Mag-log in“Mengingat apa?” Daniel mengulang pertanyaannya.
“Ya mengingat saya adalah satu-satunya wanita yang selalu berada di dekat Pak Daniel, yang menghabiskan waktu lebih lama dari siapapun. Bahkan mungkin, saya lebih lama menghabiskan waktu bersama Bapak dibandingkan Bu Puspita sendiri.”
Daniel menjentikkan jarinya. “Tepat sekali! Akhirnya kamu paham mengapa aku mengirimkan buket-buket itu kepadamu.”
“Tapi, Pak Daniel. Itu tidak benar. Sangat tidak benar. Lagipula, berita tadi – Itu tidak benar’ kan, Pak? Saya hanya-Maksud saya, saya masih tidak percaya dengan kabar yang baru saja saya baca.”
“Bukankah kamu sudah membaca sendiri pesan dari pengacaraku barusan?”
Tiara mengangguk. “Tapi-Hubungan Pak Daniel dan Ibu sangat romantis. Tidak mungkin-…”
“Tidak mungkin apa? Tidak mungkin bercerai maksudmu?” Daniel lantas tertawa, seakan menertawakan kenaifan Tiara.
“Tiara. Apa kamu lupa, bahwa dunia ini adalah panggung sandiwara? Dunia ini penuh dengan tipu muslihat. Jangan lupa, semua bisa saja terjadi. Orang yang dulunya saling mencintai, dalam hitungan detik bisa berubah menjadi musuh. Orang yang dulu saling membenci, bisa menjadi sepasang kekasih yang saling mencintai sampai mati.”
Tiara menundukkan kepala. Netranya melirik ke kanan dan ke kiri, berusaha mencari cara untuk terbebas dari rasa canggung yang menyergapnya.
“Sayangnya, cintaku pada Puspita tidak sekuat mereka yang di luar sana. Aku lelah dalam kesendirianku mempertahankan pernikahan kami. Aku lelah berjuang sendiri, Tiara. Apakah menurutmu, jika sebuah perahu akan bisa melanjutkan perjalanannya jika hanya satu yang mengayuh sampannya, sedangkan yang lain hanya duduk diam, sibuk dengan kesenangannya sendiri?”
Tiara hanya diam menyimak. Sesekali melirik ke arah Daniel. Raut wajah Daniel terlihat sendu. Ekspresi yang tidak pernah ia lihat di wajah Daniel selama ia bekerja sebagai asisten pribadi pria itu.
Daniel tersentak. Seharusnya ia tidak perlu mengenang masa-masa saat dirinya masih bersama Puspita. Toh itu tidak akan mengubah keputusannya. Perceraian sudah terjadi. Keputusan hakim akan diterima besok pagi.
Pelayan datang membawa menu yang tadi dipesan Tiara. Daniel memperhatikan piring-piring yang dipindahkan pelayan restoran dari kereta makan ke meja. Perhatiannya jatuh pada satu piring yang tidak pernah dilihatnya selama ia makan bersama Tiara.
“Kamu-Kamu memesan ini?” tunjuk Daniel pada piring yang berisi lontong dan sate ayam yang sudah disiram dengan saus kacang dan ditaburi irisan bawang merah dan cabai rawit.
Tiara mengangguk. “Sedang pengen makan sate ayam, Pak. Kalau nunggu malam, kelamaan. Keburu ngiler saya.”
Daniel melirik Tiara yang dengan cepat menyantap satu tusuk sate lalu menyuapkan potongan lontong yang sudah ia campur dengan saus kacang.
Mendadak Daniel tidak lagi berselera dengan menu pilihannya sendiri. Ia, tanpa permisi, mengambil piring Tiara, menggantinya dengan piring miliknya yang belum ia sentuh.
“Loh, Pak?” Tiara kaget dan tidak terima.
“Pilihan kamu selalu tampak lebih menggoda dan terlihat lebih enak. Nanti kamu beli lagi waktu kita pulang kantor. Aku akan mengantarmu pulang.”
