"Jadi bagaimana?" Andre, seorang eksekutif muda berpenampilan flamboyan bertanya dengan penuh percaya diri.
Ini pertemuan ketiga mereka dan Andre menangkap sinyal positif dalam setiap pertemuan sehingga dia sangat yakin kalau perusahaan keluarganya akan keluar sebagai pemenang tender yang diadakan oleh Steam Perfection, sebuah perusahaan rintisan yang bergerak di bidang jasa dengan fokus menyediakan jasa setrika panggilan. Perusahaan rintisan yang masih terbilang baru itu dalam waktu singkat berhasil menancapkan taringnya.
Sang pemiliki dengan jeli berhasil melihat apa yang menjadi kebutuhan para penduduk ibukota. Jika mencuci baju bukan lagi masalah karena dapat dikerjakan oleh mesin cuci, lain cerita dengan menyetrika. Hanya dalam waktu tiga tahun Steam Perfection sudah mendapat suntikan dana dari investor dalam dan luar negeri dalam jumlah sangat besar.
"Saya yakin apa yang ditawarkan oleh perusahaan kami merupakan penawaran terbaik," Andre menegakkan punggung dan berucap dengan nada dominan.
"Benar. Harga yang perusahaan Anda tawarkan merupakan penawaran terbaik."
"Tentu saja," senyum penuh percaya diri mengembang, "Tidak hanya itu. Kami juga menawarkan banyak bonus," sekarang kuluman senyumnya seakan menyimpan rahasia, "Untuk Stream Perfection juga untuk Ibu Nia selaku COO dari Steam Perfection juga CEO kalian."
Wanita yang menjawab sebagai COO atau Chief Operating Officer Steam Perfection itu tersenyum. Bukan karena dia senang mendengar tawaran Andre tetapi karena apa yang dilakukan oleh Andre benar-benar sesuai dengan apa yang sudah diprediksikan oleh atasannya, CEO sekaligus pemilik Steam Perfection.
"Sayangnya Pak Andre," rasanya sudah waktunya untuk menjatuhka bom yang sejak tadi disimpan oleh wanita itu dengan rapat, "Sepertinya Steam Perfection untuk saat ini belum dapat bekerja sama dengan perusahaan Bapak."
Rasa percaya diri Andre sempurna menguap. Dia sama sekali tidak menduga kalau akan mendapat penolakan.
"Ta-tapi kenapa? Ini meeting ketiga kita dan saya rasa tidak ada yang salah. Penawaran yang kami berikan itu penawaran terbaik. Anda sendiri yang mengakuinya tadi."
"Benar," Nia mengangguk, "Penawaran yang Anda berikan adalah penawaran terbaik yang kami dapatkan. Tapi tentu saja pertimbangan kami tidak hanya berdasarkan penawaran itu saja."
"Apa yang menjadi pertimbangan lainnya?!" Suara pria itu meninggi.
"Salah satunya integritas. Apa yang Anda tawarkan beberapa saat lalu membuktikan kalau integritas Anda tidak sesuai dengan perusahaan kami."
"MAKSUD KAMU APA?!" Persetan dengan citra diri. Jika dia tidak mendapatkan tender ini maka mimpinya menjadi pengganti sang ayah tidak akan pernah menjadi kenyataan.
"Maaf," Nia bangkit dari duduknya dengan anggun, "Tapi untuk saat ini kami tidak dapat bekerja sama dengan perusahaan Anda."
"Berita tahu saya alasannya!" Andre masih menuntut, "Saya harus tahu kalau keputusan itu tidak berat sebelah atau semacamnya!"
"Maaf tapi itu sudah menjadi keputusan kami."
"Kalau keputusan itu diambil secara fair pasti perusahaan saya yang akan kalian pilih! Ini tidak mungkin! Perusahaan kami sudah memberikan harga terbaik. Jauh lebih rendah dibanding perusahaan lain. Saya yakin!"
"Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, Pak Andre. Keputusan itu tudak hanya berdasarkan angka yang ditawarkan. Ada banyak pertimbangannya."
