Share

Bab 9: Lingkungan baru, kasus baru

Nala, Bayu, dan Blue, duduk melingkar di atas tempat tidur. Bayu memeluk boneka serigala kecilnya. Kata Nala, itu satu-satunya benda yang dibelikan ayahnya, Bram, yang bisa dibawa. Mereka bertiga tampak serius menyusun rencana, membahas soal peran apa yang akan mereka lakukan: menjadi ‘keluarga’ sungguhan.

“Kapan kau mulai masuk kerja?” tanya Blue.

Nala menempelkan telunjuknya ke dagu, berpikir. “Kupikir mulai minggu depan. Pembukaan rumah sakit itu sendiri masih satu bulan lagi. Sepertinya seluruh karyawan masuk lebih awal untuk mempersiapkan segala hal sebelum rumah sakit benar-benar menerima pasien.”

“Sejauh yang kau tahu, rumah sakit ini punya berapa poli?”

Nala menghitung dengan jari-jarinya. “Seingatku, aku melihat ada tujuh papan nama poli. Kandungan, bedah, penyakit gigi dan mulut, orthopaedi, paru, penyakit dalam, dan satu papan terbalik jadi aku tidak tahu apa yang tertulis.”

“Poli anak.” sahut Bayu. “Poli kandungan selalu dibarengi dengan poli anak, kan?”

Blue mengangguk. “Tidak ada yang mencurigakan. Tapi, setiap poli sama-sama punya kesempatan menggunakan obat bius.”

“Narkoba yang didalangi Elang Grup berkaitan dengan obat bius, ya?” tanya Nala.

“Pada dasarnya, memang obat bius. Peneliti mereka mengembangkan jenis narkoba yang bisa lolos uji dan diakui sebagai obat bius. Setelah efek biusnya habis, penggunanya bisa bekerja 3 hari non stop dan merasa bahagia. Saat diuji urin dan darah pun, tidak terdeteksi. Hanya saja, kalau sudah kecanduan, banyak bercak-bercak biru mulai terlihat di persendian mereka dan terasa nyeri saat disentuh. Dan orang yang sudah setidaknya dua tahun mengonsumsi obat itu, kadar bilirubinnya akan meningkat.”

“Ngeri..” Bayu bergidik.

“Efek samping setelahnya lebih ngeri lagi.” sahut Blue. “Dalam lima tahun pemakaian, kau tidak akan sadar kalau sudah memakai ribuan ampul dengan dosis yang semakin hari, semakin tinggi. Menurutmu, bagaimana keadaan ginjal, liver dan organmu yang lain dalam menyaring racun-racun itu?”

“Kenapa mereka tega melakukannya?” potong Nala. “Apa efek positif yang mereka dapat?”

“Uang, tentu saja.” Blue menghela nafas panjang. “Obat itu dijual murah sebagai obat bius karena efeknya yang tidak terdeteksi lewat uji laboratorium jangka pendek. Tentu saja mereka sudah memanipulasi hasil uji di tingkat lanjut dan membayar besar agar bisa masuk pasar rumah sakit.”

“Karena mereka kesulitan bersaing dengan obat bius lain, mereka memutuskan untuk membuka rumah sakit sendiri dan menjualnya dengan bebas. Begitu, kan, maksudmu?” sahut Nala.

“Ya, memang begitu rencananya. Kau ternyata sudah pintar, ya.” Nala meninju bahu Blue cukup kencang, dan Blue mengerang. “Aduh.. pokoknya, selain obat bius, sepertinya mereka ingin menyisipkan obat itu ke dalam makanan para buruh, guna menyuplai jumlah produksi agar meningkat signifikan.”

“Jahat!” seru Nala. “Bagaimana mungkin perusahaan besar seperti itu bisa menjadi perusahaan besar? Kok, bisa tidak ada yang pernah membongkarnya.”

