Langit sore itu terlihat kelabu dari balik jendela bandara. Jakarta sedang muram, seperti hatiku yang tak menentu. Suasana terminal keberangkatan dipenuhi suara pengumuman dan langkah kaki yang terburu-buru. Namun, satu suara dari pengeras itu membuat dunia di sekelilingku seolah hening.“Penerbangan GA-838 menuju Taiwan mengalami penundaan keberangkatan.”Saat itulah instingku menyala. Ada sesuatu yang tidak beres.Aku menggenggam erat pegangan tas di pangkuanku, jemariku dingin meski udara bandara cukup hangat. Pandanganku menyapu sekeliling ruang tunggu. Perasaanku tak enak. Sangat tidak enak.“Apa ini kerjaan Aslan?” bisikku dalam hati, jantung mulai berdetak lebih cepat.Orang kaya bisa melakukan apa pun. Uang adalah remote kontrol yang bisa mengganti jalan hidup seseorang dalam sekejap. Dan Aslan... dia bukan sekadar kaya. Dia licik dan keras kepala. Mampu membuat dunia berhenti hanya untuk membuktikan sesuatu.Aku berdiri dengan tergesa, napasku pendek-pendek.“Oh, iya... aku m
Apaaa...?”Nada ragu itu merayapi suara Aslan seperti kabut dingin yang perlahan menyelimuti udara. Aku bisa merasakan napasnya yang memburu, matanya tak berkedip menatapku seolah sedang membaca lembaran lama yang telah lama kukoyak dan kubakar.Wajah itu… ya Tuhan. Wajah itu tak pernah berubah. Masih tajam, masih penuh kemisteriusan yang membuat siapa pun enggan berdebat dengannya. Tapi mata itu—mata itu seperti dulu. Mata yang tahu, yang menelanjangiku hanya dengan satu tatapan.“Itu tidak mungkin... Aku tidak mungkin salah,” ucapnya lirih, namun suaranya terdengar seperti pisau yang menggores udara. Kedua tangannya mengepal, menahan sesuatu—kemarahan, atau justru harapan yang belum mati?Aku bisa melihat rahangnya mengeras, giginya mengatup rapat. Ia menahan banyak hal yang tak bisa diucapkan. Rindu, mungkin? Atau luka yang selama ini dikira telah kering?“Maaf, iya Pak. Mungkin Bapak salah orang. Saya harus pergi.”Suaraku dingin. Datar. Setajam pecahan es. Aku bahkan tak tahu dar
Luka yang Masih MengangaBerhasil menjauh dari rombongan Aslan, aku dan Lola duduk di salah satu kafe kecil di sudut ruang tunggu Bandara.Jantungku belum juga berdetak stabil. Kakiku masih gemetaran, meskipun aku berusaha keras untuk bersikap tenang di depan Lola. Aku tidak ingin wanita muda ini membawa cerita tak sedap yang bisa berkembang menjadi gosip murahan saat kami tiba di Taiwan nanti."Ada apa sih, Teh? Kayaknya panik banget," tanyanya sambil meneliti wajahku penuh selidik."Mau makan apa?" tanyaku cepat, mencoba mengalihkan perhatiannya."Teh manis hangat aja, Teh. Aku kayaknya masuk angin," ucapnya sambil menepuk-nepuk perutnya."Okay." Aku memesan satu teh manis hangat untuknya, dan satu es teh manis untukku. Tubuhku terasa gerah, seperti terbakar, sejak melihat Aslan tadi. Bahkan, aku belum melepas mantelku ataupun kacamata hitam yang sejak tadi menutupi sebagian wajahku. Mataku terus awas, menelusuri kanan kiri, berjaga jika Aslan tiba-tiba muncul lagi.Aku menghabiskan
Jejak yang Tak Pernah HilangDua hari, sebelum aku pulang ke tanah air, sebelum pesawatku lepas landas dari Taiwan menuju Indonesia, dr. Melisa berkali-kali mengingatkanku. Bukan hanya sekadar pesan biasa, melainkan peringatan yang diucapkan dengan penuh kekhawatiran.“Hati-hati dengan keluarga Aslan, dan… hati-hati juga kalau sampai bertemu Panji. Bahkan kalau bisa, kamu operasi plastik saja, San,” ucapnya dengan suara setengah berbisik, seolah takut ucapannya akan menembus langit. Melisah tidak ingin aku bertemu dengan Panji maupun Aslan untuk saat ini. Setelah melihat bagaimana penderitaanku selama ini karena kedua pria itu Melisa tidak ingin aku menderita lagi karena cinta. Cinta yang salah yang aku lakukan di masa lalu biarlah menjadi pelajaran hidup untukku.“Sany … bagaimana kalau kamu operasi plastik aja, biar mereka tidak mengenali wajahmu,” ucap Melisa sekali lagi.Aku menatap matanya lekat-lekat, lalu menggeleng pelan.Aku menggeleng pelan,” Aku tidak mau.”“Aku punya teman
Janji yang Kutanam di Bawah SaljuSetahun yang lalu, aku akhirnya memberanikan diri untuk membuka mulut. Menceritakan semuanya, dari awal sampai akhir, kepada Ayah dan anak-anakku. Selama ini, rahasia itu terkunci rapat di dadaku seperti peti tua berkarat yang sengaja kusembunyikan di dasar laut. Aku tidak ingin membukanya dan ingin terus menyimpannya di sana. Tapi, aku berpikir lagi aku tidaki bisa selamanya menyembunyikan itu dari ayah dan kedua anakku.Awalnya mereka terkejut. Wajar saja. Aku menikah dan memiliki anak tanpa sepengetahuan mereka.“Maaf Yah,” ucapku pelan menatap wajah ayahku. Aku tidak ingin dia kecewa ataupun marah.“Ayah tidak bisa berkata-kata, Aku masih terkejut.”“Saat ini. Aku hanya ingin jujur pada Ayah.”"Kok Ibu baru bilang sekarang?" tanya Zio saat itu. Sorot matanya tidak menyalahkan, hanya menuntut kejujuran yang selama ini kutahan."Ibu hanya ingin menunggu waktu yang tepat, Nak…" ucapku, menahan gejolak di dada."Sekarang? Apakah ini sudah saat yang te
Di Bawah Langit Dinju – Doa yang Tak Pernah UsaiHidup di kota Dinju, Taiwan, tak pernah ada dalam rencanaku dulu. Namun di sinilah aku menambatkan langkah, setelah luka tak kunjung reda dan waktu enggan berkompromi. Di tengah hiruk-pikuk kota yang penuh cahaya neon dan lalu lalang manusia asing, aku menemukan secercah kedamaian dalam rutinitas di restoran kecil milik seorang warga Indonesia yang menamai tempat itu: Rasa Sedap.Restoran itu jadi tempatku bekerja . Di balik panas dapur dan kesibukan yang tak kenal waktu, aku mencoba mengubur masa lalu—berharap pahitnya kenangan bisa larut bersama keringat dan kelelahan.Empat tahun bukan waktu yang sebentar, dan kini… bocah kecilku, Haikal Aslan Gumala, telah tumbuh menjadi anak laki-laki berusia empat tahun tiga bulan. Wajahnya yang tampan seperti lukisan hidup dari seseorang yang ingin kulupakan. Bola mata coklat terangnya, hidung mancung yang tegas… seakan Tuhan sengaja menciptakannya untuk mengingatkanku pada Aslan—laki-laki itu.P