LOGINTiara duduk membeku di samping Daniel yang menjalankan kuda besi berwarna hitam mengkilat sambil menahan rasa kesal.
"Tiara."
"Ya, Pak David," jawab Tiara ramah.
Daniel seketika melihat ke arah Tiara, melayangkan protesnya dalam diam karena Tiara menjawab panggilan David dengan begitu lembut.
"Apakah besok malam minggu kamu ada kencan?"
"Ada!" jawab Daniel secara reflek. Ia tidak akan pernah mengijinkan pria mana pun menghabiskan waktu bersama Tiara. Waktu Tiara hanya untuknya, tidak boleh dibagi dengan yang lain.
"Cih! Aku bertanya pada Tiara, bukan padamu!"
"Memang kenyataannya begitu. Lebih baik aku memberitahumu lebih awal daripada kamu kecewa nantinya."
"Bukannya malam minggu adalah waktu untukmu dan Puspita menghabiskan waktu bersama? Mengapa kamu justru pergi bersama Tiara?" David bersikap pura-pura bodoh. Sebenarnya, ia sudah tahu dari dulu jika Daniel sudah tidak lagi menyimpan perasaan pada Puspita.
Cinta Daniel pada Puspita, istrinya sudah tidak ada lagi. Perasaan itu sudah mati. Berkali-kali Daniel harus menjelaskan soal keinginannya untuk bercerai dari Puspita. Namun, orang tuanya tidak setuju. Mereka terus saja meminta Daniel untuk berpikir ulang soal keinginannya itu. Berbagai nasihat diberikan pada Daniel, tapi tekad Daniel sudah bulat untuk menceraikan Puspita, hingga akhirnya, dua bulan yang lalu ia menjatuhkan talak pada Puspita dan mendaftarkan perceraiannya ke pengadilan.
"Jangan pura-pura tidak tahu! Aku sudah mengatakan pada kalian dan aku serius dengan hal itu."
David menghela napas. "Baiklah. Aku hanya meyakinkanmu saja. Jangan sampai kamu salah mengambil keputusan!"
"Harusnya kamu katakan hal itu padanya, bukan padaku. Aku sudah membernya begitu banyak kesempatan tapi sepertinya, aku sudah menjadi yang ke sekian dalam hidupnya. Lalu, jika sudah demikian, untuk apa aku berada di dekatnya?"
David terdiam. Apa yang dikatakan Daniel tidak salah. David sendiri sudah beberapa kali bertemu dengan Puspita ketika istri sepupunya berlibur di luar negeri. Dua kali bertemu kala Puspita sedang bermain ski bersama teman-temannya, di negara dengan banyak pegunungan es dan sekali waktu saat dirinya sedang meeting di negara menara miring.
"Oke. Aku mengerti! Jika keputusan kamu ini memang sudah kamu pikirkan dengan sangat matang, dan kamu sendiri sudah siap dengan segala konsekuensinya, ya sudah. Bagaimanapun, ini adalah kehidupan kamu. Kamu tetaplah aktor utama dalam kehidupan kamu sendiri. Lakukanlah semua hal yang membuatmu nyaman dan membuat hidupmu lebih hidup dan bersemangat."
Sedikit percakapan itu ternyata mampu mencairkan ketegangan. Tiara akhirnya dapat bernapas lega.
"Kita mampir dulu ke rumah mama." Daniel membelokkan mobilnya ke jalan yang menuju kediaman rumah orang tuanya.
"Aku ingin cepat-cepat memeluk guling. Badanku sudah sangat lelah." David menguap berulang kali.
Kedatangannya kali ini untuk memenuhi permintaan Minarti, membujuk Daniel agar bersedia membatalkan perceraiannya dengan Puspita. Selain itu, David ingin rehat sejenak dari rutinitasnya, barang satu-dua minggu.
"Dipijat saja, Pak." Usulan Tiara langsung mendapat sambutan dari David.
"Betul. Dipijat. Tapi, aku maunya tukang pijatnya kamu, Tia. Bagaimana?" goda David sambil menaik-turunkan alis kanannya.
