Aku celingukan di depan lorong rumah sakit karena ketinggalan jejak mas Bima dan mbak Sinta. Kesal, jelas saja ku rasakan karena itu artinya aku akan kehilangan petunjuk untuk menemukan keberadaan suamiku. "Mbak Saudah." Tepukan sebuah tangan mendarat di bahu kananku, hingga membuatku terlonjak kaget. Tak langsung menoleh pada seseorang yang membuat jantungku mendadak berdebar. Takut-takut jika itu mas Bima atau mbak Sinta. Atau bahkan malah mama. Ku tarik nafas agar aku lebih tenang dan bersiap melarikan diri jika itu orang-orangnya mama. Dan perlahan mulai menengok sosok yang mengagetkanku barusan. "Kamu!" kataku saat ku ketahui orang tersebut bukanlah orangnya mama, melainkan Risa. Sepupu mas Umair yang entah dari garis keturunan mana. Sebab saking banyaknya dari saudara-saudara mertuaku yang masih menjalin hubungan dengan kerabat kedua orang tuanya. Mas Umair sendiri pernah menceritakan silsilah keluarganya. Diawali dari kakek buyut dan nenek buyutnya dari pihak abi. Lalu ada
Mas Umair pun melanjutkan ceritanya. Jadi, yang di kamar pasien tempat kami berdiri tadi adalah kamar dimana Santi dirawat. Entah sakit apa yang ia alami, mas Umair belum mengetahuinya. "Lalu, dimana Joko, Mas?" tanyaku karena sejak tadi mas Umair tak menyinggung hal apapun yang berkaitan dengan Joko. Padahal salah satu tujuan kami ke kota adalah memenuhi tagihan dari bu Menik yang mempertanyakan soal anak bungsunya itu. Mas Umair lalu melanjutkan ceritanya lagi. Ia mengatakan bahwa Joko juga ada di rumah sakit ini. Bahkan selama mas Umair mengawasi, Jokolah yang lebih sering menunggu Santi di ruang rawatnya. Sementara mama dan lainnya entah kemana, mas Umair belum mengetahuinya. "Terus kenapa kamu gak temuin langsung Joko nya, bawa dia pulang," kataku. "Gak semudah itu, Dek. Mas gak bisa bawa Joko begitu saja tanpa mengetahui alasan mama mengajak Joko ke kota. Apalagi ini menyangkut nama baik kita," jelas mas Umair. "Kan kita bisa nanya ke Joko langsung nantinya, Mas Umaaaiiir,"
Aku, mas Umair dan Risa kini kembali ke posisi di depan ruang rawat milik Santi. Karena langkah pertama akan segera dilancarakan, mas Umair pun meminta Risa bersiap. Entah bagaimana caranya Risa akan mengemban tugasnya, tapi yang jelas untuk saat ini kami menunggu waktu yang tepat. Kami merasa seperti seorang detektif sungguhan. Meski tak mengedap-edap tapi kami tetap was-was jika mama atau lainnya melihat kami. Kalau hanya pengunjung lain atau pekerja rumah sakit, masih bisa kami bohongi, tapi kalau orang-orangnya mama yang mengetahui keberadaan kami, bisa hancur rencana kami membawa Joko pulang. Aku sendiri juga bingung, kenapa Joko bisa sebegitu tunduknya pada mama hanya karena dijanjikan bekerja di kota. Kalaupun Joko memang polos, tapi ku rasa ia tak sebod*oh itu. Atau memang sebenarnya dia itu bod*h. Karena cukup lama menunggu akhirnya mas Umair memutuskan untuk menelepon mama. Lantaran sejak tadi pagi mama terus saja berada di dalam ruangan. Mungkin mama sudah memiliki firas
Kembali mendengar apa yang diucapkan Joko, aku pun dibuatnya tercengang lagi saat ia mengatakan keadaan Santi sampai ia bisa dirawat di rumah sakit. "Serius kamu?" tanyaku lesu setelah mendengar pernyataan Joko tentang Santi. "Se—serius Mbak," balas Joko. Ku buang nafas kasarku. Tak menyangka jika gadis cantik itu kini terbaring lemah karena penyakit kanker yang ia derita. Meski aku dan Santi juga terbilang tak begitu dekat, namun kebersamaan kami sejak kecil membuatku tahu betul bagaimana sifat aslinya. Memang tak jauh berbeda dengan kakak juga ibunya, namun Santi lebih mendingan daripada mereka. "Sebentar, ya." Risa pamit untuk mengangkat telepon masuknya. "Terus kamu mau nikah sama Santi?" tanyaku lagi pada Joko yang masih tertunduk. "Iya Mbak." Joko mengangkat kepalanya. Melihat kearahku. "Kenapa? Kalian 'kan gak saling kenal!" ujar mas Umair. "Iya Joko. Apa kamu lupa soal ibumu yang mengizinkanmu ke kota untuk bekerja, bukan menikah. Lagian usiamu di bawah Santi. Kamu yak
