Godaan maut seperti ini sering ia hadapi, dari janda hingga istri orang. Selama ini ia selalu bisa mengabaikan, karena cintanya pada Aruna terlalu besar. Namun berbeda dengan sekarang. Pandangan Cyntia, sentuhannya, dan amplop tebal. Ekonomi yang menghimpitnya perlahan menggerus prinsip. Tapi yang ada di dalam hatinya hanya satu alasan: ia ingin membuat Aruna bahagia. Ia ingin istrinya tersenyum, tanpa tau dari mana uang itu datang. Yang tak ia sadari, langkah kecil ini adalah awal dari kehancurannya. °°° °°° Hujan rintik-rintik masih menetes di luar jendela rumah kontrakan sederhana itu. Suara tetesannya mengenai ember-ember yang ditaruh Aruna di sudut-sudut ruang tamu karena atap seng yang bocor. Suara tik… tik… tik… terdengar jelas, mengiringi kesepian malam itu. Aroma sayur bening dan tempe goreng memenuhi udara. Tapi bukan masakan itu yang menghangatkan ruangan, melainkan hati seorang istri yang penuh kesabaran dan cinta. Aruna melirik jam dinding. Jarum panjang sudah tepat di angka sembilan malam. “Mas Revan belum pulang juga…” bisiknya, menahan desah kecewa. Tangannya refleks mengusap perut yang sudah keroncongan sejak sore. Ia menahan lapar, hanya karena ingin makan bersama suaminya. Ketika pintu berderit terbuka, tubuh Aruna langsung menegak. Harapannya terwujud—Revan pulang. Namun, pemandangan yang ia lihat membuat dadanya terasa nyeri. Revan berdiri di ambang pintu dengan langkah gontai. Jasnya sedikit basah, wajahnya terlihat lelah, matanya kosong. Tapi pria itu tetap memaksa tersenyum seolah tak terjadi apa-apa. “Mas, ayo makan dulu. Sudah aku siapin. Sederhana sih, tapi masih hangat,” ucap Aruna lembut, matanya berbinar hanya dengan melihat suaminya pulang dengan selamat. Revan terdiam sejenak, lalu menunduk. Tangannya meletakkan tas kerja di lantai, tepat di samping kaki meja makan yang masih penuh dengan hidangan sederhana. “Aku sudah makan tadi di luar, Dik,” ucapnya pelan. Seolah ada palu besar yang menghantam dada Aruna. Senyumnya yang tadi tulus mendadak kaku, nyaris pecah. “Makan… di luar?” suaranya serak, berusaha terdengar biasa. “Dimana, Mas?” Revan tidak langsung menjawab. Ia hanya menunduk, rahangnya mengeras, seakan ada sesuatu yang sedang ia sembunyikan. Bayangan meja makan mewah di restoran hotel berbintang lima berkelebat di kepala Revan. Cynthia—wanita bergaun merah ketat dengan senyum menawan—menyuapinya potongan daging mahal. “Anggap saja ini hadiah dariku,” bisik Cynthia kala itu. "Mas, kok melamun?" Revan kembali tersadar ketika suara lembut Aruna memecah lamunannya. Ia menarik napas dalam, lalu menjawab pertanyaan istrinya dengan suara parau. “Cuma… ditraktir teman kerja.” Revan tak sanggup menatap mata Aruna. Aruna mengangguk pelan. Ia selalu percaya pada Revan, tak pernah meragukan. Tapi malam itu, senyumnya menyisakan getir. Ada sesuatu yang menusuk dadanya. Kenapa harus makan tanpa aku, Mas…? Revan mendekat, berusaha menghapus kecurigaan yang tersirat di wajah istrinya. “Lain kali, Mas makan bareng kamu, ya? Gimana kalau sekarang Mas temenin kamu makan?” katanya lembut. Aruna tersenyum, kata sederhana tapi tulus. Kata revan itu cukup untuk menghangatkan hati aruna “Iya, Mas.” Aruna Dewi Senja. Wanita cantik dari