Lidah Blue terasa pahit. Ia terhenyak dengan pernyataan Nala. Sebenarnya, ia dan Sky punya satu rahasia besar yang tak mungkin ia ceritakan pada Nala dan Bayu. Sebuah rahasia kelam yang ingin dipendam rapat-rapat. Sebuah rahasia yang sebenarnya tidak ingin ia ingat lagi. Bahkan, kalau bisa, ia sendiri tidak ingin dilahirkan di tengah-tengah konflik ini.

Melihat Blue melamun, Nala menyenggolnya. “Kau lapar, ya?”

Blue tersentak dan memandangi wajah Nala dan Bayu bergantian. Blue rasa, begini sudah cukup. Ia masih harus melindungi keluarga kecil kakaknya sampai seluruh gembong raksasa jahat itu musnah dan hancur.

“Aku hanya berpikir bagaimana caranya aku menjadi sosok ‘ayah’ betulan selama di sini.” kata Blue, asal. “Lalu, Bayu. Bagaimana dengan sekolahnya? Sebenarnya aku bisa memberikan raport palsu dan mendaftarkannya di salah satu sekolah di sini. Tapi, kita tidak tahu, kan, bisa menetap sampai kapan.”

Wajah Bayu berbinar. Ia memimpikan sekolah. Bertemu dengan teman-teman sebayanya dan bermain game sepuasnya tanpa memikirkan hal rumit orang dewasa. Impian Bayu adalah bermain jungkat-jungkit karena badan ibu dan pamannya terlalu berat baginya dan tak mungkin bisa ia kalahkan.

“Kau bagaimana, Bayu?” tanya Nala.

Merasa paham dengan keinginan anaknya, Nala menggenggam tangan Bayu. Ia mencoba memberi anaknya itu kekuatan agar bisa membuat keputusan besar dalam hidupnya. Di luar mentalnya yang sudah dewasa, Bayu tetaplah anak-anak. Ia butuh tumbuh di antara anak-anak lain yang pastinya bisa membuatnya belajar bersosialisasi.

“Bayu mau sekolah, bu.” Bayu tampak senang. Ia merasa kalau petualangannya kali ini terasa berbeda dan menyenangkan. “Bayu mau sekolah..”

Nala membelai rambut Bayu pelan-pelan. Setiap helainya ia sisipi kasih sayang yang membuat Bayu menguap.

“Oke, sepertinya sekarang jatahnya jagoan ini untuk tidur.” Blue mengangkat tubuh Bayu dan mengantarnya beranjak. “Aku pergi menidurkan Bayu dulu. Kita bahas ini lagi nanti.”

“Besok.” potong Nala. “Hoahhmm.. sebenarnya, aku juga mengantuk.”

Blue tersenyum kecil dan mematikan lampu kamar sebelum menutupnya. Malam itu, mereka bertiga tidur nyenyak. Pekerjaan membersihkan rumah benar-benar menguras tenaga.

Tentu saja, Blue tidur di sofa lantai atas, di kamar yang sama dengan Nala.

--

Nala dengan cekatan memotong kentang dan wortel, sementara menunggu bumbu halusnya matang sempurna. Di dalam dapur, sudah tercium bau wangi rempah-rempah bercampur aroma pinus. Usai mengepel, Nala memutuskan membuat sarapan. Sudah lama ia tidak masak saking seringnya tinggal di hotel.

Saat mengaduk bumbu, rambut Nala menghalangi pandangannya. Ia meraba-raba pergelangan tangannya, mencari karet rambut yang tadi ia sampirkan. Nala mulai panik saat tahu kalau karet itu tidak berada di tempat yang seharusnya.

Deg!

Tiba-tiba seseorang menyentuh tangan Nala yang sedang menahan rambut. Tangan itu membelai rambutnya dan menguncirnya dengan karet. Gerakannya cukup lembut dan terasa sangat berhati-hati agar tak ada satu pun rambut tak sengaja tertarik yang bisa menyakiti Nala.

Nala menoleh dengan wajah bersemu merah. Tentu saja kepalanya sekarang terasa panas. “Ma.. makasih.”

