Joana duduk membelakangi Bayu, seperti biasa. Kali ini, mereka sedang menulis apa yang sedang didikte oleh seorang guru. Materi kali ini adalah ilmu pengetahuan sosial, membahas batas-batas negara berupa samudera. Bayu sudah tahu kalau negaranya merupakan negara maritim, dikelilingi lautan luas dan punya banyak ekosistem bahari melimpah. Namun, fokusnya adalah berpura-pura tidak tahu.
Blue menjemput Bayu dari rumah Aldo pagi ini. Sarah bersikeras mengantarkan Aldo dan Bayu sekaligus agar tidak memberatkan Blue. Namun, karena Blue ingin memastikan dan bertukar informasi dengan keponakannya, ia memilih untuk menjemput bocah itu. Sarah tak menaruh curiga sedikitpun, tentu saja. Bayu makin mengagumi keluarga Aldo karena kepolosan mereka.Hari ini, Bayu bertekad untuk menjadi sosok lain. Atas izin pamannya, ia sudah menyiapkan strategi. Kalau tidak salah, Bu Dewi pernah mengatakan pada pamannya kalau Bu Anggi tak pernah membiarkan siapapun memasuki kantor kerjanya. HanySeorang pria berusia tiga puluhan, lemas tak berdaya. Ia hanya mengenakan kaos oblong dan celana pendek ketat, seperti celana renang. Dari kulitnya yang berwarna kulit pucat dan rambutnya yang bewarna tembaga, bisa dipastikan kalau pasien ini adalah warga negara asing.Tampak seorang perawat wanita memberikan pertolongan pertama. Ia menekan dada pria itu beberapa kali. Meskipun tubuh pasien itu satu setengah kali lebih besar dari tubuhnya, tenaga yang diberikan perawat itu sanggup menghentak dada. Sedangkan Ferdian memperhatikan layar monitor yang masih menampilkan garis lurus.“Jelaskan!” tuntut Ferdian kepada seorang perawat perempuan lain yang baru tiba membawakan tabung oksigen, di tengah kepanikan itu. Tangannya mencari nadi sang pria. Suara tangis terdengar dari balik tirai, seorang wanita berusia sama dengan pasien, dan satu orang laki-laki berusia dua puluhan. Mereka bertiga sama-sama berkulit putih.“Warga Selandia Baru, Oliver, 34 tahun
Rose membuka tutup tuas kunci mobil. Ia sudah bosan setengah mati. Seharusnya, sudah sepuluh menit yang lalu ia bertemu seseorang. Sampai saat ini, yang ditunggu tak kunjung muncul. Perasaannya gelisah. Ia khawatir telat masuk sekolah.Beberapa menit kemudian, seseorang mengetuk pintu mobil. Ketukan berpola.Setelahnya, Rose membuka kunci mobil. Seorang pria berambut keriting masuk dan duduk di samping bangku setir.“Maaf menunggu. Tadi aku memutar dan salah jalan.”“Tidak apa-apa.” tukas Rose.Blue terdiam. Jujur, ia tak tahu apakah harus bersikap biasa saja di depan Rose yang sudah mengetahui rahasianya.“Apa ada yang ingin kau ketahui?” Blue membuka percakapan. Tangannya sibuk membuka permen mint, berharap otaknya ikut segar.“Ada dugaan korupsi di SD Matahari.”“Aku tahu hal itu. Tapi aku tidak terlalu fokus ke sana.”“Tapi ada keponakanmu.”Blue mengangguk. “’Memang. Ada masalah?”
Nala tampak sibuk mengetik. Ia memperhatikan dengan teliti hasil pemeriksaan yang telah Rizal lakukan, dan telah divalidasi May. Hari ini, jadwal jaganya bersama May dan Rizal. Dan Anya, tentu saja. Namun, karena secara harfiah rumah sakit ini adalah milik ayah putri bling-bling, sampai pukul sembilan lewat, tak ada tanda-tanda kedatangan dari putri bangsawan itu.“Apa yang harus kita lakukan dengan apusan darah?” tanya Nala. Ia hanya mengetik hasil darah lengkap tanpa evaluasi yang diminta Ferdian. “Apa pemeriksaan itu memang harus dilakukan oleh dokter?”May mencicit. Ia sudah merasakan beban berat yang menyongsongnya di masa depan tatkala dokter yang menangungi unit tempat ia bekerja susah dihubungi.“Aku sudah berusaha semaksimal mungkin menghubungi dokter itu.” semaksimal yang dimaksud adalah menelepon nomor yang tidak aktif. “Aku tidak tahu lagi harus bagaimana.”“Apa tidak bisa kau lakukan saja? Memangnya harus dokter?”“Harus, don
Hari sudah malam. Rumah sakit tampak masih ramai dengan lalu lalang kendaraan. Meskipun terbilang baru, dengan pengaruh Hartono dan keluarga Triadmodjo lain, rumah sakit itu mendapatkan atensi dari banyak pihak. Selain karena kemegahan bangunan dan fasilitas yang lengkap, dokter yang terpilih pun juga punya jam terbang tinggi dan merupakan lulusan terbaik. Citra yang baik sengaja diciptakan dengan menjadikan harga pelayanan dapat dijangkau seluruh kalangan. Bagi yang tidak mampu dan tak punya asuransi, yayasan akan turun tangan membantu.Sungguh mulia. Sky mengakui kehebatan ayahnya dalam menciptakan skema malaikat tak bersayap kaya raya tak berdosa. Kalau ibunya masih ada, mungkin hal itu akan terwujud tanpa dikotori oleh perdagangan narkoba yang berdampak buruk bagi masyarakat. Membayangkan raut muka ibunya kalau melihat pria yang ia cintai sampai mati itu menjadi tak terkendali, membuat perasaan Sky tercabik-cabik. Hati kecilnya sedikit lega mengingat keberadaan ibunya yang sudah
