Suara Di Bilik Iparku (40)
**"Yaudah, nikah sama aku aja. Kamu mau?” katanya terlihat serius.
Tubuhku membeku untuk sepersekian detik setelah Oki mengatakan hal itu padaku. Meskipun pastinya kata-kata itu hanya gurauan, tapi dia terlihat sangat serius ketika mengatakannya.
"Ki, kamu mabuk?"
Oki terkekeh, lalu menggeleng dengan sangat yakin. "Enggak, aku nggak mabuk. Aku sadar. Suatu saat nanti kalau kamu udah lahiran, aku mau kok jadi calon ayahnya," tuturnya lagi dengan menatapku lekat, tapi kemudian Oki lantas mengalihkan pandangannya.
"Udah, nggak usah bahas gituan. Kita makan, yuk. Nanti jam istirahat keburu habis," katanya lagi dengan berlalu meninggalkanku.
Aku pun lantas mengikutinya berjalan ke kantin, tapi sebelum itu aku berusaha mencari tahu sesuatu tentang Om David, bos besar kami.
"Dina, kamu liat bos nggak? Apa hari ini nggak ke kantor?" tanyaku saat bertemu dengan sekretarisnya.
Dina menghentikan lang
Suara Di Bilik Iparku (41)**Kulangkahkan kakiku sembari mengusap perutku yang masih rata. Aku berjanji, meskipun dia harus lahir tanpa ayah tapi bisa kupastikan tidak akan kekurangan suatu apapun terutama kasih sayang.Terlebih dengan perkataan bapak mengenai ayah sambung dari bayi ini. Aku belum sempat memikirkannya walau Oki sudah berulang kali bergurau padaku.Aku tak pernah menganggapnya serius karena memang pasti dia hanya bergurau dan ingin membuat hatiku sedikit lebih tenang. Namun, terlepas dari bercanda atau seriusnya setidaknya dia masih sangat perduli denganku. Bahkan saat keadaanku hamil tanpa suami, dia justru terlihat lebih peduli denganku.Bukan berarti aku adalah seorang wanita pendendam. Namun, jika hati dan jiwaku digoncang seperti ini apa aku harus diam saja? Bukankah memberi pelajaran pada mereka yang sudah menyakitiku itu tidak masalah?"Astaga! Kamu kemana aja? Aku udah cari keliling rumah sakit. D
Suara Di Bilik Iparku (42)**"Anisa. Apa yang kamu katakan?" ucap Om David saat Tuan Hadi sudah keluar dari ruangannya.Aku tersenyum miring, lalu menduduki kursi yang semula di pakai oleh Tuan Hadi. "Sudah lah, Om. Katakan saja yang sebenarnya jika tidak ingin aku meneruskan masalah ini ke polisi. Cara Anda merebut perusahaan bapak itu kejam," ungkapku dengan menatapnya tajam.Om David tak berkutik, dia memilih ikut duduk di hadapanku. Aku tak tahu, bagaimana bisa orang sebaik dirinya berubah menjadi kejam seperti ini.Dia menghela nafas panjang, lalu mengusap wajahnya kasar. "Baiklah, aku salah. Aku berdosa," tandasnya membuatku tersenyum tipis.Tak lupa aku sudah menyalakan mode rekam dalam ponsel yang ada di saku bajuku, jadi jika dia berbuat yang tidak-tidak aku punya barang bukti yang kuat. Kesempatan ini tidak akan aku sia-siakan, Om David harus mau mengakui kesalahannya detik ini juga."Jadi?" tanyaku berpura-pu
Suara Di Bilik Iparku (43)**Seharian ini usai perdebatanku dengan Oki, aku belum sama sekali bertemu dengannya meskipun jam pulang kantor sudah tiba. Dia yang biasanya menungguku sampai dapat taksi, hari ini tidak ada di sampingku. Entahlah, kenapa dia bisa berubah seperti itu. Padahal bagiku dia lah satu-satunya orang yang paling dekat denganku.Kulangkahkan kakiku masuk ke dalam rumah ketika taksi yang mengantarku telah berhasil membawaku sampai di rumah dengan selamat. Untung saja seharian ini perutku bisa diajak kerja sama, jadi tubuhku tidak terlalu letih.Rencananya, besok aku akan mengunjungi dokter kandungan untuk memeriksakan kondisi kehamilanku. Semoga saja anak yang ada di dalam kandunganku baik-baik saja meski segala cobaan tengah mendera hidupku."Sudah pulang, Nis." Ibu menyapaku saat kaki kananku baru saja melangkah ke dalam kamar.Segera kuhentikan langkahku, lalu tersenyum ke arah wanita yanh sudah melahirkanku itu. "Sudah
Suara Di Bilik Iparku (44)**Dadaku kembang kempis, kutatap geram punggung lelaki yang baru saja menjalani sidang bersamaku. Dia benar-benar tidak pantas di sebut sebagai manusia, dia sudah seperti hewan buas. Dengan sesuka hatinya memperlakukanku seperti ini. Bahkan kini, dia pun juga mencari masalah dengan Oki.Air mataku menetes, terlebih ketika kulihat sudut bibir Oki memar dan mengeluarkan darah segar. Tidak sepantasnya Oki mendapat perlakuan seperti ini, karena semua ini murni adalah masalah pribadiku dengan Mas Akbar."Maaf," ucapku dengan mengusap pelan darah yang menempel di sudut bibirnya.Ia sedikit meringis, mungkin lukanya benar-benar menimbulkan rasa sakit. "Maaf untuk apa?""Untuk ini," jawabku dengan mengusap lagi sudut bibirnya agar sisa darah itu dapat bersih."Aku yang seharusnya minta maaf. Aku meninggalkanmu sendiri di parkiran sampai pria laknat itu datang menyerang mentalmu lagi," tuturnya, tapi kali ini dia me