kalangan sederhana, bukan siapa-siapa di mata dunia. Tapi bagi Revan, ia adalah rumah. Sosok setia yang selalu bertahan, apa pun masalah yang menimpa. Ia tak pernah mengeluh meski kehidupan mereka penuh kekurangan, justru aruna selalu menguatkan. Namun, di balik tatapan Revan ada luka lain. Ia terlalu kasihan melihat istrinya yang tak bisa hidup seperti wanita lain—berpakaian mahal, berperhiasan indah, atau menikmati restoran mewah. Saat sendok terakhir menyentuh bibirnya, Revan meraih tangan Aruna di atas meja makan. “Maafin Mas ya. Mas nggak bisa senengin kamu. Mas selalu nyusahin kamu.” Aruna menghentikan gerakan makannya. Ia menatap suaminya penuh kehangatan, seakan seluruh langit malam tumpah dalam senyumnya. “Ngga papa, Mas. Aruna oke kok. Rejeki kan sudah ada yang atur. Siapa tau besok Tuhan kasih rejeki besar buat Mas Revan. Yang penting kita bersyukur masih bisa makan. Masalah gaya, atau apalah itu, urusan belakangan.” Air di mata Revan hampir pecah mendengar kata-kata itu. Hatinya terhantam rasa bersalah. Ia mencintai Aruna dengan segenap jiwa, tapi di balik cintanya, ia menyimpan rahasia yang perlahan bisa merobek rumah tangga mereka. "Aruna, kamu adalah bidadari yang Tuhan kirimkan untukku. Dari sekian banyak wanita yang bercerai karena ekonomi, kamu tetap bersama Mas dalam keadaan apa pun. Mas sangat berterima kasih. Mas janji, kalau Mas sudah sukses, kamu satu-satunya wanita yang akan Mas bahagiakan." Mata Aruna berkaca-kaca. Senyum kecil terbit di bibirnya, meski hatinya ikut menanggung beratnya janji itu. "Iya, Mas. Aruna akan selalu mendukung lewat doa, ya…" Revan menunduk. Dadanya terasa sesak. Maafkan Mas, Aruna. Mas terpaksa melakukan cara kotor ini… agar kita bisa hidup senang. Wajah Revan pucat, keringat dingin bercucuran meski udara malam begitu sejuk. Matanya gelisah, seakan ada beban besar yang tak bisa ia letakkan. Gaji kecilnya sebagai pegawai kontrak jelas tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dan itu membuatnya terjerat dalam sebuah permainan berbahaya—permainan yang bisa menghancurkan segalanya. Cynthia, wanita yang sudah bersuami, kaya raya, penuh pesona, datang dengan tawaran manis. Uang, kemewahan, dan janji kehidupan baru. Tapi syaratnya… satu kata yang merobek nurani: selingkuh. “Mas…” suara lembut Aruna membuyarkan lamunannya. Wanita itu mendekat, lalu menggenggam jemari Revan dengan penuh kasih. Jemari yang mungil itu hangat, seakan mampu meredakan badai di dada Revan. “Kalau ada masalah, bilang sama aku. Jangan dipendam sendiri. Kita ini keluarga, kan?” Revan tercekat. Kata-kata istrinya bagaikan pisau yang menyayat hatinya. Ia ingin berteriak, ingin jujur, ingin memeluk Aruna sambil menangis, mengatakan bahwa semua yang ia lakukan hanyalah demi kebahagiaan mereka. Namun lidahnya kelu. Kata-kata itu mati di tenggorokannya. “Mmm… tidak ada apa-apa, Dik. Mas cuma capek,” ucapnya pelan, dengan senyum yang dipaksakan. Aruna mengangguk. Ia mencoba percaya. Tapi hatinya tahu, ada sesuatu yang disembunyikan suaminya. Revan tak pernah seperti ini sebelumnya—mata kosong, senyum getir, dan sentuhan yang terasa bergetar. Dalam hening malam, hanya suara hujan di atap seng yang menegaskan kenyataan pahit itu: rahasia