Swing! Kotak tisu berhasil mengenai kening David.
"Bicara sembarangan lagi, aku akan me-lakban bibirmu!" Daniel terlihat tidak suka. Tiara adalah miliknya. Tidak ada yang boleh menggodanya selain Daniel White.
"Tuh'Tia! Calon suami kamu kejam sekali. Aku khawatir, jika kamu benar-benar jadi menikah dengannya, apa yang akan terjadi dengan wajah cantikmu?"
Tiara mendengus kesal. "Menikah apa sih, Pak? Istri Pak Daniel ada di rumahnya. Bukan di sini." Tiara terus berusaha menganulir setiap kalimat yang mengarah ke pembicaraan mengenai perasaan Daniel kepadanya.
"Betulkah? Lalu. buket-buket bunga yang ada di atas meja kerja kamu dari siapa?" tanya David penuh selidik. Ada rasa tidak rela jika sampai Tiara berjodoh dengan orang lain, bukan dengan sepupunya.
"Itu - Buket itu salah sasaran, Pak. Bukan untuk saya," tegas Tiara.
Tiara harus menghentikan semua omong kosong ini. Jika tidak sekarang, maka semua orang akan menganggap berita ini benar. Bahwa dirinya dan Daniel telah menjalin hubungan khusus. Jika sampai ini terjadi, maka nama baiknya bisa tercoreng. Dirinya akan dikenal orang sebagai seorang pelakor, bukan sebagai asisten pribadi yang berkompeten dan teruji.
"Benarkah?" tanya David tidak percaya. Setahunya, hanya ada satu yang bernama Tiara di kantor Daniel. Tidak ada Tiara yang lain.
Lama kelamaan Daniel tidak dapat menahan diri lagi. "Buket itu dari aku. Aku sengaja mengirimkan kepada Tiara, asisten pribadiku," ungkapnya jujur. Wajahnya sangat serius.
Tiara langsung membekap mulutnya sendiri. Ia tidak menyangka jika Daniel akan begitu jujur mengatakan pengirim buket-buket itu adalah dirinya sendiri. Rasa panas mulai menjalar ke seluruh wajah Tiara. Ia merasa sangat malu.
David langsung tertawa terbahak-bahak. Ia tidak mengira jika sepupunya itu benar-benar telah jatuh cinta pada Tiara, asisten pribadinya sendiri. Ia tidak dapat membayangkan bagaimana reaksi kedua orang tua Daniel, Michael White dan Minarti. Akankah keduanya menerimaTiara dengan tangan terbuka, atau justru membenci Tiara karena menganggap Tiara sebagai orang ketiga dalam rumah tangga Daniel dan Puspita?
David mendadak menghentkan tawanya. "Niel! Kamu benar-benar serius dengan niat kamu itu?"
Tiara menjadi jengah sendiri. Bagaimana bisa mereka membicarakan orang, sedangkan orang tersebut duduk bersama-sama mereka?
"Pak! Saya turun di sini saja. Ada sesuatu yang harus saya beli. Bapak berdua bisa melanjutkan perjalanan."
Baik Daniel maupun David langsung menatap ke arah Tiara. Mereka baru sadar jika gadis yang menjadi bahan obrolan mereka, ada bersama mereka. David menjadi salah tingkah, dan Daniel tidak dapat menutupi rasa bersalahnya.
Daniel langsung menggeleng tidak setuju. "Aku akan mengantarmu lebih dulu."
David menganggukkan kepalanya tanda setuju. Suasana mobil menjadi hening. Tidak ada lagi yang berbicara, hingga akhirnya mobil sedan panjang itu berhenti di depan sebuah rumah tipe empat lima yang tertata sangat rapi dan asri.
Tiara buru-buru membuka pintu lalu keluar dengan cepat. "Terima kasih tumpangannya, Pak."
Daniel hanya mengangguk lalu kembali menjalankan mesin mobilnya. Ia menjalankan mesin mobil dengan pelan sambil memperhatkan sosok Tiara yang perlahan berjalan melintasi halaman rumah hingga sosok Tiara menghilang, masuk ke dalam rumah.