Tiara langsung batuk. Ia buru-buru menolak. “ Tidak apa-apa. Tidak apa-apa. Pak Daniel habiskan saja. Saya tidak perlu beli lagi. Saya akan menghabiskan selat ini saja.” Tiara dengan cepat menyantap menu barunya. Ia tidak perlu pulang bersama Daniel. Bisa tambah runyam nanti urusannya.
“Aku akan mengantar kamu pulang. Apakah perkataanku kurang jelas?”
“Saya sudah tidak ingin makan sate lagi, Pak. Jadi, saya nanti tidak perlu diantar. Saya naik ojek seperti biasanya saja,” tolak Tiara sembari tertawa sedikit, untuk mengenyahkan rasa gugup yang datang tiba-tiba.
Daniel tidak menjawab. Ia menikmati sate yang kini berada dalam piring yang menjadi santapan siangnya. Ia heran sendiri, mengapa semua pilihan Tiara selalu saja enak? Ada apa dengan gadis itu? Apakah ini efek jatuh cinta? Semua pilihan orang yang kita cintai terasa begitu indah dan nikmat?
Tiga puluh menit kemudian, mobil sedan hitam panjang itu bergerak meninggalkan restoran kembali ke kantor pusat grup Andromeda. Tidak ada percakapan antara Daniel dan Tiara. Mereka berdua sibuk dengan pikiran sendiri, dan itu berlangsung hingga Daniel menghilang masuk ke ruangannya dan Tiara kembali sibuk dengan laptopnya.
Jam kantor masih dua jam lagi. Namun, suasana kantor sudah mulai riuh. Wajah yang tadi kusut mulai terlihat ceria. Waktu pulang seakan menjadi semangat baru untuk mengakhiri pekerjaan hari ini.
“Tia!” seru seseorang yang baru saja keluar dari lift.
“Pak David!” Tiara langsung berdiri dari duduknya, menyambut kedatangan sepupu Daniel yang selama ini berada di luar negeri.
Pria berusia tiga puluh tahunan itu tersenyum bahagia melihat Tiara. “Kamu tambah cantik saja, Tiara!” puji pria itu tanpa melepas tatapannya dari wajah Tiara yang juga tersenyum senang.
“Ah, Pak David bisa aja. Saya belum gajian loh, Pak!”
David terkekeh. “Dia ada di dalam?”
Tiara mengangguk. “Pak Daniel ada di dalam.”
“Oke. Aku setor muka dulu ya..”
Tiara terkekeh. Pria matang berkulit putih sedikit kemerahan itu selalu saja mampu membuat Tiara tertawa, seakan dia tahu semua lelucon terbaik yang dapat membuat seseorang kembali ceria. Rasa suntuk yang semula mengelilingi Tiara menghilang begitu saja, tanpa ia sadari.
“Aku dengar kalian akan berpisah.” David melangkah masuk ruangan Daniel tanpa mengetuk pintu, melenggang santai menuju sofa lalu menjatuhkan tubuhnya, melepas lelah yang mendera sejak dirinya berada di pesawat.
“…” Daniel hanya menatap sepupunya itu tanpa minat menjawab. “Kapan kamu pulang?”
David langsung tertawa keras. “Astaga, Daniel! Sepupumu yang tampan ini baru saja mendarat, dan merasakan empuknya sofa mahalmu ini.”
“Jangan suruh aku meladenimu di apartemenku!” tegas Daniel. Ia tidak mau rencana rahasianya terhadap Tiara, yang sudah ia susun sempurna, berantakan karena kehadiran sepupunya itu.
“C’mon, Niel! Apakah kamu sama sekali tidak rindu padaku?”
“Tidak!” tegas Daniel. Tatapan Daniel sangat tidak bersahabat.
“Oh, Daniel! Kamu sangat kejam! Sepupu macam apa kamu?!” omel David sesaat. Bukannya merasa kesal mendengar jawaban Daniel, David justru membaringkan tubuhnya di sofa lalu menutup wajahnya dengan bantal kursi. “Aku tidur dulu. Bangunkan aku jika Tiara datang untuk berpamitan. Aku ingin dia menemaniku makan malam.”
