LOGINTangannya sempat buru-buru ia rapikan wajahnya agar tidak terlihat panik.
“Eh, Bu Cynthia,” sambut Aruna dengan senyum ramah setelah membuka pintu. “Mari masuk.” Cynthia melangkah masuk dengan anggun. Wangi parfumnya langsung menyebar, menyisakan kesan elegan. Matanya menyapu ruangan, lalu berhenti menatap Revan yang berdiri agak canggung di sisi meja. Ada senyum tipis yang samar, hanya sekejap, tapi cukup menusuk bila ada yang jeli memperhatikan. Aruna sama sekali tidak menyadari tatapan. Ia sibuk merapikan rambutnya yang sedikit berantakan dan menawarkan duduk. “Silakan, Bu.” “Maaf mengganggu,” ucap Cynthia sembari duduk manis di sofa, meletakkan tasnya di pangkuan. “Tapi kedatangan saya ke sini untuk memberi tahu kabar baik. Mas Revan naik jabatan.” Aruna spontan menoleh ke suaminya dengan wajah berbinar. “Ini serius?” suaranya penuh semangat, seolah ada beban yang terangkat. “Iya, Aruna.” Senyum Cynthia meluas. Ia melirik Revan sejenak sebelum kembali menatap Aruna. “Tapi pekerjaannya bukan hanya di kantor saja. Mas Revan juga akan sering menemani saya ke kota, membantu saya, seperti asisten pribadi.” Alis Aruna sedikit bertaut. Ada keraguan di wajahnya. Dalam pikirannya, jabatan itu terasa janggal. Bukankah suaminya anak buah dari suami Bu Cynthia? Kenapa kini malah melayani istrinya? Namun, demi menjaga sopan santun, ia menahan rasa ingin tahunya. “Oh, baik, Bu…” Aruna mengangguk, mencoba meyakinkan diri. “Terima kasih sudah repot-repot mampir ke sini untuk kasih tahu berita baik ini.” Dengan senyum penuh keramahan, Cynthia mendekat dan menggenggam tangan Aruna. Jemarinya dingin namun genggaman itu erat, seolah ada makna tersembunyi. “Nggak papa, sekalian tadi saya mampir ke sebelah. Ada calon cleaning service yang ngelamar kerja di tempat saya, jadi sekalian memastikan aja.” Aruna hanya mengangguk sambil tersenyum, meski hatinya masih dipenuhi tanda tanya. Revan menundukkan kepala, pura-pura sibuk membenarkan letak kemejanya, menyembunyikan ekspresi yang sulit ditebak. “Eh, maaf Bu,” Aruna menunduk sedikit, suaranya sopan tapi agak ragu. “Bukan saya lancang… apa masih mencari cleaning service lagi?” Cynthia menoleh, alisnya terangkat sedikit. “Ada. Lagi cari satu orang lagi. Emang kenapa kamu tanya begitu?” Aruna meneguk ludah, lalu tersenyum tipis. “Aku mau bantu Mas Revan kerja, Bu.” Seketika sudut bibir Cynthia melengkung. Senyumnya manis, tapi matanya menyimpan sesuatu—seperti sengaja dibuat nakal. Ia melirik sekilas ke arah Revan, membuat pria itu kaku sejenak. Revan buru-buru melangkah mendekat, meraih tangan Aruna dan menggenggamnya erat. “Sayang, Mas aja yang kerja,” katanya dengan nada lembut, hampir memohon. “Kamu di rumah aja, nggak perlu capek-capek kerja.” Aruna menatap suaminya. Ada rasa hangat melihat perhatian itu, tapi senyumnya sedikit getir. “Nggak papa, Mas. Aruna juga bosan di rumah terus.” Cynthia terkekeh kecil, menutupi senyumnya dengan tangan. “Ya sudah… kalau kamu memang niat kerja, besok datang saja ke perusahaan suami saya.” Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Datang bareng tetangga kamu itu yang janda, siapa namanya?” Aruna mengerjap. “Oh… Lita?” “Iya, Lita,” jawab Cynthia cepat. “Kebetulan saya butuh lebih dari satu orang. Bagus kalau kamu berdua sekalian.” Aruna tersenyum, mengangguk kecil. “Dia teman saya juga, Bu. Sering main ke sini.” “Oh ya?” Cynthia tersenyum samar, lalu bangkit dari sofa. Ia merapikan tas di lengannya. “Kalau begitu, saya pamit dulu.” “Terima kasih banyak, Bu Cynthia.” Aruna ikut berdiri dan menunduk sopan. Revan hanya