Blue tersenyum jahil. “Ciuman pagi juga diterima, kok.”

Degupan kencang jantung Nala melambat. Ia merasa dipermainkan dan mendorong tubuh Blue dengan sebal. “Kau ini..”

Ding! Dong!

Suara bel terdengar. Tampak sosok wanita muda bertubuh montok membawa sebuah nampan berisi aneka macam kue dan kukis berdiri di ambang pintu. Rambutnya hitam pekat dengan mata sipit menyerupai rubah. Ia memakai kaos berlengan pendek biru dan celana kulot putih panjang. Tubuhnya lebih pendek beberapa senti dari Nala, dan kerah kaosnya miring sebelah. Sepertinya, ia memakai kaosnya agak terburu-buru.

Melihat wajahnya yang malu-malu, Nala menyimpulkan bahwa wanita itu sudah ada disana bahkan sebelum adegan menguncir rambut itu terjadi.

“Eh, halo?” sapa wanita itu.

“Haloo..” Nala memasang senyumnya yang paling ramah. Ia menyenggol Blue dengan sengaja agar tidak kabur dari keadaan tak terduga ini.

“Wah, kalian pasangan yang romantis, ya..” wanita itu memperhatikan Blue dan Nala satu persatu. “Saya Sarah. Dan kalian..”

“Saya Nala, dan ini.. mm.. Bram.”

“Ya, Saya adalah Bram.” Blue nyengir. Ia menerima nampan yang dibawa oleh Sarah, dan mengedipkan matanya ke arah Nala seolah mengejeknya karena ia punya alasan pergi dari sana.

Nala mempersilakan Sarah duduk di ruang tamu. “Wah, senang sekali mendapatkan hadiah. Terimakasih..”

“Sama-sama. Sebenarnya hari ini ada satu orang lagi yang ingin berkabung, tapi ternyata hari ini jadwalnya mengantar anak-anaknya sekolah. Jadi, saya sendirian.”

“Iya, tidak apa-apa. Maaf saya tidak bisa memperkenalkan diri kemarin. Seharian saya membersihkan rumah.”

“Kita yang membersihkan rumah, sayang.” sahut Blue, tiba-tiba. Ia duduk di samping Nala yang mencubitnya pelan. “Kami berdua kemarin sibuk sekali.”

Sarah melihat keromantisan itu dengan muka riang. “Imut-imut sekali. Apakah kalian pengantin baru?”

“Eh, saya punya anak satu.” sahut Nala, buru-buru. Ia tak mau harus menjadi pengantin baru, apalagi yang dianggap sebagai suaminya adalah playboy klub yang doyan cewek pirang.

“Anak kami masih satu.” kata Blue, memperbaiki. Ia melingkarkan tangannya ke bahu Nala. “Ya, kalau anak kami kesepian di rumah ini, mungkin kita bisa memberinya adik. Ya, kan, sayang?”

Nala menahan perutnya yang berkedut-kedut. “Eh, di lingkungan ini apa ada anak yang usianya sepuluh tahun?”

Sarah mengangguk cepat. “Oh? Kelas empat, ya? Kalau begitu, kenapa tidak berteman saja dengan anak saya? Anak saya agak bandel, tapi sebenarnya dia anak yang manis. Meskipun dia jarang pergi keluar karena hobinya bermain game.”

“Ide bagus. Anak ibu sekolah dimana?”

Wajah Sarah kecut. “Bisakah kita mengakhiri panggilan ‘saya dan anda’ ini? Sepertinya kita seumuran. Dan tidak ada alasan spesifik yang mengharuskan saya dipanggil ‘ibu’ disini.”

Blue menelan ludah. Ia tak menyangka bakal dimarahi oleh seorang wanita selain Nala. “Eh, ya. Anakmu sekolah dimana?”