Wajah Daniel langsung memerah. “Tiara akan lembur! Ada banyak pekerjaan yang belum dia kerjakan hari ini. Dia harus mengetik draft perjanjian kerjasama. Tidak ada waktu untuk menemanimu meski itu hanya untuk membeli kopi di kafe seberang," jawab Daniel begitu ketus
“Baiklah kalau begitu. Aku akan menunggunya. Pesan online lalu makan bersamanya di sini pasti tidak kalah menyenangkan.” David mengucapkan kalimat itu begitu santai, mematik rasa kesal yang langsung memuncak di ubun-ubun Daniel.
“Kau ini!” geram Daniel. “Mengapa makhluk ini tiba-tiba ada di sini? Apakah mama yang menyuruhnya datang untuk membujukku membatalkan perceraian dengan Puspita?"
"Apakah itu berarti lamaranku diterima?"Tiara menggeleng. "Tidak. Saya tidak pantas."Daniel mendengus. Ia menghembuskan napas dengan kasar. "Berarti, apa yang aku lakukan tadi belum bisa meyakinkan dirimu jika kamu sangat pantas untuk bersanding denganku?"Tiara bergeming. Daniel melepas dasinya. Ia membuka tiga kancing atas kemejanya dan menggulung lengan kemejanya hingga siku. "Baik. Sepertinya, kamu memang menginginkan bukti yang lebih nyata. Dan, jangan pernah salahkan aku, Tiara. Kamu yang meminta. Aku hanya memenuhi permintaanmu."Daniel mengikis jaraknya dengan Tiara. Ia menangkup pipi Tiara, lalu melabuhkan kecupan kasar ke bibir Tiara. Ia melampiaskan kekesalannya karena Tiara masih menolak niat baiknya."Hmmmph!" Tiara meronta. Ia memukul dada Daniel berulang kali dengan keras, meminta pria itu melepaskan bibirnya dan segera menjauh darinya."Bukankah ini yang kamu inginkah? Kamu ingin pembuktian jika kamu sangat pantas untuk menjadi istriku, bukan?" Daniel mulai bertind
Tiara langsung mengangkat kepalanya. Ia paham tapi tidak paham dengan yang didengarnya barusan. 'Mengenalkanmu sebagai istriku?' Lelucon apalagi ini? "Pak?" Tiara menuntut penjelasan."Aku tidak perlu mengulangi lagi perkataanku. Apa yang kamu dengar adalah apa yang aku ucapkan. Dan - ..." Daniel berhenti sejenak, menatap Tiara, mengamati wajah cantik yang beberapa hari ini tidak dapat ia pandangi dengan puas, yang terkejut mendengar ucapannya."Dan sebagai wanita dewasa yang sangat cerdas, aku sangat tahu kamu paham dengan yang aku maksud. Jadi, tidak akan ada kalimat penjelas yang mengikutinya setelah ini," lanjut Daniel.Batin Tiara sontak berteriak. Tangannya mengepal. Emosi yang beberapa hari ini tidak muncul, kini kembali menggelegak. Ia membuang napasnya dengan kasar."Kalau begitu - ...." Tiara menatap Daniel dengan dingin. "Jika kamu hendak menyinggung lagi soal pengunduran diri, maka aku tidak akan mendengarkannya. Opsi itu tidak pernah ada dalam kamusku." Daniel memotong k
Tiara diam seribu bahasa tatkala kedua orang tuanya mengantarkan kepergiannya sore itu. Lambaian tangan perpisahan dari Yanti dan Lukman, diabaikannya, sebagai bentuk protes atas pengusiran dirinya dari rumah masa kecilnya."Ibu akan sangat bahagia jika kamu bersedia mendengarkan perkataan ibu dan ayah. Ini bukan untuk kami, tapi ini semua akan kembali kepada dirimu sendiri. Hal yang besar tidak akan dapat diperoleh tanpa pengorbanan dan usaha yang besar pula. Jagalah diri baik-baik. Ibu dan ayah menitipkan kamu pada Daniel dan David. Mereka akan menjagamu."Kalimat pengantar tidur yang diucapkan Yanti, disaksikan dan didengarkan oleh dua sepupu yang bagi Tiara sangat menyebalkan itu, telah menjadi keputusan mutlak untuknya.Tiara kembali ke kota A, bersama Daniel dan David. Ia akan kembali bekerja di posisinya semula. Tidak ada yang dapat mengganti posisi Tiara, karena posisi itu dibuka oleh Daniel hanya untuk Tiara.Keesokan harinyaTiara datang bersama Daniel yang menjemputnya set
