Share

Aku Cinta Ibu

~ 9 Juli 2019

“Belum tidur, Nak?”

Silla mengintip kamar Ana yang tampak gelap dengan suhu AC yang cukup rendah ia rasakan. Ana tidur dengan membelakangi pintu masuk kamar. Silla menaiki kasur, duduk di sebelah Ana yang tampak tertidur itu tangannya memebelai kepala Putri tercintanya. Gumaman yang membentuk alunan lagu Silla suarakan sambil bernostalgia Ana-nya yang dirasa baru kemarin ia timang, sekarang sudah besar, dan memiliki pemikiran sendiri yang sangat tajam. Ana tumbuh menjadi anak yang cerdas.

“Nak, apa yang kamu tidak suka dari Mama Nita?” tanya Silla membuka suara, berbicara sendiri. Ia tidak tahu pasti Ana sudah tertidur atau tidak, ia berharap Ana mendengarnya.

“Apa Ibu boleh meminta sesuatu? Tolong jangan membenci Mama Nita. Kalau kamu mau tahu, dia wanita yang sangat baik. Ibu percaya dia bisa menjadi Ibu yang baik juga untukmu.” Silla mengatakannya dengan berbisik sangat lembut, namun dengan heningnya malam jadi terdengar jelas.

“Ibu juga tidak mengenalnya, tapi Ibu percaya padanya. Apapun yang terjadi pada Ibu, jangan salahkan dia. Semua tidakannya pasti ada alasan, dan itu yang terbaik untukmu.”

“Ibu berharap, kamu selalu mendapat kasih sayang dan cinta dari orang tua yang lengkap, Nak. Sampai kamu bertemu dengan seseorang yang benar-benar bisa mencintaimu apa adanya dengan tulus.” Kini pelupuk mata Silla sudah penuh hingga sekali kedip saja butiran air keluar tidak dapat ditahan lagi. Semua kenangan konsep keluarga bahagia impiannya sudah berlalu, ia tidak ingin kebahagiaan Ana berhenti sampai sini juga.

“Kalau kamu tanya apa ibu mencintai Ayahmu atau tidak, dan kenapa Ibu membiarkan Ayahmu menikah kedua kalinya? Tentu saja iya, Ibu sangat mencintai ayahmu, termasuk segala kekurangannya. Di mata Ibu, apa yang menjadi keputusan Ayahmu tidak ada yang salah, Ibu bahkan akan memberikan apapun untuknya. Tapi tetap, masih ada yang Ibu tidak bisa berikan, bahkan cinta Ibu tidak cukup untuk mengabulkan permintaan Ayahmu itu. Hal itu adalah rasa cinta Ayahmu itu sendiri. Ayahmu orang yang baik, namun tidak pernah sekalipun ia mencintai Ibu. Dan untuk menutupi kekurangan Ibu itu ... Ibu mengizinkan pernikahan kedua Ayahmu ini. Pernikahan kepada wanita yang Ayahmu cintai.”

“Ingat, Nak. Ayahmu sangat menyayangimu.”

“Ibu harap kamu dicintai seseorang, seperti Dewa Hymen, yang akan memberikan segalanya untukmu. Agar kamu tidak sendirian mengorbankan apapun untuk kebagaiannya termasuk kebahagiaanmu sendiri. Karena Ibu tahu, kamu anak berhati lembut yang bisa menerima semua kekurangan dari orang yang kamu cintai kelak. Ibu berharap kalian bisa saling melengkapi, bukan menutupi.”

Merasa cukup, Silla menarik selimut untuk Ana sampai menutupi tubuhnya. Lalu mengecup kening Ana dangan sayang, dan pergi dari kamar Ana perlahan. Ia berharap jika Ana sudah tertidur dan tidak akan terbagun karena ulahnya.

Di pastikan pintu kamar sudah tertutup rapat, Ana terduduk memukul-mukul dadanya yang menahan sesak sedari tadi. Hatinya sakit, sakit yang tidak bisa ia ketahui letak lukanya. Air mata Ana terus mengalir sambil mulut yang ia sumpal sendiri dengan selimutnya. Ana tidak ingin Ibunya mendengar dirinya menangis, ia membiarkan Ibunya berpikir jika dirinya sudah tertidur.

Sejak Ibu masuk ke kamar Ana, ia belum benar-benar tertidur dan mendengar semua yang dikatakan ibunya. Mati-matian Ana menahan diri untuk tetap pada posisi tidurnya agar Ibunya tidak curiga. Jika ia tidak pura-pura tertidur, mungkin Ibunya tidak akan mengatakan hal yang lebih jujur dari saat ini.