Sarah mengatur kembali mimik wajahnya. Ia menyelipkan sebagian rambutnya ke cuping telinga. “SD Matahari. Letaknya juga sekitar dua kompleks dari sini. Sekolahnya bagus, kok, Nala. Di sana sudah ada makan siang yang menunya diganti setiap hari. Mereka bebas ambil sendiri sesuai porsi masing-masing. Selain itu, ada banyak perkumpulan yang dilakukan di luar jam sekolah seperti bermain alat musik, memelihara kelinci, merakit komputer, dan menggambar.”

“Memelihara kelinci?” sahut sebuah suara.

Sontak Nala, Blue, dan Sarah menoleh. Tampak mata Bayu berkilat senang. Senyumnya sangat lebar, membuat kedua pipinya mengembang. Nala tak sanggup menahan tawa.

“Haha, sini sayang.” Nala melambaikan tangannya. Bayu berlari mendekat dan memberi salam kepada Sarah, sebelum duduk di antara Blue dan Nala.

“Oh, ini ya anaknya? Halo, ini tante Sarah..” Sarah memperkenalkan diri.

“Nama saya Bayu, tante.” sahut Bayu, sopan.

“Bayu, tante Sarah punya anak yang sebaya sama Bayu. Katanya hobi main game.” Nala berujar. “Bayu mau berteman dengan anak tante Sarah?”

“Aldo.” Sarah menambahi. “Nama anak tante Aldo. Nanti sore, kalau Aldo sudah pulang dari sekolah, bakal tante ajak kesini, ya?”

“Oh, sepertinya lebih bagus kalau kita yang gantian berkunjung.” sanggah Nala. “Sepertinya kita juga tidak punya banyak kegiatan, kan, hari ini.. sayang?”

Bayu terhenyak. Baru pertama kali sejak tiga tahun yang lalu ibunya berakting menjadi istri Blue. Ia merasa kalau ibunya tampak belum siap dan nadanya penuh kesan canggung yang dipaksakan.

Blue mengangguk setuju. “Siap, sayang. Tidak sabar rasanya mengunjungi tetangga bersama keluarga.”

Sore itu, sesuai kesepakatan, Bayu, Blue, dan Nala benar-benar berkunjung ke rumah Sarah. Rumah itu lebih besar dari milik mereka. Terdapat kolam renang di halaman belakang, dan juga pondok kayu kecil dengan atap jerami. Asap mengepul dari alat pemanggang daging dan menyebarkan aroma daging bakar sedap ke seluruh sudut ruangan. Di atas kolam, terdapat empat mainan mengapung berbentuk kucing. Sebuah pohon kamboja tumbuh meneduhi pondok, dan bunganya mengotori sebagian kolam. Aroma wanginya tercium samar, tercampur kaporit.

“Maaf, ya..” ucap Sarah. “Karena mendadak, aku cuma bisa bakar daging.”

Nala bergidik. Ia tak tahu kalau menjamu tamu dengan membakar daging bukan termasuk hal mewah bagi penghuni perumahan elit. “Kami berterimakasih sekali karena sudah dijamu. Padahal, seharusnya kami yang mengadakan pesta.”

“Oh, tidak, tidak.” sanggah Sarah. “Ini pesta penyambutan anggota baru kompleks ini. Sebentar lagi, orang-orang akan datang.”

Blue dan Nala saling berpandangan. Mereka tampak gugup dan gelisah. Ini pertama kalinya mereka harus berakting sebagai sepasang suami istri di depan orang banyak. Melihat dari tumpukan piring dan deretan gelas yang disediakan, sepertinya akan ada sekitar 30 orang.

Bayu tampak asyik mendekati Aldo. Mereka berdua saling penasaran satu sama lain.

“Aku Aldo.”

“Sudah tahu. Namaku Bayu.”

Aldo mengernyitkan dahinya. “Kau pernah main game?”

“Sudoku, catur, scrabble, menyusun puzzle,..”

“Bukan.” potong Aldo. “Game sungguhan. Kompetisi dimana kau bisa menindas lawanmu dengan telak.”