"Apa sebenarnya tujuan kalian? Mengapa selalu saja mengganggu saya?" teriak Tiara penuh amarah. Ia sudah tidak dapat menahan emosinya. Kekesalan yang selama ini ia pendam, meluap sudah. Ia tidak peduli sedang ada di ruang publik. Yang ada di benaknya saat ini hanya bagaimana ia meluapkan semua amarahnya."Tia - ..." Daniel terkejut dan ternganga. Ia sama sekali tidak menduga Tiara akan bereaksi seperti ini. Wajah gadis itu merah padam. Tidak seperti biasanya. Tiara yang tengah berdiri di depannya tampak seperti orang lain bagi Daniel."Tolong lepaskan saya, Pak! Biarkan saya dengan kehidupan saya sendiri," ucap Tiara putus asa. David segera mendekati Tiara. Ia menuntun gadis itu masuk ke sebuah restoran yang kebetulan berada di samping toko buku."Ssst. Kita bicarakan baik-baik. Kita bicarakan baik-baik. Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Ayo, kita duduk di sana saja." David menuntun Tiara yang mengikutinya dalam diam. Tiara tidak menolak kedatangan David. Sepertinya, am
David dan Daniel berdiri imematung sambil menempelkan badan mereka ke dinding. Niat untuk berpamitan pada Lukman dan Yanti urung mereka lakukan, setelah mendengar percakapan antara Yanti dan Lukman.Melihat Tiara yang berjalan keluar dari dapur melewati ruang makan membuat kedua sepupu itu bergerak cepat mencari persembunyian sementara agar tidak terlihat Tiara.Setelah Tiara lewat dan duduk di ruang tamu bersama kedua orang tuanya, Daniel dan David kembali ke tempat mereka semula, menempel pada dinding antara ruang tamu dan ruang makan.Pembicaraan di ruang tamu ternyata cukup menyita perhatian Daniel. Ia seperti mendapat angin segar mendengar pendapat Yanti. Ada harapan yang terbit kembali, dan membuat migrain Daniel berangsur hilang.Sedangkan David mendengar dengan harap-harap cemas. Cemas karena takut ketahuan menguping pembicaraan mereka. Namun, untuk pergi meninggalkan tempat itu, ia merasa sayang.Di antara wajah masam Tiara saat Lukman dan Yanti berbicara, ada wajah Daniel yan
"Belum?" ulang David putus asa. "Mengapa? Mengapa belum selesai?"Daniel hanya diam. "Belum waktunya aku mengatakan itu semua.""Tsk. C'mon. Daniel! Sampai kapan kita ada di sini? Bagaimana dengan perusahaan? Apa tidak mungkin operasional perusahaan akan kacau?" Justru David yang merasa frustasi. Ia menjadi gemas dan geregetan melihat Daniel."Aku sudah memberi ancaman pada mereka. Sekali saja mereka berani membuat kekacauan di perusahaanku, maka mereka harus siap dengan hukumanku.""Lalu, apa yang kalian bicarakan? Mengapa begitu lama?""Aku membicarakan hal lain. Tentang kecelakaan yang menimpa ayah Tiara. Bagaimana kronologinya karena aku mencurigai sesuatu hal."David mengusap wajahnya dengan kasar. "Asal kamu tahu, Niel. Aku sudah menebaknya sebelum kita datang ke sini. Tapi, kita perlu menanyakan hal ini kepada Tiara untuk lebih jelasnya. Lagipula, jika kamu tidak segera menyatakan niat kamu terhadap Tiara kepada Pak Lukman, aku khawatir, di kemudian hari, yang akan menjadi sasar







