Sudah tiga hari berlalu sejak mereka pulang bersama, dan hampir setiap hari Genta harus memberikan tumpangan pada Gia yang beralasan bahwa mobilnya sedang di bengkel. Meski lokasi syuting terpaut jarak yang lumayan jauh dengan Praz Company, Genta—yang entah sedang kerasukan apa, selalu mengantar wanita itu walau terkadang sambil menggerutu. Genta merasa aneh pada dirinya sendiri. Dia selalu membentangkan jarak selebar mungkin agar Gia tidak mendekati San. Akan tetapi, justru kini ia berada di radius yang sangat dekat dengan wanita itu. "Papa, ada tamu." Genta mengerjap dari lamunannya. San—yang sedang memegang robot transformer miliknya, menunjuk ruang tamu. "Makasih ya, Nak," ucap Genta. Karena dia sama sekali tidak mendengar bel rumah yang berbunyi. "Halo, mas Genta!" sebentuk senyum manis perempuan menyambutnya kala pintu dibuka. Pagi itu Gia memakai croptop putih yang memperlihatkan sebagian perut langsingnya, dengan dilapisi blazer tipis bewarna peach. Melihat penampilan
“Raf, aku boleh minta tolong? Tolong bawa San masuk dulu,” pinta Gia yang langsung dituruti Rafael detik itu juga. “Ayo, San, ikut Om. Di dalam banyak makanan, lho,” ajak Rafael dengan nada bersahabat. San menerima uluran tangan Rafael yang ingin menggandengnya sambil tersenyum lebar. Anak laki-laki itu menoleh pada Genta untuk meminta persetujuan. Genta mengangguk sambil mengusap lembut kepala San. Selepas kepergian Rafael dan San, Gia mempersilakan Genta untuk duduk di kursi teras depan rumahnya. “Ada apa, mas Genta?” tanya Gia penuh perhatian. Genta tidak langsung menjawab. Perasaan aneh menyelimuti hatinya, dan Genta merasa risih. Padahal ia hanya ingin meminta tolong. Sebagai tetangga yang baik, Gia pasti akan membantunya. Namun lidah Genta terasa kelu. ‘Ck! Tinggal bicara saja’. Rutuk Genta dalam hati. Keterdiaman Pria itu membuat kening Gia mengkerut. “Mas Genta?” panggil Gia sambil menyentuh punggung tangan Pria itu. “Hah? Iya, kenapa?” Genta tersentak. Matanya kemudi
Bunyi denting garpu menjadi satu-satunya suara yang mengisi keheningan di meja makan itu. Kedua orang dewasa yang duduk berhadapan sama sekali tidak menunjukan keinginan untuk berbicara, atau sekedar berbasa-basi menanyakan kabar selayaknya anak dan ibu. Genta meneguk segelas air, sebelum menyingkirkan bekas peralatan makan malamnya ke sisi kiri. Hal yang sama dilakukan tidak lama kemudian oleh seorang wanita cantik berusia 50 tahun— Evelyne Pramudya. Evelyne mengangkat sebelah alisnya melihat gelagat Genta yang gugup. Pria berusia 29 tahun itu adalah putra bungsunya yang paling mirip dengannya. Hanya bedanya, Evelyne memiliki sisi angkuh yang teramat jelas, bahkan jika hanya melihat dari ujung dagunya. “Mami pikir kamu sudah lupa dengan alamat rumah ini," sindir wanita tua berambut merah terang itu. Genta mengangkat wajahnya. Mata tajamnya menelisik penampilan Mami nya yang makin eksentrik. Sudah hampir enam bulan Genta tidak datang menemui Evelyne, dan lihat, gaya Mami nya itu s
"Tante jahat! Huhuhu... sakit...." Gia menutup mulutnya. Matanya membulat tak percaya melihat seorang anak laki-laki jatuh terduduk di depannya. Mata anak itu menggenang penuh linangan air mata. Es krim di tangannya sudah meluber di lantai mall. Gia berdesis. Dia memang salah karena menelepon sambil berjalan di tengah keramaian mall, tapi anak ini juga salah karena sudah lari-larian di mall! "Ih, bukannya dibantuin, ya." "Kasian banget adeknya." "Aduh... udah nangis begitu, gak minta maaf." Mata Gia mengedar, lalu meringis. Padahal jelas-jelas anak itu yang salah, tapi pengunjung mall tampaknya tetap menyalahkannya. Mendapati seorang anak kecil jatuh menabrak wanita dewasa, sudah pasti yang salah wanita itu. "Dek–" Gia berjongkok. "Huaaaa... es krim aku. Hiks… hiks jatoh. Huaaaa… Tante harus ganti! Pokoknya ganti. Huaaa... aku mau es krim baru." anak laki-laki itu menangis meraung-raung. "Ng…. Tante, minta maaf ya."Sejujurnya Gia sangat gugup sekarang. Dia tidak pernah berin
