Share

Bab 4 : Kau Baik- Baik, Mia?

Sejak Mamanya menghubungi tadi, Mia sudah menelepon Anastasia balik beberapa kali. Begitu sang Mama dan nenek sampai di terminal bus, gadis itu menjemput keduanya dengan taksi. Anastasia –Mama Mia –adalah seorang wanita hampir paruh baya yang berperawakan sedang dengan rambut ikal yang hitam panjang. Nenek berada di sampingnya, dengan wajah heran setelah perjalanan panjang yang beliau tempuh. Rambutnya sudah memutih semua dan dipotong pendek, dan lemahnya gerak beliau menyebabkan nenek Mia harus sering- sering berada di atas kursi roda.

Mia dan mamanya tak banyak bicara selama berada di terminal ataupun di bus, selain hanya berpeluk hangat karena saling merindukan.

Namun begitu sampai di flat dan Mia membukakan pintunya, Anastasia mulai berceloteh.

Mi amor, betapa kurusnya kau, Anakku!” komentar Mamanya dengan cemas. Sementara itu tangannya dengan sigap mengurusi kursi roda nenek Mia, lalu mendudukkan beliau masih tampak linglung.

Mendengar pertanyaan itu, Mia hanya tersenyum. Alih- alih menjawab, ia juga membantu mendudukkan nenek yang skeilas menatapnya dengan bingung sekaligus menantang.

Mungkin beliau berpikiran bahwa Mia adalah orang asing.

“Pachita!” teriak nenek Mia. “Tega sekali kau akan menyuruh anak ini mengurusku? Setelah selama berminggu- minggu ia tak datang ke rumah bahkan untuk menyapa?”

“Pachita?” ulang Mia mengerutkan kening. Ia memandang Mamanya menuntut jawaban.

“Ah, Pachita itu nama kepala pelayan di rumah kita dulu,” jelas Anastasia. “Dia orang yang agak sedikit gemuk, namun baik dan ramah. Nenek berkali- kali menyuruh Mamá agar makan lebih banyak. Ia mengira aku sakit, mi amor.

“Lalu aku, Mamá?” tanya Mia sembari menunjuk dadánya sendiri dengan telunjuk. “Aku siapa yang telah berminggu- minggu tak datang menyapa nenek?”

“Nenek?” potong nenek Mia di tengah- tengah pembicaraan keduanya. Matanya masih menatap marah pada Mia. “Aku ini bukan nenekmu! Aku ibumu, Anastasia! Astaga kau sudah lupa identitas dirimu sendiri dan menganggapku sudah begitu tua?”

Mia mengerang paham. Neneknya menyangka kalau ia adalah sang ibu.

Sementara itu, Anastasia hanya bisa tersenyum tak enak pada anaknya, seakan meminta pengertian.

Mia mengangguk. Ia harus masuk dalam drama itu untuk sementara waktu. Serta merta Mia memeluk neneknya dengan lembut dan hangat, bahkan rambut hitam kecokelatannya yang halus itu ikut mendekap pelukan itu.

Dan sang nenek benar- benar merasakan kehangatan.

Perdoname, Mamá,” bisik Mia di telinga nenek, “Aku tak bermaksud meninggalkan Mamá sendirian dan dirawat Pachita. Tapi Mamá tahu kalau aku harus bekerja, verdad? Aku tidak bisa sering- sering pulang ke rumah.”

Neneknya mengangguk dalam dekapan itu. “Mi niña,” sambut beliau lirih, “Bila saja Enrique tidak meninggal terlalu cepat, mungkin kau tak perlu bekerja keras seperti ini.”

Mia melepas pelukan. “Kalau begitu Abuelita –eh, maksudku Mamá memaafkanku?”

Beliau menggeleng. “Tidak perlu meminta maaf, Nak,” katanya seraya tersenyum.

Senyum nenek Mia terlihat begitu menenangkan, penuh ketulusan dan kejujuran, meski ada banyak kerutan di wajahnya. Mengingatkan Mia pada seseorang yang lain.

Mia bangkit berdiri, lalu berbicara dalam suara rendah pada Anastasia. “Mamá dan nenek beristirahatlah dulu. Kalian pasti sangat lelah setelah perjalanan jauh. Aku akan menyiapkan makanan,” katanya seraya mencium pipi kiri sang ibu. “Aku akan tunjukkan kamar nenek dan Mama, sekaligus membawakan koper- koper ke kamar.”

Anastasia mengangguk, lalu ia membujuk nenek untuk istirahat sembari mendorong kursi roda beliau. Mia tersenyum lapang –sekaligus ragu. Jemarinya menggapai salah satu koper, lalu mengangkat tas barang yang besar di tangan yang satunya lagi. Ia berjalan pelan menuju kamar neneknya sembari berpikir- pikir.

Ternyata Mama bahkan sudah menyadari bahwa ia lebih kurus dari biasa sebelum ia menceritakan keadaannya sekarang. Bagaimana nanti reaksi beliau bila mengetahui bahwa kondisinya sekarang sedang berantakan?