yang semakin dalam, dan cinta yang diuji oleh godaan dunia. °°° °°° °°° Keesokan paginya, sinar matahari menembus tirai tipis rumah kontrakan itu. Aruna sedang merapikan meja kerja suaminya ketika tangannya menyentuh sesuatu yang asing—sebuah amplop cokelat tebal, tergeletak di bawah tumpukan kertas. Alisnya berkerut. Dengan hati-hati ia menarik amplop itu, lalu membukanya. Seketika, ia terkejut Ratusan lembar uang seratus ribuan menumpuk rapi di dalamnya, jumlah yang tak mungkin berasal dari gaji Revan sebagai pegawai kontrak. “Ya Allah… uang dari mana ini?” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. Aruna hampir saja menjatuhkan amplop itu. Saat itulah, Revan keluar dari kamar dengan wajah masih lelah. Tatapannya langsung tertuju pada benda di tangan istrinya, dan darahnya seakan berhenti mengalir. “Mas,” suara Aruna bergetar, matanya menatap lurus, penuh tanya. “Ini uang dari mana? Jangan bilang Mas pinjam lagi…” Revan tercekat. Tenggorokannya kering, lidahnya kelu. Wajahnya kaku, seperti patung. “Jawab aku, Mas. Aku ini istrimu, bukan orang asing. Aku berhak tahu.” Revan membuka mulut. “Aku…” Namun, sebelum kata-kata itu bisa keluar, suara ketukan keras menggema dari pintu depan. Tok! Tok! Tok! Keduanya menoleh serentak. Dengan tergesa-gesa, Aruna menaruh amplop cokelat itu kembali ke atas meja. Tangannya sempat buru-buru ia rapikan wajahnya agar tidak terlihat panik. “Eh, Bu Cynthia,” sambut Aruna dengan senyum ramah setelah membuka pintu. “Mari masuk.”Aruna sudah kembali di kantor. Tepat jam istirahat, ia melangkah ke kantin. Suara riuh pegawai yang sedang makan siang dan aroma masakan dari dapur menciptakan suasana yang khas. Ia menarik napas panjang sambil mengusap keningnya yang sedikit berkeringat."Ahhh, capek juga," gumam Aruna sambil memijat pundaknya yang pegal.Dari sudut kantin, seorang rekan kerja sekaligus tetangganya melambaikan tangan."Runa, sini kita makan bareng!" serunya sambil menepuk kursi kosong di sampingnya.Aruna berjalan mendekat, namun matanya menelusuri seisi ruangan, mencari seseorang."Kalian ada yang liat Lita nggak?" tanyanya begitu duduk.Salah satu teman mereka yang tengah mengaduk sambal dengan sendok plastik menoleh cepat, wajahnya masam."Gak tau. Si pemalas itu mending dipecat aja. Malas kerja, cuma makan gaji buta."Aruna tertegun sejenak, lalu tersenyum kaku. Ia mencoba meredakan suasana."Nggak boleh ngomong gitu, kita makan aja yuk," ujarnya, menyodorkan kotak makan yang baru dibuka.Namun
"Nggak usah tegang gitu mas, mau nggak?" bisik Cintya sambil mendekatkan bibirnya ke telinga Revan. Aroma parfum menyengat dari tubuhnya menusuk hidung. Dengan sengaja ia mengambil tangan Revan, menaruhnya di atas squishy miliknya yang terpantul jelas dari piyama tipis dan ketat yang dipakai. "Suami saya udah tua, nggak bisa puasin saya. Makanya saya nyuruh kamu. Revan..." suaranya bergetar nakal. Sebelum Revan sempat menolak, Cintya makin berani. Ia menggiring tangan Revan masuk ke dalam belahan piyamanya. Kulit hangat terasa di ujung jari Revan, membuat tubuhnya refleks menegang. Detik itu, dada Revan berdegup kencang. Ia ingin menepis, tapi tubuhnya kaku. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Namun tepat saat momen itu semakin memanas, suara langkah kaki terdengar mendekat dari arah pintu. Ctak… ctak… Cintya terperanjat. Dengan wajah panik, ia buru-buru turun dari pangkuan Revan. Napasnya masih terengah, piyamanya sedikit kusut karena ulahnya barusan. Pint