"Apa? Apa yang menjadi pertimbangan kalian?!" Pria itu seakan menantang lawan bicaranya, "Jelas pertimbangan atau apapun yang kalian lakukan itu tidak fair!"
Tepat ketika Andre selesai berteriak, pintu ruang meeting yang mereka gunakan terbuka disusul sosok seorang pria bertubuh tinggi berjalan masuk dengan langkah penuh keyakinan.
"Pak Baskara," Nia langsung menyambut kedatangan pria itu dengan ramah, "Kok nggak bilang kalau mau join meeting ini?"
"Kebetulan lewat," pria yang disapa dengan nama Baskara itu menjawab singkat sambil menatap Andre, "Terus dengar keributan. Ada masalah?"
"Ada!" Andre membalas tatapan pria yang baru bergabung bersama mereka dengan tatapan menantang, "Anda siapa?"
Bukannya menjawab, Baskara malah terkekeh, "Anda ingin bekerja sama dengan perusahaan kami tapi tidak melakukan riset terlebih dulu?"
"Apa maksud ucapan Anda?!"
Baskara tersenyum mengejek, "Saya CEO dan pemilik Steam Perfection. Keputusan saya juga untuk tidak bekerja sama dengan perusahaan Anda."
"Ta-tapi kenapa?" Dia sudah salah langkah dengan merendahkan pria itu. Sekarang tidak ada yang dapat dilakukannya. Tender ini sudah tidak mungkin dimenangkan oleh perusahaannya.
"Karena hidup memang sering kali tidak adil," Baskara mengucapkannya sambil tersenyum, "Bukankah itu yang dulu sering Anda dan teman-teman Anda ucapkan setiap kali merundung saya di SMA?"
Siapa tadi nama pria ini? Baskara?
Apakah mungkin dia... Baskara teman SMA yang dulu selalu dikerjainnya? Tapi... tidak mungkin gembel itu bisa menjadi pemilik perusahaan rintisan sebesar ini. Tidak mungkin!
"Steam Perfection tidak akan pernah bekerja sama dengan perusahaan Anda," Baskara mengucapkan itu masih sambil tersenyum, "Silakan Anda pulang dan mengadu kepada orang tua Anda. Bukankah dari dulu hanya itu yang dapat Anda lakukan?"
"Ka-kamu...Baskara?!"
Baskara bukan seorang ekstrovert. Dia selalu menghindari kegiatan bersosialisasi dan lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan buku atau belajar coding. Jika dia memiliki pilihan untuk tidak hadir, dapat dipastikan dia akan selalu memilih opsi itu. Begitu juga dengan reuni SMA yang diadakan oleh teman-teman sekelasnya hari ini. Selain karena tidak suka bersosialisasi, masa SMA juga bukan kenangan yang menyenangkan bagi pria yang tahun ini berulang tahun ketiga puluh. Memiliki latar belakang ekonomi yang berbeda dengan teman-teman sekolah ditambah statusnya sebagai siswa beasiswa membuat tiga tahun di SMA terasa begitu mengerikan. Seandainya bisa dia ingin mengubur seluruh kenangan yang terkait dengan masa SAM dan tidak pernah mengingatnya lagi. Tetapi percakapannya dengan Gala, sahabatnya sejak SMA, membuat Baskara berubah pikiran. *** "Gila, sih, ini!" Terdengar tawa Gala dari sambungan telepon, "Lo pernah bayangin nggak kalau suatu hari lo bakalan ada di posisi tadi?" "Nggak