“Oh..” kata Bayu. “Aku pernah main monopoli sama pam-ayahku..”

Aldo menepuk dahinya. Ia sudah menyerah. “Kau benar-benar tak tertolong. Ayo, ikut aku.”

Aldo menarik tangan Bayu dan mengajaknya ke kamarnya. Di sana, untuk pertama kalinya Bayu merasa kagum. Ini pemandangan terindah kedua setelah pernah diajak melihat seluruh kota dari atas helikopter di malam hari. Ya, Blue pernah dengan sengaja mengajak Bayu menyelesaikan salah satu misinya menggrebek perambok bank yang membunuh presiden direktur.

Tentu saja kejadian ini tidak pernah diceritakan kepada Nala.

Kamar Aldo seukuran dua kali kamar Bayu. Ada sebuah komputer dengan layar yang sangat besar dan sebuah kursi empuk di depannya. Aldo juga menunjukkan penyuara jemala kokoh yang apabila dipakaikan ke telinga terasa nyaman. Tidak membuatnya pusing sama sekali.

“Kau miskin, ya?” Aldo memastikan. Tatapannya cukup prihatin.

“Aku tidak tahu keluargaku masuk kategori mana.” kata Bayu, sambil mengelus papan ketik komputer yang mulus dan tutsnya enak ditekan. “Tapi, perlengkapanmu ini sungguh.. keren.”

Aldo membusungkan dadanya, bangga. “Ya, sebenarnya, ini tidak ada apa-apanya. Tapi, aku juga sering membanggakannya ke teman-teman yang lain.”

Tiba-tiba, mereka berdua teralihkan dengan suara ribut-ribut di lantai bawah, tempat semua orang berkumpul. Mendengar hal itu, Aldo dan Bayu bergegas turun.

Tampak seorang wanita paruh baya terduduk lemas di atas lantai menangis histeris. Rambutnya terlihat kusut, setengah basah karena air mata dan keringat. Sebagian maskaranya luntur dan bedaknya terhapus setengah. Wanita itu memakai terusan hijau bermotif bunga lili putih besar-besar dan tampak kotor bernoda tanah. Kakinya pun lecet dan sikunya berdarah. Semua orang ramai-ramai mengerubungi.

“Ada apa?” Blue mendekati perempuan itu.

“J.. Joana..” rintih wanita itu. Ia menggigit bibirnya, tampak berusaha untuk menguatkan diri. “Joana, diculik.”

“Siapa Joana?” Bayu bertanya kepada Aldo.

Aldo yang syok dengan jawaban wanita itu, tak sengaja menjawab pertanyaan Bayu dengan nada tinggi. “Anaknya..”

“Ceritakan, dimana kejadiannya?” desak Blue.

Saking lembutnya suara Blue, wanita malang itu memakukan pandangannya. Nala yang melihatnya bergegas mendekat.

“Dia.. orang jahat itu memakai mobil camry putih. Mengambil Joana di depan rumah ini..”

“Plat nomernya?”

“Aku.. aku tidak ingat.”

“Aldo. Cek CCTVmu, sekarang.” Bayu mengingatkan. Aldo tercengang, tapi ia akhirnya menurut. “Pam-ayah, bisa ikuti mobil camry?”

Nala melemparkan penyuara telinga ke arah Blue dan Bayu. Ia pun juga memakainya di telinga kiri. Setelah mengutak-atik teleponnya, Nala menatap Blue dan Bayu satu persatu.

“Aku akan mencoba mencarinya dengan motor. Kau pakai mobilku.” usul Nala ke Blue. Ia pun menatap Bayu. “Kabari kami kalau sudah dapat plat nomernya, oke?” Nala menyerahkan sebuah tablet padanya.

“Siap!”

“Oke, sayang.”

Setelahnya, Blue dan Nala sudah pergi mengejar penculik, sementara Bayu tinggal di rumah Aldo, menekuri CCTV yang mengarah ke pintu gerbang rumahnya sambil menyalakan tabletnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status