Gia bangun di pagi hari dengan mata sembab dan hidung merah. Ia menatap pantulan kaca yang memperlihatkan betapa acak-acakannya dia. Rambut panjangnya yang berwarna caramel berantakan seperti Singa. Gia menyisir dengan pandangan kosong. Ingatannya memutar kembali kejadian kemarin ketika dia bertemu dengan Genta, juga ketika dia bercerita pada sahabatnya–Moren, perihal Genta dan anak laki-lakinya. Moren bilang dia harus menghapus semua rasa cintanya kepada Genta. Semuanya. Gia mendengus. Apakah mudah menghilangkan perasaan yang sudah tertanam lebih dari 10 tahun?Tapi sepertinya, Moren punya firasat kalau sahabatnya sejak SMA itu akan melakukan segala cara untuk merebut Genta dari istrinya."Jodoh itu sudah ada yang atur, Gi. Mungkin ini memang saatnya kamu lupain Genta. Masih banyak laki-laki di luar sana yang jauh lebih sempurna dari Genta. Kamu berhak untuk dicintai." Tapi bagaimana kalau yang Gia inginkan hanya Genta?! Moren tidak pernah tahu, tidak pernah. Gia menghabiskan ba
Gia bermimpi dia bertemu lagi dengan cinta pertamanya. Akan tetapi sosok itu kini tidak lagi sendiri. Ia telah berkeluarga. Kemudian dia menangis. Pahit sekali rasanya menerima kenyataan kalau orang yang kamu cinta tidak bisa menjadi milikmu. Lalu mimpi itu berganti. Gia memiliki rumah baru sesuai dengan impiannya. Naas, tetangga barunya adalah Sang cinta pertama. Dan semuanya menjadi gelap.‘Itu hanya mimpi, kan?’Gia yang masih memejamkan mata berucap syukur berkali-kali. Mana mungkin dia sanggup melihat Genta bahagia bersama keluarga kecilnya. Tidak akan sanggup. "Papa, Tante Gia sudah bangun! Tante! Tante dengar suara San, kan?" Mata Gia mengerjap. Berusaha menyesuaikan pencahayaan yang terang dengan matanya yang baru terbuka.‘Di mana ini?’ batin Gia bergumam. Gia tidak begitu mengenali langit-langit ruangan ini. Jelas ini bukan di rumahnya. Biarpun rumahnya baru, akan tetapi Gia hafal seperti apa warna atapnya. "Tante Gia? Tante nggak lupa ingatan, kan?" Gia menoleh ke samp
Gak boleh dekat-dekat dia bilang? Memangnya Gia itu kuman?! Genta terlalu overthinking. Padahal Gia tidak punya niat buruk. 'Tapi memang benar, sih' batin Gia pilu. Genta mengenalnya sejak remaja. Meski laki-laki itu selalu dingin kepadanya, Gia sadar Genta teramat memahaminya. Gia kadang suka lupa. Iya, dia lupa kalau Genta yang sekarang sudah jadi suami orang. Laki-laki itu sudah beristri. Gia tidak bisa sebebas dulu buat pdkt sama Genta. Lagipula, mana mungkin Gia mau jadi pelakor? Selain karir nya, otak Gia juga memikirkan perasaan istri Genta. Gia tidak ingin menjadi penyebab hancurnya rumah tangga orang lain. 'Tapi kan aku cuma mau jalin silahturahmi!' sekali lagi, dia hanya ingin menjalin silahturahmi. Berangkat dari pemikirannya itu, Gia beranjak ke dapur. Niatnya pagi ini dia ingin memberikan bekal makanan untuk San. Karena sepenglihatan Gia kemarin, San termasuk jenis anak yang doyan makan. Sebelum memasak, seperti biasa Gia memotret dirinya di cermin dengan tampilannya
"Ken, menurut kamu kalau istri jarang di rumah, itu artinya apa?" Kening Keenan mengkerut bingung mendengar pertanyaan yang diajukan bosnya—Gia. Ken merasa Gia sedang banyak masalah. Tidak biasanya sahabat yang merangkap atasannya itu bertanya hal-hal aneh seperti tadi. Ken mengenal Gia sejak wanita itu menjadi runner up Puteri Indonesia tiga tahun yang lalu. Sebagai manager aktris ibu kota, Ken langsung menawarkan diri menjadi asisten pribadi Gia begitu ia tahu kalau wanita itu ingin terjun di dunia entertaiment. Selama bekerja dengan Gia, Ken akui Gia cukup interaktif dan banyak berbicara. Tapi malam ini, pertanyaan Gia membuat Ken penasaran. "Maksudnya gimana, Gi?" Gia menoleh kepadanya. "Masa harus aku perjelas?" Wanita itu menarik nafas panjang. "Menurut kamu, nih, kalau ada satu keluarga terus ibu nya jarang ada di rumah. Bahkan gak ikut sarapan bareng, nah, itu kenapa?" Ken makin dibuat bingung. 'Maksudnya apa, sih?' tapi meski begitu, Ken tetap menjawab sambil garuk-garu