"Siapa?" Sandra yang dulu merupakan siswa tercantik di kelas mereka langsung berbalik dan memincingkan mata agar sosok yang berdiri di depan pintu ruang makan VIP semakin jelas terlihat. "Memangnya ada teman sekelas kita yang gantengnya kebangetan kayak gitu?" Yang lain menimpali dengan penuh rasa penasaran. "Duh, tahu begitu aku nggak buru-buru nikah, deh," Adrianna berkomentar dengan nada kenes. Seruan dan komentar bernada serupa riuh dilontarkan oleh para wanita yang ada di ruang makan VIP. Tidak seorang pun dari mereka mengenali siapa pria yang berdiri di ambang pintu dengan begitu gagah dan penuh rasa percaya diri. Berbanding terbalik dengan para wanita, pria yang berada di ruang makan VIP malah menyerukan komentar-komentar bernada miring walau masih bercampur dengan rasa penasaran. Tidak seorang pun memiliki dugaan siapa yang pria yang baru saja bergabung dengan mereka. "Maaf, tapi ini merupakan acara khusus untuk... " Ucapan Andre yang berjalan menghampiri pria itu men
"Woi, Sampah! Masih berani lo nunjukin muka? Tebel banget, sih itu muka!" Teriakan Riza menyapa telinga Baskara yang baru saja melewati parkiran SMA Insan Harapan. "Udah nggak sabar main bareng kita?" Andre bertanya dengan nada penuh penghinaan. Jangan salah paham, main yang dimaksud oleh laki-laki itu bukan benar-benar main melainkan perundungan di mana mereka menjadikan Baskara sebagai samsak atau asbak tempat mematikan puntung rokok mereka. "Kalian masih belumn puas menghina aku?" Biasanya Baskara memilih untuk tidak mengacuhkan mereka tetapi hari ini moodnya sedang tidak baik hingga dia memilih menanggapi sekaligus meluapkan emosinya. Sontak Andre, Riza dan genk mereka terbahak. Pertanyaan Baskara terdengar aneh di telinga mereka. Andre berjalan dengan santai hingga hanya rumpun tanaman yang menjadi pembatas di antara mereka, "Heh Sampah, gue kasih tahu sesuatu, gue nggak pernah ngehina lo. Itu kenyataan. Di sini lo cuma sampah! Sampai kapanpun lo bakalan tetap jadi sampah.
"Lho? Gue nggak ditungguin?" Gala yang baru memasuki ruang makan VIP disambut dengan tatapan beberapa temannya sementara yang lain masih penasaran dengan kartu kredit yang dimiliki oleh Baskara. Bagaimana mungkin seorang miskin seperti Baskara dapat memiliki kartu yang hanya dimiliki oleh segelintir orang. Apakah benar pria itu sudah sesukses itu? Rasanya sulit untuk membayangkan. Bukan. Teman-temannya bukan sulit untuk membayangkan kalau itu mungkin terjadi. Tetapi mereka sulit untuk mengakuinya. Berat mengakui kesuksesan orang lain jika mereka jauh lebih sukses. "Beuh! Pasti karena Baskara, ya? Kalian langsung lupa sama gue?" Gala langsung berjalan dan menduduki salah satu kursi yang tidak terisi. Entah siapa tertawa kecil, "Nggak nyangka lo berhasil ngerayu Baskara buat datang." "Tuh, Bas, lo denger sendiri? Mereka penasaran sama lo," tanpa rasa bersalah karena sudah terlambat datang pria itu mulai menikmati hidangan yang ada. "Gimana kita nggak penasaran? Lo tahu sendir
"Lo lihat mukanya anak mami itu?" Gala masih terbahak bahkan setelah lima belas menit mereka meninggalkan parkiran restoran kelas atas itu. Dia datang diantar oleh supir kantor. Tidak ingin supernya lembur, Gala memutuskan untuk menyuruh supirnya segera kembali setelah menurunkannya di restoran. Tentu saja Baskara tidak keberatan jika harus mengantarkan sahabatnya pulang. "Gue kira dia bakalan ngamuk sampai lempar-lempar barang. Ternyata dia udah lebih dewasa dari dulu." "Dewasa dari mana?" Dia terbahak, "Gengsi aja dia depan anak-anak." "Bisa jadi," Baskara mempercepat laju kendaraan ketika melihat jalan raya cukup lenggang. "Akhirnya lo mau juga beli mobil mahal," Gala mengusap dengan hati-hati interior Audi RS E-Tron milik sahabatnya. "Nggak beli gue. Kalau beli sendiri mending gue beli mobil lain. Nggak usah yang mahal begini." "Dikasih siapa?" "Investor. Katanya ini mobil operasional gitu," Baskara berdecak, "Waktu dia bilang mobil operasional gue mikirnya van atau s