mengangguk, wajahnya tetap tegang. Saat hendak melangkah keluar, Cynthia sempat menoleh sekali lagi. Dari balik bahunya, ia mengedipkan mata ke arah Revan. Gerakan itu cepat, seolah hanya angin lalu. Revan langsung menunduk, pura-pura sibuk merapikan kemejanya. Aruna, dengan polosnya, sama sekali tidak menyadari apa-apa. Ia justru sibuk menutup pintu sambil bergumam, “Orangnya baik ya, Mas…” Revan terdiam, genggamannya di tangan tadi masih terasa dingin. Setelah Cynthia pergi, Revan menarik tangan Aruna dengan wajah serius. “Sayang, Mas nggak izinin kamu kerja. Apalagi jadi cleaning service. Nanti kamu capek, terus nggak ada yang layani Mas di rumah,” ujarnya sambil cemberut pura-pura manja. Aruna tersenyum geli. “Mas bisa aja. Aruna tetap jalani kewajiban itu kok.” Mendengar itu, mata Revan berkilat nakal. Tanpa basa-basi, ia mengangkat tubuh mungil istrinya dengan mudah. Tubuh kekarnya membuat Aruna tak bisa berbuat banyak selain memukul-mukul bahu suaminya. “Mas! Ihhh, turunin! Ini masih pagi,” protesnya dengan tawa bercampur malu. “Syuttt…” bisik Revan di telinganya, membuat wajah Aruna merona. “Katanya tetap jalani, kan? Jadi sekarang harus…” Ia melangkah cepat ke kamar, membawa Aruna yang berusaha menutupi wajahnya. Pintu menutup, dan sebentar kemudian suara tawa serta bisikan mereka bercampur menjadi desahan penuh gairah. Namun kontrakan mereka berdinding tipis, tanpa pagar tinggi. Dari balik jendela yang tirainya sedikit terbuka, Lita—tetangga mereka—terlihat berdiri diam. Matanya menatap tajam ke arah kamar Aruna. Dari celah itu, Lita bisa mendengar lirih suara Aruna yang menggema. Nafasnya tercekat, tubuhnya ikut menegang. Wajahnya memerah, bukan karena malu, melainkan karena imajinasi yang berlari liar. “Mas Revan…” gumamnya dalam hati, jemarinya meremas kain dasternya sendiri. “Aku ingin merasakan otot-ototmu. Ingin tahu bagaimana rasanya jadi Aruna…” Lita menutup bibirnya sendiri agar tak mengeluarkan suara. Matanya tak beranjak, menelan setiap bayangan samar yang muncul dari balik tirai. Dalam dirinya tumbuh satu tekad: jika menjadi cleaning service bisa mendekatkannya dengan Revan, maka ia rela melakukannya. Sebab keinginannya pada pria itu sudah terlalu besar untuk dipendam.Aruna sudah kembali di kantor. Tepat jam istirahat, ia melangkah ke kantin. Suara riuh pegawai yang sedang makan siang dan aroma masakan dari dapur menciptakan suasana yang khas. Ia menarik napas panjang sambil mengusap keningnya yang sedikit berkeringat."Ahhh, capek juga," gumam Aruna sambil memijat pundaknya yang pegal.Dari sudut kantin, seorang rekan kerja sekaligus tetangganya melambaikan tangan."Runa, sini kita makan bareng!" serunya sambil menepuk kursi kosong di sampingnya.Aruna berjalan mendekat, namun matanya menelusuri seisi ruangan, mencari seseorang."Kalian ada yang liat Lita nggak?" tanyanya begitu duduk.Salah satu teman mereka yang tengah mengaduk sambal dengan sendok plastik menoleh cepat, wajahnya masam."Gak tau. Si pemalas itu mending dipecat aja. Malas kerja, cuma makan gaji buta."Aruna tertegun sejenak, lalu tersenyum kaku. Ia mencoba meredakan suasana."Nggak boleh ngomong gitu, kita makan aja yuk," ujarnya, menyodorkan kotak makan yang baru dibuka.Namun