Daniel menghentikan mobilnya. "Aku bukan sopirmu!"
Mendengar kode dari Daniel, David buru-buru pindah ke depan. Mobil kemudian kembali berjalan perlahan meninggalkan rumah Tiara.
"Aku hanya merasa sedikit khawatir. Akankah om dan tante menerima Tiara? Ingat Daniel, hubungan Puspita dengan mama kamu cukup baik. Aku takut jika Puspita akan mempengaruhi tante, lalu mengatakan hal yang tidak-tidak tentang Tiara."
"Apakah itu berarti lamaranku diterima?"Tiara menggeleng. "Tidak. Saya tidak pantas."Daniel mendengus. Ia menghembuskan napas dengan kasar. "Berarti, apa yang aku lakukan tadi belum bisa meyakinkan dirimu jika kamu sangat pantas untuk bersanding denganku?"Tiara bergeming. Daniel melepas dasinya. Ia membuka tiga kancing atas kemejanya dan menggulung lengan kemejanya hingga siku. "Baik. Sepertinya, kamu memang menginginkan bukti yang lebih nyata. Dan, jangan pernah salahkan aku, Tiara. Kamu yang meminta. Aku hanya memenuhi permintaanmu."Daniel mengikis jaraknya dengan Tiara. Ia menangkup pipi Tiara, lalu melabuhkan kecupan kasar ke bibir Tiara. Ia melampiaskan kekesalannya karena Tiara masih menolak niat baiknya."Hmmmph!" Tiara meronta. Ia memukul dada Daniel berulang kali dengan keras, meminta pria itu melepaskan bibirnya dan segera menjauh darinya."Bukankah ini yang kamu inginkah? Kamu ingin pembuktian jika kamu sangat pantas untuk menjadi istriku, bukan?" Daniel mulai bertind
Tiara langsung mengangkat kepalanya. Ia paham tapi tidak paham dengan yang didengarnya barusan. 'Mengenalkanmu sebagai istriku?' Lelucon apalagi ini? "Pak?" Tiara menuntut penjelasan."Aku tidak perlu mengulangi lagi perkataanku. Apa yang kamu dengar adalah apa yang aku ucapkan. Dan - ..." Daniel berhenti sejenak, menatap Tiara, mengamati wajah cantik yang beberapa hari ini tidak dapat ia pandangi dengan puas, yang terkejut mendengar ucapannya."Dan sebagai wanita dewasa yang sangat cerdas, aku sangat tahu kamu paham dengan yang aku maksud. Jadi, tidak akan ada kalimat penjelas yang mengikutinya setelah ini," lanjut Daniel.Batin Tiara sontak berteriak. Tangannya mengepal. Emosi yang beberapa hari ini tidak muncul, kini kembali menggelegak. Ia membuang napasnya dengan kasar."Kalau begitu - ...." Tiara menatap Daniel dengan dingin. "Jika kamu hendak menyinggung lagi soal pengunduran diri, maka aku tidak akan mendengarkannya. Opsi itu tidak pernah ada dalam kamusku." Daniel memotong k
Tiara diam seribu bahasa tatkala kedua orang tuanya mengantarkan kepergiannya sore itu. Lambaian tangan perpisahan dari Yanti dan Lukman, diabaikannya, sebagai bentuk protes atas pengusiran dirinya dari rumah masa kecilnya."Ibu akan sangat bahagia jika kamu bersedia mendengarkan perkataan ibu dan ayah. Ini bukan untuk kami, tapi ini semua akan kembali kepada dirimu sendiri. Hal yang besar tidak akan dapat diperoleh tanpa pengorbanan dan usaha yang besar pula. Jagalah diri baik-baik. Ibu dan ayah menitipkan kamu pada Daniel dan David. Mereka akan menjagamu."Kalimat pengantar tidur yang diucapkan Yanti, disaksikan dan didengarkan oleh dua sepupu yang bagi Tiara sangat menyebalkan itu, telah menjadi keputusan mutlak untuknya.Tiara kembali ke kota A, bersama Daniel dan David. Ia akan kembali bekerja di posisinya semula. Tidak ada yang dapat mengganti posisi Tiara, karena posisi itu dibuka oleh Daniel hanya untuk Tiara.Keesokan harinyaTiara datang bersama Daniel yang menjemputnya set