Menjelang tengah malam baru Baskara tiba di kontrakannya. Rencananya dia hanya mengantarkan sahabatnya ke rumah orang tuanya. Tetapi ketika Ghaida mengetahui kalau Baskara yang berada di balik kemudi, wanita paruh baya itu meminta untuk mampir. Baskara tentu tidak memiliki pilihan selain menuruti keinginan ibu dari sahabatnya. Dia melepaskan jaket kemudian menyampirkannya dengan sembarangan di sandaran sofa. Kontrakannya terlihat seperti kapal pecah. Baskara adalah orang yang apik. Dia paling tidak suka jika barang terletak tidak pada tempatnya. Kali ini dia harus berkompromi karena sedang bersiap untuk pindah. Kontrakan ini penuh dengan kenangan. Kontrakan sederhana yang terletak di gang sempit ini adalah tempat pertama yang dapat disebutnya rumah. Sebelumnya dia dan ibu hanya mampu menyewa kamar berukuran kecil untuk berteduh. Baru ketika Baskara kuliah di luar negeri dengan beasiswa penuh mereka dapat pindah ke kontrakan sederhana ini. Baskara mengummpulkan setiap sen penghasila
"Kamu nggak apa-apa?" Suara seorang gadis yang bertanya dengan hati-hati memaksa Baskara membuka mata. Emosinya masih bergejolak setelah Andre dan genknya merusak buku catatan pelajaran miliknya. "Ya," akhirnya dia menjawab singkat. "Ya itu berarti kamu nggak apa-apa atau kamu apa-apa?" Untuk pertama kalinya dia menyadari gadis yang berdiri di hadapannya dengan sedikit menunduk itu memiliki bola mata yang besar seperti boneka. Menggemaskan. "Aku nggak apa-apa." Gadis itu mengangguk, "Kamu nggak pintar bohong." "Maksud kamu apa?" Suaranya meninggi. Dituduh berbohong tidak pernah menyenangkan. Terlebih ketika tertangkap basah melakukannya seperti sekarang. "Kamu bilang kamu nggak apa-apa," dia tersenyum kecil, "Tapi muka kamu bilang sebaliknya." Kali ini Baskara memilih untuk tidak menjawab. Dia berharap gadis itu paham kalau saat ini dia tidak sedang ingin berbicara dengan siapa pun. Sayangnya, harapan Baskara jauh panggang dari api. Dengan santai gadis itu duduk di samping B
Seperti biasa, Baskara sudah berada di ruangannya sejak pukul tujuh pagi. Dia sudah selesai mengecek jadwal yang dikirimkan oleh Anya, asisten pribadinya, juga menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tersisa kemarin. Sekarang dia sedang memeriksa surel dan memastikan tidak ada surel penting yang terlewat olehnya. Dia sudah hampir selesai ketika notifikasi dari salah satu penyedia layanan cloud yang digunakan olehnya muncul di sudut layar. Bukan notifikasi penting. Hanya pengingat memori yang terjadi tanggal ini di tahun-tahun yang sudah berlalu. Biasanya dia akan mengabaikan tetapi pagi ini entah mengapa dia memilik untuk mengkliknya. Tidak perlu menunggu lama layar iMac yang digunakannya dipenuhi sebuah foto. Foto Baskara bersama Gala dan... Aruna. Foto itu diambil beberapa minggu sebelum Baskara putus dengan Aruna. Bukan foto yang istimewa. Aruna yang memang suka fotografi itu selalu membawa kamera. Gadis itu seakan terobsesi untuk mengabadikan setiap momen dalam hidupnya. Mereka