Suara Di Bilik Iparku (45)**"Bara. Ada apa? Kenapa nggak masuk?" tanyaku saat baru saja turun dari mobil dan di ikuti oleh Oki di belakangku.Bara lantas berbalik dan menatapku, wajahnya sedikit sayu, dia juga terlihat sedikit kurus. Kasian, sepertinya perpisahannya dengan Hanum berdampak besar pada hidupnya. Untung saja, aku tidak sejauh itu memikirkan pria seperti Mas Akbar."Enggak, takut ngrepotin. Di sini aja, lagian aku cuma bentar kok, Mbak," jawab Bara dengan beberapa kali melirik Oki yang ada di sampingku."Em ... Aku mau bicara, Mbak."Aku mengernyitkan dahi, "bicara? Yaudah bicara aja," kataku tak paham, karena biasanya dia juga langsung bicara meski masalah sepenting apapun."Tapi ... Berdua saja," lanjutnya membuatku semakin terheran dengan perkataannya.Ada apa ini? Bahkan dia pun sebenarnya juga sudah kenal dengan Oki. Lalu kenapa sepertinya secara tidak langsung ia menyuruh agar Oki pergi. Sepenting apa hal ya
Suara Di Bilik Iparku (46)**"Om, bapak mau ketemu. Nanti sore jam setengah lima di cafe Tulip, ya," ucapku pada Om David ketika kami bertemu di lift.Om David seketika sumringah, kedua matanya berkaca-kaca. Sepertinya dia sangat menantikan saat ini tiba. Yang kutahu, untuk melalui proses ini tidak lah mudah untuk keduanya.Ternyata, selama ini Om David sudah berulang kali mencari keberadaan bapak sampai ke kota lama kita tinggal. Tapi tak dia temui, karena memang delapan tahun yang lalu kami pindah tempat karena alasan yang tak kuketahui.Sedangkan bapak, aku yakin selama sepuluh tahun ini berusaha memendam dan mendamaikan hatinya dengan kecurangan yang telah sahabatnya lakukan. Aku tahu, ini bukan perkara mudah untuk memaafkan Om David dan bersikap seperti dulu lagi."Terimakasih, Nis. Om janji, setelah ini akan berubah dan akan menyerahkan hak kalian. Kamu tahu? Sepuluh tahun hidup dalam rasa bersalah itu sungguh tidak menggairahkan. Dan
Suara Di Bilik Iparku (47)**Bara melirik ke arahku dengan senyuman aneh. Padahal jelas dia tahu bahwa saat ini aku dan Mas Akbar belum resmi bercerai, tapi kenapa bisa dia membawa semua anggota keluarganya ke rumahku? Dan juga, kenapa mereka semua seakan tunduk dengan Bara. Seharusnya mereka mencegah perbuatan buruk Bara, kan?"Bagaimana, Pak? Apa lamaranku di terima?" ucap Bara memecah keheningan.Aku dan ibu saling berpandangan, seakan sama-sama berharap bahwa bapak akan mengatakan tidak untuk lamaran kali ini. Aku tahu, ibu pun pasti juga enggan jika sampai aku terjerumus pada lembah yang sama.Terlebih aku tahu, bahwa sikap Bara tak jauh berbeda dari Mas Akbar. Bahkan cenderung lebih buruk dari kakaknya. Beberapa pekan kami rutin berhubungan, semakin aku tahu bahwa Bara adalah orang yang sangat tempramental. Dia tidak segan berbuat buruk pada orang yang telah menyakitinya."Em ... Maaf, bukan saya tidak ingin meneruskan tali silaturahm
Suara Di Bilik Iparku (48)**Siang ini aku pergi kesebuah rumah sakit untuk memeriksakan kandunganku, tentunya Oki lah yang menemaniku karena kedua orang tuaku tengah sibuk dengan bisnisnya yang baru saja mereka kelola bersama Om David. Perutku semakin membuncit, gerakan-gerakan kecil juga sudah mulai terasa.Hatiku sangat bahagia, karena itu artinya bayiku berkembang dengan sangat baik di dalam sana. Setidaknya, meski telah bercerai aku harus tetap bahagia demi anak yang tengah kukandung, seperti yang Oki katakan."Em ... Kayaknya nanti aku nggak bisa anter pulang, deh."Oki membuyarkan lamunanku ketika kira-kira lima menit lagi kami akan sampai di rumah sakit. "Iya nggak apa-apa, memangnya ada apa?""Aku ... Aku mau jemput kedua orang tuaku," jawabnya singkat.Dahiku mengernyit, tak biasanya orang tuanya yang datang ke kota. Biasanya sebulan sekali Oki lah yang berkunjung ke rumah orang tuanya di desa. Wajar saja, Oki adalah seoran