Nala memutuskan mengantarkan Bayu ke sekolah hari ini. Tidak dengan mobil, namun menggunakan vespanya. Blue belum pulang dari semalam, yang tentu tak membuat wanita itu khawatir. Perasaannya masih sama riangnya seperti kemarin.Sedangkan kari yang dimakan Bayu hari ini, sudah bergejolak di dalam perut. Otot perut bocah itu menegang, sejalan dengan kegugupannya menghadapi hari-harinya di sekolah.Nala yang masih bersemangat, melewatkan perubahan yang terjadi pada anaknya.“Bayu besok mau kari lagi?” tanya Nala, setengah berteriak. Tak sama saat bercakap-cakap di dalam mobil, telinga mereka harus bertarung pula menangkap suara di antara desing motor dan angin kencang jalanan.“Aku juga mau sus cokelat!!” teriak Bayu. Meskipun mulutnya terasa pahit.“Bilang pamanmu, kalau itu.”“Sudah, semalam.”Begitu mereka sampai di depan gerbang sekolah, Bayu turun. Nala membantunya melepaskan helm.“Apa sekolahmu lancar?”
Nala tidak tahu kalau hari ini Anya masuk. Bahkan, putri bling-bling itu sudah leha-leha dan petantang petenteng menaikkan kedua kakinya di meja komputer sambil mengagumi kukunya yang dihias cantik dan berkilau. Pakaiannya menyembul di balik jas dokternya yang panjang, sebuah terusan celana berwarna merah muda dan bertabur gliter.Nala bertanya-tanya dalam hati. Mungkinkah sehari tanpa berpenampilan bling-bling membuat Anya sesak nafas?“Oh, hai!” Anya menyapa Nala yang terbengong-bengong di depan pintu. “Masuk aja, jangan sungkan.”“Eh, iya, dok.”Nala bergegas melewati Anya. Ia mencari May dan seseorang yang berjaga pagi ini. Di ruang ganti, ia mendapati Daniar dan May sedang bercakap-cakap.“Sedang apa kalian disini?” tanya Nala, sambil mengganti bajunya.“Mengobrol, kurang lebih.” jawab Daniar, sekenanya. Ia menggelengkan kepala, seolah memberi isyarat kalau sudah muak dengan keberadaan Anya yang menyabotase ruang admin sambi
Bayu mempertanyakan keahliannya dalam merencanakan sesuatu. Deduksi dan analisisnya selalu benar, atau mendekati setidaknya. Blue hanya pernah menambahi dan mengoreksi sedikit apa yang pernah Bayu selesaikan ketika mereka sedang menjalankan sebuah misi.Tentu saja, merusak harpa mahal dalam satu kali tendangan jarak jauh langsung masuk daftar panjang kesuksesan bocah itu. Membuat Bayu misuh-misuh.“Alih-alih mengumpat..” ujar Aldo, yang tiba-tiba menyembul dari belakang Bayu. “.. aku pasti akan menangis sih.”“Kau ingin aku bereaksi apa dengan lelucon itu?”“Aku tidak sedang melucu, Bay. Tapi aku lebih menyukai..” bocah gembul itu mengayunkan tangannya di depan wajahnya. “..ya, sepertinya, ada bagusnya kalau kau operasi wajah saja.”“Oh, waw, bagus. Aku kehabisan kata-kata.”“Kau pasti tidak pernah tahu kekejaman apa yang akan terjadi di dalam ruang kepala sekolah kita.”Bayu terhenyak. Ia memperhatikan raut wajah Aldo yang pucat, seolah ia yang sudah bersalah melakukan hal bodoh tak
Mula-mula, seluruh ruangan berteriak panik. Setelah pelaku tumbang (alasan terbesarnya karena bobot pendingin ruangan), sorak sorai menyelimuti IGD. Ada dua wanita tua yang ikut bertepuk tangan meriah padahal sudah dipasangi penghalimun.Saat Ferdian mendekati Nala, beberapa satpam dengan cekatan meringkus pelaku.“Kau tidak apa-apa?” bisiknya. Ia memperhatikan setiap jengkal tubuh istrinya dengan hati-hati, khawatir setetes darah tiba-tiba mengalir. “Aku bisa membuatnya hidup dalam kesakitan selamanya kalau terjadi hal yang tidak-tidak padamu.”Nala mengangguk, mengisyaratkan kalau keadaannya cukup stabil. Meskipun degup jantungnya tak beraturan karena ini pertama kalinya ia menggunakan senjata api, ekspresinya masih bisa ia kontrol. Wajahnya juga kemerah-merahan melihat Ferdian begitu dekat dengannya.Sambil menarik Nala menepi, Ferdian membersihkan sisa bubuk residu yang menempel di pakaian istrinya itu. Sebuah hal yang sia-sia, namun secara im