Tiga bulan berlalu setelah kematian Santi, hidupku terasa kembali normal. Mama maupun mbak Sinta tak lagi mengusik diriku ataupun keluarga mas Umair. Aku bahkan tak lagi mendengar kabar tentang mereka. Setiap kali ke kota aku meminta mas Umair untuk tidak mampir ke rumah mama. Entahlah bagaimana keadaannya sekarang. Rumah tanggaku kini bisa berjalan normal layaknya rumah tangga pada umumnya. Bahkan, keluarga kecil yang dibangun mas Umair bersamaku akan segera terlengkapi dengan kehadiran si buah hati. Ya, sempat merasakan tak enak badan beberapa hari ini, ternyata itu semua adalah pertanda jika diriku tengah hamil muda. Kebahagiaan tak hanya menyelimuti aku dan suamiku, melainkan juga dengan kedua mertuaku serta adik iparku satu-satunya. Setelah hampir satu tahun menikah akhirnya aku dan mas Umair diberikan amanah dari sang pencipta. "Dek, sudah denger kabar belum?" mas Umair bertanya sesaat setelah ia memasuki kamar kami. Lantas duduk di sebelahku. Aku yang tengah sibuk dengan bu
Hari ini aku dan mas Umair akan kembali ke kota. Selain untuk urusan pekerjaan, kami juga akan melihat keadaan mama setelah apa yang dikabarkan bi Iyem kemarin lusa. Namun sebelum itu, mengingat keadaan mama yang sedang tidak baik-baik saja, aku juga mas Umair berinisiatif untuk mengajak bi Iyem menemui mama. Apalagi selama ini bi Iyem lah yang lebih tahu mengenai keadaan mental mama. Aku dan mas Umair menjemput bi Iyem di perbatasan Selo, supaya lebih mempersingkat waktu mengingat perjalanan yang akan begitu panjang kami lalui. Sesampainya di rumah mama, kami bertiga langsung masuk ke dalam karena untungnya aku masih mempunyai kunci cadangan rumah ini. Dan setiap kami ada tujuan pulang ke rumah ini, mas Umair selalu memintaku untuk membawanya. Katanya untuk jaga-jaga jika kami mendadak membutuhkannya. Selain itu, saat kami tiba di sini, keadaan rumah terlihat begitu sepi. Sepertinya mbak Sinta dan mas Bima sedang keluar. Jika benar demikian, sungguh tega mereka meninggalkan mama s
Setelah selesai mengurus pendaftaran sebagai pasien baru, kami menyerahkan mama pada pihak rumah sakit. Sementara itu kami akan kembali pulang lebih dulu guna mengambil segala kebutuhan yang diperlukan mama selama menjalani perawatan. Saat kami hampir sampai di rumah, rupanya mbak Sinta dan suaminya sudah di rumah. Terlihat dari mobil mereka yang sudah terparkir di halaman depan. Perasaanku mendadak tak enak mengetahui kami akan saling bertatap muka kembali setelah sekian lama tak bertemu. "Assalamualaikum!" ucap mas Umair sebelum kami memasuki rumah. Lebih tepatnya kami berhenti di depan pintu. Tak juga mendapati balasan dari salam kami, aku dan mas Umair pun langsung masuk ke dalam. Mengingat kami harus segera kembali ke rumah sakit. Di sofa ruang tengah aku melihat mbak Sinta yang sedang menangis. Sementara mas Bima aku tak melihat keberadaannya. "Mbak?" aku berjalan perlahan mendekati kakak sambungku itu. Dengan cepat m
Part 55 Mas Umair dan Mbak Sinta? "Mungkin ini balasan buat Mbak Sinta," kata mas Umair di tengah perjalanan kami saat kami membahas apa yang diceritakan mbak Sinta tadi. Jelas aku tertegun menderita perkataan suamiku barusan. Aku saja tidak berpikir jika apa yang dialami mbak Sinta adalah balasan atas perbuatannya padaku. Tapi, mungkin memang saja. Ah, rupanya, karma itu memang ada. ***Sore ini aku dan mas Umair berencana untuk kembali ke rumah mama, menggali lebih dalam informasi mengenai hilangnya mas Bima. Sebab sejak kemarin belum ada kabar dari mbak Sinta yang menyatakan kepulangan suaminya. Sebenarnya aku mengusulkan pada mas Umair, kami pergi besok pagi saja, pasalnya hampir seharian ini ia bertugas di kampus. Aku yakin ia pasti lelah. Tetapi ia tak mau mendengarkanku, katanya jika pencarian ini terus ditunda akan berakibat lebih tidak baik, karena kami tak tahu bagaimana situasi dan kondisi yang dialami mas Bima di luaran sana. Apalah daya, aku tidak bisa melarang apa