"Apa sebenarnya tujuan kalian? Mengapa selalu saja mengganggu saya?" teriak Tiara penuh amarah. Ia sudah tidak dapat menahan emosinya. Kekesalan yang selama ini ia pendam, meluap sudah. Ia tidak peduli sedang ada di ruang publik. Yang ada di benaknya saat ini hanya bagaimana ia meluapkan semua amarahnya."Tia - ..." Daniel terkejut dan ternganga. Ia sama sekali tidak menduga Tiara akan bereaksi seperti ini. Wajah gadis itu merah padam. Tidak seperti biasanya. Tiara yang tengah berdiri di depannya tampak seperti orang lain bagi Daniel."Tolong lepaskan saya, Pak! Biarkan saya dengan kehidupan saya sendiri," ucap Tiara putus asa. David segera mendekati Tiara. Ia menuntun gadis itu masuk ke sebuah restoran yang kebetulan berada di samping toko buku."Ssst. Kita bicarakan baik-baik. Kita bicarakan baik-baik. Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Ayo, kita duduk di sana saja." David menuntun Tiara yang mengikutinya dalam diam. Tiara tidak menolak kedatangan David. Sepertinya, am
David dan Daniel berdiri imematung sambil menempelkan badan mereka ke dinding. Niat untuk berpamitan pada Lukman dan Yanti urung mereka lakukan, setelah mendengar percakapan antara Yanti dan Lukman.Melihat Tiara yang berjalan keluar dari dapur melewati ruang makan membuat kedua sepupu itu bergerak cepat mencari persembunyian sementara agar tidak terlihat Tiara.Setelah Tiara lewat dan duduk di ruang tamu bersama kedua orang tuanya, Daniel dan David kembali ke tempat mereka semula, menempel pada dinding antara ruang tamu dan ruang makan.Pembicaraan di ruang tamu ternyata cukup menyita perhatian Daniel. Ia seperti mendapat angin segar mendengar pendapat Yanti. Ada harapan yang terbit kembali, dan membuat migrain Daniel berangsur hilang.Sedangkan David mendengar dengan harap-harap cemas. Cemas karena takut ketahuan menguping pembicaraan mereka. Namun, untuk pergi meninggalkan tempat itu, ia merasa sayang.Di antara wajah masam Tiara saat Lukman dan Yanti berbicara, ada wajah Daniel yan
"Belum?" ulang David putus asa. "Mengapa? Mengapa belum selesai?"Daniel hanya diam. "Belum waktunya aku mengatakan itu semua.""Tsk. C'mon. Daniel! Sampai kapan kita ada di sini? Bagaimana dengan perusahaan? Apa tidak mungkin operasional perusahaan akan kacau?" Justru David yang merasa frustasi. Ia menjadi gemas dan geregetan melihat Daniel."Aku sudah memberi ancaman pada mereka. Sekali saja mereka berani membuat kekacauan di perusahaanku, maka mereka harus siap dengan hukumanku.""Lalu, apa yang kalian bicarakan? Mengapa begitu lama?""Aku membicarakan hal lain. Tentang kecelakaan yang menimpa ayah Tiara. Bagaimana kronologinya karena aku mencurigai sesuatu hal."David mengusap wajahnya dengan kasar. "Asal kamu tahu, Niel. Aku sudah menebaknya sebelum kita datang ke sini. Tapi, kita perlu menanyakan hal ini kepada Tiara untuk lebih jelasnya. Lagipula, jika kamu tidak segera menyatakan niat kamu terhadap Tiara kepada Pak Lukman, aku khawatir, di kemudian hari, yang akan menjadi sasar