"Nggak usah tegang gitu mas, mau nggak?" bisik Cintya sambil mendekatkan bibirnya ke telinga Revan. Aroma parfum menyengat dari tubuhnya menusuk hidung. Dengan sengaja ia mengambil tangan Revan, menaruhnya di atas squishy miliknya yang terpantul jelas dari piyama tipis dan ketat yang dipakai. "Suami saya udah tua, nggak bisa puasin saya. Makanya saya nyuruh kamu. Revan..." suaranya bergetar nakal. Sebelum Revan sempat menolak, Cintya makin berani. Ia menggiring tangan Revan masuk ke dalam belahan piyamanya. Kulit hangat terasa di ujung jari Revan, membuat tubuhnya refleks menegang. Detik itu, dada Revan berdegup kencang. Ia ingin menepis, tapi tubuhnya kaku. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Namun tepat saat momen itu semakin memanas, suara langkah kaki terdengar mendekat dari arah pintu. Ctak… ctak… Cintya terperanjat. Dengan wajah panik, ia buru-buru turun dari pangkuan Revan. Napasnya masih terengah, piyamanya sedikit kusut karena ulahnya barusan. Pint
Keesokan harinya, Revan dan Aruna berangkat kerja bersama menggunakan motor tua kesayangan mereka. Udara pagi masih terasa sejuk, jalanan belum terlalu ramai, hanya beberapa orang terlihat sibuk menuju tempat kerja masing-masing. Sesampainya di dekat gedung tempat Aruna bekerja, Revan melambatkan laju motor. "Mas cuma bisa antar kamu sampai sini ya, soalnya tempat kerja mas udah bukan di arah sini lagi," ujar Revan pelan. Aruna tersenyum, lalu menepuk lembut bahu suaminya. "Hi hi iya mas, hati-hati di jalan ya. Jangan nakal-nakal." Revan menoleh sekilas, ekspresinya serius tapi ada guratan manja di wajahnya. "Nggak akan. Orang mas cinta mati sama kamu." Aruna menunduk malu, kemudian turun dari motor. Ia meraih tangan suaminya, menciumnya penuh hormat. "Kalau gitu, Aruna pergi dulu ya." Namun tangan Revan menahan. "Ada yang kurang," katanya dengan suara genit. Aruna mengernyit bingung. "Apa?" Revan tersenyum penuh arti, lalu mendekatkan wajahnya. "Lihat saja." Cup! Kec
Tangannya sempat buru-buru ia rapikan wajahnya agar tidak terlihat panik. “Eh, Bu Cynthia,” sambut Aruna dengan senyum ramah setelah membuka pintu. “Mari masuk.”Cynthia melangkah masuk dengan anggun. Wangi parfumnya langsung menyebar, menyisakan kesan elegan. Matanya menyapu ruangan, lalu berhenti menatap Revan yang berdiri agak canggung di sisi meja. Ada senyum tipis yang samar, hanya sekejap, tapi cukup menusuk bila ada yang jeli memperhatikan. Aruna sama sekali tidak menyadari tatapan. Ia sibuk merapikan rambutnya yang sedikit berantakan dan menawarkan duduk. “Silakan, Bu.” “Maaf mengganggu,” ucap Cynthia sembari duduk manis di sofa, meletakkan tasnya di pangkuan. “Tapi kedatangan saya ke sini untuk memberi tahu kabar baik. Mas Revan naik jabatan.” Aruna spontan menoleh ke suaminya dengan wajah berbinar. “Ini serius?” suaranya penuh semangat, seolah ada beban yang terangkat. “Iya, Aruna.” Senyum Cynthia meluas. Ia melirik Revan sejenak sebelum kembali menata
"Bisa kamu melayani saya?" Revan seketika bingung, dadanya terasa sesak. Ia menatap Cyntia yang duduk anggun di depannya, dengan gaun ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Suara tawaran itu seperti petir yang menggelegar di kepalanya. Dalam hatinya, ia tak ingin menyakiti Aruna, istri yang sangat ia cintai. "Jaminannya hutang kamu lunas, dan aku berikan bonus uang 10 juta," lanjut Cyntia sambil menyilangkan kaki. Kaki jenjangnya bergerak pelan, seakan disengaja untuk membuat Revan makin salah tingkah. Tawaran itu membuat pikiran Revan makin kacau. Ia menelan ludah, tangannya mengepal di atas lutut. "Jika aku menerima tawaran ini, Aruna pasti akan kecewa," pikirnya. Cyntia tersenyum nakal, senyum yang berbahaya. Ia lalu berdiri, melangkah perlahan ke arah Revan. Tumit sepatunya berdetak di lantai, menciptakan irama yang membuat jantung Revan berdetak makin kencang. "Tenang saja, dia tidak akan tau. Hanya kita berdua yang tau," ucapnya lirih, sebelum tangannya y







