Aslan meninggalkanku di tepi pantai. Hanya diam. Tanpa kata, tanpa jawaban, tanpa sedikit pun menoleh ke belakang. Ia pergi—sementara aku masih berdiri mematung, menelan getir yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata.Padahal aku sudah mengalah. Aku yang selama ini berdiri paling depan menolak semuanya, kini justru menawarkan diri untuk menikah dengannya... demi menyelamatkan keadaan, demi menyelamatkan nama baik keluarga, demi anak yang kini tumbuh dalam rahimku. Tapi sepertinya, semua itu tidak cukup untuk membuatnya bertahan."Apakah ia benar-benar akan menikahiku? Atau... aku hanya sedang dipermainkan?" batinku, getir.Angin laut mengusap pipiku yang basah oleh keringat dan air mata yang tak tumpah. Ombak berkejaran di hadapanku, seolah ikut menertawakan luka yang kubawa. Udara pantai memang sejuk, tapi dadaku panas, bergejolak oleh perasaan yang tidak kunjung tersampaikan."Apa yang harus aku lakukan, Tuhan? Aku ingin bertobat... tapi aku tak tahu ke mana arah jalan pulangku." b
Mendengar Bimo dapat surat pemecatan, aku merasa bersalah. Aku harus bicara dengannya aku harus meminta maaf. Bila perlku aku harus ganti rugi dengan tabungan yang aku punya. Aku bergegas mencari Bimo.Beberapa hari yang lalu bimo baru cerita kalau Ibunya ingin di bawa ke dokter. Mendengar dia dapat masalah karena ulahku, kini aku merasa sangat menyesal. Merasa bersalah karena mengajak dia menikah denganku.“Aku harus mencarinya.”“Kamu mau ke mana?” Suara itu terdengar dari belakang. Dingin, tenang, namun penuh tekanan.Aslan.Aku tak menoleh. Langkahku terus menembus udara pagi yang lembap. Ada yang mengganjal di dadaku—berat, sesak, seperti dosa yang tiba-tiba berubah menjadi batu dan menindih hatiku.Wajah Bimo terlintas dalam ingatan. Semalam, ia bercerita bahwa ibunya yang sudah renta makin sulit berjalan. Ia ingin membawanya ke dokter. Tapi bagaimana mungkin sekarang? Setelah semua yang terjadi?‘Ya Tuhan… bagaimana dia bisa mengurus putrinya, merawat ibunya, kalau dia harus k
Aslan masih dipenuhi kemarahan, kemarahan yang dibungkus dengan kecemburuan. Membuat laki-laki itu terbakar. Urat lehernya saling bertarikan, tapi semarah-marahnya Aslan, ia tidak pernah menyakitiku secara fisik. Tubuhnya seakan terkontrol agar tidak menyakitiku atau mungkin tidak mau menyakiti anaknya.“Berhenti membelanya, Sany! Aku tidak suka siapapun yang menghalangi jalanku,” ucapnya sekali lagi.“Kenapa kamu memilih jalan yang sulit Pak Aslan?”“Aku tidak perduli walaupun itu sulit ataupun jalam kehancuran. Kamu dan anakku adalah milikku,” ucapnya penuh otoritas. Tapi nadanya kali ini lebih lembut tapi tegas.“Lepaskan aku, Pak Aslan...” bisikku lirih. Suaraku nyaris tak terdengar, namun rasanya seluruh keberanian dalam diriku luruh saat mengucapkannya.Ia menatapku dari pantulan cermin di hadapannya. Tatapan itu—dingin, tajam, dan entah mengapa… menyimpan luka. Luka yang anehnya membuatku merasa bersalah, padahal akulah yang selama ini merasa tersakiti."Kalau kamu tidak bisa b
Katanya, ayah Aslan berteman baik dengan suami dari ibu dokter—pemilik hotel tempatku bekerja. Begitu pengumuman itu dibacakan di hadapan seluruh karyawan, tubuhku langsung membeku. Seketika, dunia seolah berhenti berputar. Aku, sekali lagi, terjebak dalam pusaran hidup yang dikuasai lelaki itu.Lelaki yang selama ini kucoba lupakan. Lelaki yang terlalu banyak meninggalkan luka, tapi juga terlalu dalam membekas di hati.Pantas saja, tiba-tiba ada banyak perubahan dalam sistem hotel ini. Sekarang aku paham. Semua ini kerjaan Aslan. Lelaki itu tak pernah melakukan sesuatu tanpa maksud.Salah satu perubahan: peraturan tentang kontrak kerjaku.Aku dikontrak selama dua tahun. Jika aku mengundurkan diri sebelum masa kontrak itu habis, maka konsekuensinya adalah tuntutan pidana dan… penjara. Ya, penjara.Dia mencegahku melarikan diri lagi. Mencegahku memilih hidupku sendiri.“Dia itu dokter, kenapa sekarang malah jadi presiden direktur di sini? Apa lagi yang dia rencanakan? Mau memanggil sel
Semakin Aslan memaksa dan merendahkanku, semakin dalam pula kebencian ini tumbuh.Cinta... seharusnya tidak menyakiti. Cinta itu melindungi, memeluk jiwa yang lelah, bukan malah menekan dan membuat seseorang merasa sesak. Tapi Aslan? Ia memperlakukanku seakan aku hanya wadah pembawa kantung bayi. Ia tidak pernah melihatku sebagai perempuan yang layak dicintai. Itulah yang aku rasakan selama ini. Walau Pak Bimo mengatakan kalau Aslan terlalu mencintaiku, tapi bukan itu yang aku lihat dari Aslan. Obsesi ingin menikah denganku semata hanya ingin memiliki anak yangaku kandung. Jadi, jangan salahkan aku jika aku terus menolaknya.Yang kulihat di matanya hanyalah obsesi. Sebuah keinginan untuk menang. Untuk membuktikan bahwa ia bisa memiliki segalanya dengan kekuasaan yang ia punya. Bukankah itu kesombongan yang menyamar sebagai cinta?Bagaimana mungkin aku menyerahkan diri dan cinta ini pada tempat yang salah… lagi?Aslan memegang kepalanya sembari menataplku dengan prustasi “Kenapa? Kena
Tangan besar itu menggenggam pundakku dengan kuat. Suara beratnya menggema, menggetarkan udara di sekitar kami.“KAMU IKUT AKU PULANG!”Aku menatapnya kaget, berusaha tenang. “Aku masih bekerja, Pak Aslan. Ini jam kerjaku.”Saat aku melirik kiri dan kanan, ternyata kami jadi tontonan. Tamu hotel, pelayan, bahkan resepsionis memperhatikan kami. Malu bukan main. Aku tidak mengira ajakanku untuk menikah pada Pak Bimo akan seheboh ini. Kenapa setiap kali aku ingin meyelesaikan satu masalah, bukannya selesai malah tambah besar.Aku tidak ingin jadi tontonan di banyak orang d yempat itu, apa lagi ini tempat kerjaku. Ingin rasanyaa ku menghilang detik itu juga saat melihat tatapan semua orang.“Oh … Sany, kamu jadi tontonan banyak orang’Ya ampun, ini sangat memalukan… Karierku dan kerja sama dengan Pak Bimo bisa dalam masalah besar, batinku. Aku menunduk, tak berani menatap siapapun.“JANGAN MEMANCINGKU LEBIH MARAH LAGI, SANY!” ucap Aslan, rahangnya mengeras, giginya nyaris bergemeretak.