Senja berlalu seperti awan kecil di musim kemarau, sebagai mimpi di waktu fajar. Malam luruh bersama hawa dingin yang tajam menggores kulit semua tahan. Bintang-bintang di langit tidak lebih dari percikan kecil api, yang sekiranya api itu padam suatu malam nanti, maka tak akan ada lagi cahaya lain yang tertinggal di langit malam selain rembulan malas yang enggan bergerak dari atas hutan.
“Kau belum tidur?”
Mardian menoleh. “Ah, Pram. Membuat kaget saja. Aku tidak bisa tidur. Kau sendiri mengapa tidak tidur?”
Pramoedya duduk. “Setelah apel malam tadi, aku jadi terus berpikir-pikir, Kawan. Menurutku, negara kita ini masih sakit dan terlalu rapuh sistim pemerintahannya. Di sisi lain, bayang-ba
Sebelum apel pagi di mulai mereka harus berlatih baris-berbaris. Danton yang memberi komando. Semua orang harus mengikuti komandonya dengan irama ketat. Bagi siapa yang bergerak tidak sesuai irama akan mendapat pukulan dari anak buahnya. Kiri, kanan, pukul! Kiri, kanan, pukul! Latihan baris-berbaris itu memakan waktu setengah jam. Meski banyak tahanan yang belum bisa mengganti langkah dan patuh irama, Danton menunjuk beberapa Tonwal sebagai petugas upacara. Selesai apel ada pengumuman tentang apa-apa yang harus mereka kerjakan. Hari itu hari yang cerah di pertengahan bulan Agustus. Dengan suaranya yang lantang Danton mengumumkan semua tahanan mulai hari itu harus bekerja membabat hutan di lembah Waepo di bawah pengawasan ketat Tonwal. Semua tahanan wajib tunduk dan patuh pada perintah Tonwal. Di kamp tidak disedia
Gelombang kedua pembuangan tahanan politik ke Pulau Buru tiba seminggu kemudian. Ada sekitar empat ratus orang lebih tahanan yang di deportasi. Salah satunya Tan Djiman. Seorang wartawan kantor berita Antara yang diciduk karena dituduh terlibat PKI. “Bung Tan, apa yang Bung lakukan di sini?” Pramoedya yang tak sengaja berpapasan dengannya saat hendak melapor terkejut bukan main. “Wah, Pram, kau juga dideportasi ke sini?” lelaki bertubuh tinggi-besar berusia sekitar dua puluh itu balik tanya. Pramoedya tertawa. “Apa yang Bung Tan herankan? Saya ini kan penulis, musuh terbesar pemerintah saat ini.” “Tapi, bukankah kau tidak
Kehidupan di kamp kosentrasi semakin hari semakin tidak tertahankan. Perlakuan dari para penjaga yang tidak manusiawi, ketidaktersediaannya makanan yang layak, dan ancaman berbagai penyakit memicu berbagai konflik di antara sesama tahanan. Perselisihan pun menjadi nyala api yang mendapat bahan bakar dari kesalahpahaman. Pada suatu pagi di tahun kedua, Pak Mantri terserang sakit disentri. Dia terbaring di atas papan, pucat, gemetar dan kejang-kejang. “Mardian, Anakku … bawakanlah Ayahmu setetes minum,” gumamnya. Suaranya yang sendu memancing belas kasihan dan menghantam jiwa Mardian. “Tapi, Ayah…. ” “Anakku, Ayah sangat haus. Tolong … setetes air.”  
Tan Djiman membakar rokok kawung pemberian Sersan Andi dan menyandarkan punggungnya ke dinding barak. Di samping Tan Dijman, Pramoedya menggulung sarungnya yang bergaris-garis dan sudah sangat lusuh. “Di masa ini kita bisa melihat bagaimana perang yang baru saja usai membuat begitu banyak kehancuran. Terutama moral,” kata Pramoedya. “Kita akan dengan mudah menemui orang yang berdiri diam menyaksikan anak-anak yang menangis kelaparan. Mereka bersikap acuh, tidak mau memedulikan orang lain hanya karena tak mau mendapat masalah. Mereka ingin hidup dengan tenang dan aman, meski mereka tahu sebenarnya mereka tak hidup sama sekali. Mereka menganggap menghubungkan hidupnya dengan hidup orang lain akan menghapusnya. Jadi mereka tidak mau melakukannya. Kita sedang berada di dalam krisis moral yang sangat mengerikan.” “Ya, kau benar, Pram. Kau ingat bagaimana dulu Bung Hadi? Dia adalah seorang fanatik agamanya yang sejati. Barulah saat dia ditampar kenyataan oleh temannya, dia
Masalah dengan Darkam muncul di hari ketiga Pak Mantri sakit. Lelaki bertubuh tinggi-besar itu memukuli tetangganya karena merasa terganggu dengan igauan Pak Mantri. Ketika Mardian kembali dari lembah Waepo di suatu sore, dia menemukan ayahnya menangis bagai anak kecil. “Nak, dia memukul Ayah terus!” “Siapa, Ayah?” “Si Darkam yang tinggi-besar itu. Katakan padanya, Nak, agar jangan memukul Ayah. Ayah tidak berbuat salah apa-apa.” Sesuatu terasa menggelegak di dada Mardian. “Ayah jangan khawatir. Aku akan berbicara dengannya dan aku berjanji akan membuat Darkam mengerti. Dia tak akan berani menyentuh Ayah lagi.” “Bica
“Bajingan busuk itu mainnya lama sekali, sih?” Pramoedya mulai geram. “Bagiamana kalau kita seret saja si brengsek itu? Kurang ajar dia membuat kita menunggu selama ini dan jadi santapan nyamuk!” “Aku setuju,” sahut Mardian. “Baiklah, biar aku yang menyeretnya ke sini.” Tan Djiman menawarkan diri. “Biar aku saja,” cegah Pramoedya yang bergegas meloncat pergi. Mardian menoleh pada Tan Djiman. “Lalu bagaimana perempuan itu?” “Itu urusan kami.” Tan Djiman menyalakan rokok mu
Menghilangnya Darkam membuat geger seluruh penghuni barak. Ditambah pengakuan Tan Djiman sebagai orang terakhir yang bersama Darkam. “Darkam pergi dengan seorang wanita. Mungkin gundik salah satu penjaga. Tapi aku tidak tahu ke mana mereka.” Tan Djiman menjelaskan. “Keterlaluan! Si keparat itu isi kepalanya cuma sekalangkangan perempuan.” Yang lain menanggapi. “Tapi, ke mana kira-kira dia pergi? Apa Darkam berhasil melarikan diri dari sini?” sahut penghuni barak yang lain. “Itu tidak mungkin,” kata Tan Djiman. “Sekalipun Darkam berhasil keluar dari kamp busuk ini, dia tidak akan mungkin bisa meninggalkan Pulau Buru.”
Itulah alasan Mardian mau berteman dengan Rohana, gadis kelabu bermata bulat yang ditemuinya di dasar jurang yang rasa tubuhnya melekat di lidah dan tak bisa diludahkan. Satu-satunya teman yang percaya bahwa Darkam hidup kembali dan ingin mencelakainya. “Saya mempercayai Bung seperti saya mempercayai diri saya sendiri,” kata Rohana hari itu. “Jangan khawatir,” sambungnya, “saya tahu Bung sama sekali tidak gila ataupun depresi.” “Kau sungguh-sungguh percaya padaku, soal Darkam itu?” “Saya melihat Darkam sejelas melihat Bung di sini. Bagimana mungkin saya mendustainya?” “Ana, kau