Gadis itu menghembuskan napas beberapa kali, seakan dengan berbuat begitu semua masalahnya keluar dari tubuh bagaikan asap. Tampak di lorong, Mama mendorong nenek di atas kursi roda.

Tapi sayangnya tidak semudah itu, batin Mia sendiri. Ia segera berbalik ke ruang tamu dan mengambil koper serta printilan yang tersisa, lalu meletakkannya ke kamar yang diperuntukkan bagi Anastasia.

Setelah pekerjaannya selesai, ia pandangi sejenak angin yang menderu- deru di luar. Awan menggantung rendah, membuat langit bagaikan selimut putih yang sendu.

Seperti perasaannya sekarang.

***

“Kamu akan membuat apa, Mia, untuk makan malam nanti?” tanya Anastasia yang muncul tiba- tiba di dapur ketika Mia masih bertolak pinggang di depan meja kayu panjang.

“Oh?” gumam Mia terkejut. “Mamá, kenapa di sini?” Ia bertanya balik. “Istirahat saja di kamar, Mamá . Biar aku saja yang menyiapkan makanan.”

“Kaulah yang seharusnya beristirahat, Mia. Mamá dan abuela telah merepotkanmu untuk menjemput kami di terminal setelah kau pulang kerja. Kau pasti lebih lelah.”

Mia terdiam. Ia lebih tahu bahwa seharian ini ia tidak mengerjakan apapun selain membersihkan rumah dan membeli keperluan dapur.

“Tapi aku masih muda, Mama.”

No, no,” sergah Anastasia. Ia menyingsingkan lengan baju, lalu memperbaiki ikatan rambutnya yang panjang dan hitam. “Aku akan bersikeras membantumu, Mia mi amor. Meski kau lebih muda, tapi aku lebih kuat dan cepat soal masak- memasak daripada dirimu,” gelaknya. “Lagipula… astaga, lihatlah isi lemari pendinginmu! Lengkap sekali semua sayuran dan sausnya! Sepertinya kau tak akan rajin berbelanja seperti ini bila tidak tinggal sendirian di kota begini, Mia.”

Mia nyengir.“Tadi Mamá bilang lagipula—?”

“Oh, ya. Lagipula aku bersikeras untuk memasak bersamamu karena kau menghindari dua pertanyaanku, Nak. Saat memasak aku bisa menanyaimu dengan bebas.”

Masalah beradu argumen memang Mamanya adalah kampiun, aku Mia dalam hati. Ia mengedip ngedip cemas dengan pertanyaan yang dimaksud sang mama. “Qué – qué pregunta? Pertanyaan yang mana, Mamá?”

Anastasia meninggikan dagunya, lalu menghitung dengan jari. “Satu: soal kenapa kau menjadi lebih kurus dibandingkan terakhir kali kau pulang ke desa. Dua, tentang pertanyaan makan malam barusan.”

“Baiklah,” Mia mengangguk manis. “Kenapa aku menjadi kurus? Karena aku di Meksiko, Mamá. Dan kesibukan di sini membuatku jadi ikut- ikutan sibuk sampai aku tidak ingin menjadi terlalu gembul. Apalagi banyak di antara temna- temanku yang berperut rata.”

Anastasia melengkungkan bibirnya tak percaya. “Saat kau masih kuliah di UAM dulu, kau tidak begitu peduli apakah perutmu rata atau tidak, mi amorPero bueno, aku terima alasanmu kalau Meksiko lebih sibuk dari tempat manapun di negara kita.”

Orang- orang biasa menyebut Meksiko City dengan sebutan Meksiko saja. Sehingga sebutan Meksiko di sini merujuk pada kota.

“Nah, rencana makan malam?”

“Aku berencana membuat sup, Mama. Bagus sekali di cuaca berangin- angin begini. Padahal tadi siang matahari terik sekali. Akan baik juga bagi Abuelita. Lagipula aku tidak tahu banyak apakah beliau punya pantangan makanan atau tidak, jadi aku pilih sopa de tortilla berbahan dasar tomat saja,” cerocos Mia. Ia pun lalu bergumam sejenak seraya melihat bahan- bahan lain yang sudah ia letakkan di meja dapur. “Kurasa baiknya aku juga menyertakan frijoles dan salsa de huevo? Bagaimana menurut Mamá ?”

“Hm—ehm. Cukup bagus. Nenekmu akan sangat menyukainya.”

Bueno, kalau begitu aku akan mulai menyiapkan bahan- bahan supnya.”

Anastasia mengangguk mendukung perkataan anak gadisnya, lalu menyiapkan caldo de pollo –kaldu ayam untuk campuran sup. Ia juga memotong bahan- bahan lain, termasuk menyisihkan tomat- tomat untuk sup dan salsa de huevo.

Untuk beberapa waktu mereka bekerja dalam keheningan –yang seharusnya menyenangkan, bukan menyesakkan seperti yang Mia rasakan sekarang.

Dan kekhawatirannya pun memang menjadi kenyataan.

“Mia,” panggil Anastasia yang mengocok telur dengan sikap (berpura- pura) acuh tak acuh, “Apa kau baik- baik saja, mi amor? Kau tidak terlihat begitu bahagia.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status