“Aku cinta Ibu”

15 Oktober 2020

Mata cokelat Ana berkedip-kedip menyesuaikan cahaya di kamarnya. Kepalanya langsung mengarah pada jam dinding yang menunjukkan pukul setengah lima pagi. Dengan kepala yang masih pusing, tubuhnya yang lemas mendudukkan diri mengumpulkan kesadarannya.

Tak lama Ana bangkit menuju meja belajarnya, membuka laptop dan buku catatan. Daftar panggilan telepon, beserta isi percapakan tersusun rapih untuk hal yang dikerjakan anak SMA. Satu nomer anonim, yang sulit dilacak dan diketahui pemiliki nomornya. Namun, isi percakapan itu berhasil membangkitkan kecurigaan Ana yang ada sangat dalam.

“Satu minggu lagi.” Ana menandai tanggal 22 Okterober 2020, “Ternyata selama ini Ayah hanya menumpang tinggal pada Ibu. Perusahaan yang Ayah pimpin pun adalah salah satu cabang perusahaan milik keluarga Ibu. Lalu hak waris itu ... Aku harus mencari tahu lebih dulu sebelum dibodohi mereka. Ini bukan masalah hartanya, tapi mereka terlihat sangat bahagia setelah kepergian Ibu? Hahaha ... indah sekali hidup mereka.”

Ana sangat marah melihat drama happy ending sebuah keluarga yang bahkan hidup menumpang di atas papan nisan seseorang. Hanya Ana yang masih merasakan kehilangan, dan mereka sudah menciptakan keluarga kecil bahagia seperti di negeri dongeng.

Ana tidak bisa membiarkan satu persen pun harta warisan Ibunya melengkapi kebahagiaan keluaga yang sudah berbahagia itu. Keluarga lain dari Ayah Ana yang mengkhianati Ibunya.

Bermodal ponsel mendiang Ibunya, Ana mencoba mencari titik terang kejadian yang Ana tidak ketahui sebelum Ibunya menginggal. Ana menduga jika Nita memiliki hubungan dengan penyakit Ibunya yang disembunyikan. Dan semua drama pengobatan Ibu Ana di German juga termasuk rencana Nita, tentu saja untuk menjauhkan Ibu Ana dari Ana dan Suaminya.

Asumsi itu bukan hanya tuduhan tidak berdasar. Ana pernah mendengar sendiri percakapan Nita di sebuah telepon saat hari pemakaman Ibunya.

"Selalu ...." Ana meremas kerah baju tidur yang dikenakannya, mengingat hari itu membuat hatinya menjadi sakit. "Ibu ...."

~ 4 September 2019

Ana tidak bisa mengungkapkan rasa penyesalannya yang sangat mendalam. Perlakuannya pada Ibunya terakhir, sangatlah tidak mengenakkan. Ana terlalu sibuk menentang pernikahan kedua Ayahnya hingga melupakan perhatian sang Ibu.

Ana menangis sejadi-jadinya dengan isakan yang keras menambah rasa sakit di dadanya. Kesedihannya bertambah melihat tubuh yang sudah berbaring kaku menunggu waktu pemakaman. Ia sudah tidak kuat, kakinya terasa lemas dengan kepala yang mulai berkunang-kunang.

Ana pergi ke suatu ruangan berusaha menenangkan diri, walau itu hanya membuang waktu di hari terakhir ia bisa melihat wajah Ibunya yang sudah tidak bernyawa. Bagaimanapun Ana hanyalah gadis berusia 17 tahun. Di tengah kesedihannya, amarah dan penyesalan terus berkecamuk dalam hati kecilnya.

”Iya atas nama Silla Hanida.”

Deg! Suara ini ....

Suara Ibu tirinya, istri kedua Ayahnya, Nita.

Bersembunyi di sudut ruangan yang tidak mungkin ada orang yang mengetahuinya. Ana jadi terdiam di tempat yang tertutup tumpukan kardus. Dan tidak sengaja ia mendengar sesuatu yang mengejutkan. Ibu tirinya mengaku sebagai Ibu kandung Ana.

Mendengar sesuatu yang membuatnya penasaran, karena bersangkutan dengan Ibunya. Ana berusaha membekap mulutnya sendiri agar tidak mengeluarkan suara sedikitpun.

“Saya sudah melakukan yang terbaik, tapi wanita itu yang memilih untuk mengakhiri hidupnya.”

.........

“Anak itu sedikit keras kepala, tapi jika seperti ini sulit untuk mengalihkan hak waris. Apa tidak ada cara lain?”

.........

“Belum waktunya. Anak itu bahkan belum di usia dewasa, kita akan mendapatkan tanda tangannya jika dapat merebut hatinya.”

..........

“Kita pertahankan seperti ini dulu, selama mungkin dan sebisa mungkin.”

.........

“Tenang saja, tidak ada yang tahu. Hanya Silla yang memiliki nomer itu. Kita bahas lagi lain kali.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status