Keesokan harinya, Revan dan Aruna berangkat kerja bersama menggunakan motor tua kesayangan mereka. Udara pagi masih terasa sejuk, jalanan belum terlalu ramai, hanya beberapa orang terlihat sibuk menuju tempat kerja masing-masing. Sesampainya di dekat gedung tempat Aruna bekerja, Revan melambatkan laju motor. "Mas cuma bisa antar kamu sampai sini ya, soalnya tempat kerja mas udah bukan di arah sini lagi," ujar Revan pelan. Aruna tersenyum, lalu menepuk lembut bahu suaminya. "Hi hi iya mas, hati-hati di jalan ya. Jangan nakal-nakal." Revan menoleh sekilas, ekspresinya serius tapi ada guratan manja di wajahnya. "Nggak akan. Orang mas cinta mati sama kamu." Aruna menunduk malu, kemudian turun dari motor. Ia meraih tangan suaminya, menciumnya penuh hormat. "Kalau gitu, Aruna pergi dulu ya." Namun tangan Revan menahan. "Ada yang kurang," katanya dengan suara genit. Aruna mengernyit bingung. "Apa?" Revan tersenyum penuh arti, lalu mendekatkan wajahnya. "Lihat saja." Cup! Kec
Tangannya sempat buru-buru ia rapikan wajahnya agar tidak terlihat panik. “Eh, Bu Cynthia,” sambut Aruna dengan senyum ramah setelah membuka pintu. “Mari masuk.”Cynthia melangkah masuk dengan anggun. Wangi parfumnya langsung menyebar, menyisakan kesan elegan. Matanya menyapu ruangan, lalu berhenti menatap Revan yang berdiri agak canggung di sisi meja. Ada senyum tipis yang samar, hanya sekejap, tapi cukup menusuk bila ada yang jeli memperhatikan. Aruna sama sekali tidak menyadari tatapan. Ia sibuk merapikan rambutnya yang sedikit berantakan dan menawarkan duduk. “Silakan, Bu.” “Maaf mengganggu,” ucap Cynthia sembari duduk manis di sofa, meletakkan tasnya di pangkuan. “Tapi kedatangan saya ke sini untuk memberi tahu kabar baik. Mas Revan naik jabatan.” Aruna spontan menoleh ke suaminya dengan wajah berbinar. “Ini serius?” suaranya penuh semangat, seolah ada beban yang terangkat. “Iya, Aruna.” Senyum Cynthia meluas. Ia melirik Revan sejenak sebelum kembali menata
"Bisa kamu melayani saya?" Revan seketika bingung, dadanya terasa sesak. Ia menatap Cyntia yang duduk anggun di depannya, dengan gaun ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Suara tawaran itu seperti petir yang menggelegar di kepalanya. Dalam hatinya, ia tak ingin menyakiti Aruna, istri yang sangat ia cintai. "Jaminannya hutang kamu lunas, dan aku berikan bonus uang 10 juta," lanjut Cyntia sambil menyilangkan kaki. Kaki jenjangnya bergerak pelan, seakan disengaja untuk membuat Revan makin salah tingkah. Tawaran itu membuat pikiran Revan makin kacau. Ia menelan ludah, tangannya mengepal di atas lutut. "Jika aku menerima tawaran ini, Aruna pasti akan kecewa," pikirnya. Cyntia tersenyum nakal, senyum yang berbahaya. Ia lalu berdiri, melangkah perlahan ke arah Revan. Tumit sepatunya berdetak di lantai, menciptakan irama yang membuat jantung Revan berdetak makin kencang. "Tenang saja, dia tidak akan tau. Hanya kita berdua yang tau," ucapnya lirih, sebelum tangannya y







