Home / Romansa / Sugar Baby Sang Pemuas Nafsu / Bab 7. Kau Harus Patuhi semua Perintahku

Share

Bab 7. Kau Harus Patuhi semua Perintahku

Author: Senja Berpena
last update Last Updated: 2025-10-18 12:39:00

“Ma-maksud, Tuan?” ucap Kiara dengan suara kecil. Ia tidak mengerti dengan pertanyaan barusan.

Julian menatapnya tanpa ekspresi, kedua tangannya disilangkan di depan dada. Sorot matanya gelap, dalam, seolah bisa menelusup masuk ke dasar jiwa Kiara.

“Aku hanya ingin tahu,” katanya datar namun tegas, “bahwa apa yang sudah kubeli di hadapanku kini masih original.”

Kata-kata itu membuat tubuh Kiara seketika menegang. “Original?” gumamnya pelan, mencoba mencerna arti di balik kalimat sinis yang baru saja diucapkan Julian.

Namun sebelum sempat ia berpikir lebih jauh, langkah kaki berat lelaki itu mendekat.

Julian maju satu langkah, jaraknya kini hanya beberapa jengkal dari wajah Kiara.

Tubuh tinggi tegapnya menutupi sebagian cahaya lampu gantung di ruang itu, membuat bayangannya jatuh menutupi tubuh Kiara yang tampak mungil di hadapannya.

“Belum tersentuh oleh siapa pun,” lanjut Julian, suaranya lebih rendah, bergetar dengan nada yang sulit didefinisikan—antara ancaman dan godaan.

Kiara menelan salivanya dengan susah payah. Jantungnya berdetak cepat, seolah hendak meloncat keluar dari dadanya.

Ia berusaha menenangkan diri dengan menggenggam jemarinya sendiri, tapi jari-jari itu justru bergetar hebat. Napasnya pendek-pendek, dan setiap tarikan udara terasa menusuk dada.

“Te-tentu, Tuan. Aku belum pernah melakukan itu sebelumnya,” jawab Kiara dengan terbata, suaranya goyah namun tetap berusaha terdengar tegas.

Julian menaikkan sebelah alisnya, matanya menatap lurus tanpa kedip. “Benarkah?” tanyanya pelan, namun cukup membuat bulu kuduk Kiara berdiri.

Kiara mengangguk mantap, mencoba menunjukkan keyakinan di tengah rasa gugup yang melilit.

“Aku yakin seribu persen bahwa aku masih gadis, Tuan. Anda bisa membuktikannya nanti jika tidak percaya,” ucapnya dengan napas yang tersengal, tapi setiap katanya terdengar jujur.

Sekilas, bibir Julian melengkung membentuk senyum samar. Bukan senyum hangat, melainkan senyum yang sarat makna dan misteri.

Tatapannya menajam, menelusuri wajah Kiara dengan intensitas yang membuat udara di antara mereka mendadak menegang.

Tangannya perlahan terulur, menyentuh sisi wajah Kiara.

Jari-jarinya bergerak lembut, seolah membelai kulit halus itu, namun dalam kelembutan itu ada kekuasaan yang tak bisa ditolak.

Sentuhan itu membuat tubuh Kiara seketika membeku, matanya terpejam refleks karena tak sanggup menahan debaran di dadanya.

Ia bisa merasakan setiap gerakan lembut jari Julian, menyusuri rahang dan berhenti di bawah dagunya.

Sentuhan kecil itu saja cukup untuk membuat Kiara kehilangan keseimbangan batin. Ia tidak tahu harus melangkah mundur atau tetap diam.

Julian menatapnya lekat-lekat. “Aku paling benci dengan kebohongan, Kiara,” ucapnya perlahan namun tajam, seolah setiap katanya menggores udara dan menusuk langsung ke dalam hati gadis itu.

Kiara mencoba membalas tatapan itu, meski kedua lututnya terasa lemas. Ia ingin berkata lagi, ingin meyakinkan Julian bahwa ia tidak berbohong.

Namun, lidahnya seakan beku, dan yang bisa ia lakukan hanyalah menelan ludah dengan susah payah.

Senyap menguasai ruangan. Hanya terdengar detak jam di dinding dan napas mereka yang tak beraturan.

Julian akhirnya menjauhkan tangannya sedikit, tapi tatapannya tetap mengunci wajah Kiara.

“Kau tidak ingin bertanya kenapa aku membelimu, hm?” suaranya dingin, namun ada nada menantang di dalamnya.

Kiara menunduk sejenak sebelum berani membuka suara. “Aku sudah tahu, hanya sedikit,” ujarnya pelan.

“Dari asisten pribadimu, Tuan Max. Bahwa Anda sedang menghindari perjodohan yang sudah diatur oleh orang tua Anda.”

Julian menghela napas panjang, kedua matanya terpejam sesaat seolah mencoba menahan sesuatu di dalam pikirannya.

“Satu hal lagi yang ingin aku pastikan, Kiara,” ucap Julian dengan nada rendah namun tegas, suaranya bergema di ruang penthouse yang sunyi.

Kiara menegakkan tubuhnya spontan. Nafasnya tertahan sejenak, menunggu apa yang akan dikatakan oleh lelaki di depannya.

Wajahnya masih tampak gugup, tapi ia berusaha menjaga ketenangan di hadapan sosok berwibawa itu.

Julian menatapnya lama, sorot matanya tajam seperti pisau yang siap menguliti setiap kebohongan.

“Kau tidak punya kekasih?” tanyanya datar, tanpa nada emosi, namun cukup untuk membuat jantung Kiara kembali berdegup kencang.

Pertanyaan itu begitu sederhana, tapi cara Julian mengatakannya membuat udara di sekitarnya seakan menegang.

Ia menyilangkan tangan di dadanya sambil menunggu jawaban, sementara Kiara meremas ujung roknya perlahan.

“Aku hanya ingin memastikan,” lanjut Julian dengan suara yang lebih dalam. “Ke depannya, aku tidak mau ada masalah. Tapi kalau kau punya kekasih, sebaiknya beritahu aku dari sekarang.”

Kiara terdiam sejenak, mencoba memahami maksud di balik kata-kata itu.

Tatapannya jatuh ke lantai, ke arah lantai marmer yang dingin dan berkilau memantulkan cahaya lampu. Lalu dengan suara lembut namun pasti, ia menggeleng pelan.

“Hidupku sudah sibuk dengan merawat ibuku dan bekerja,” ucapnya lirih, namun jujur. “Jadi, tidak punya waktu untuk menjalin hubungan, Tuan.”

Julian memperhatikan setiap gerak bibir dan nada suara Kiara.

Tidak ada kebohongan di sana—hanya kepenatan dan kejujuran yang pahit. Tatapannya sedikit melunak, meski wajahnya tetap tanpa ekspresi berarti.

Dalam hatinya, Julian bergumam lirih, keputusannya sudah tepat.

Wanita itu polos, tidak punya siapa-siapa, dan tidak memiliki ikatan dengan lelaki lain. Sempurna untuk perannya.

“Keputusan untuk membelinya, menjadikannya pelampiasan nafsu dan penurut atas setiap keinginanku—sudah sangat benar.”

“Baguslah kalau begitu.” Suara Julian terdengar dingin dan mantap. Ia kemudian berbalik, langkah kakinya mantap dan berwibawa menyusuri lantai menuju kamar pribadinya.

Kiara hanya bisa berdiri di tempat, tubuhnya kaku, matanya menatap punggung tegap lelaki itu hingga menghilang di balik pintu. Ia tidak tahu harus berbuat apa.

Keheningan menyelimuti ruangan begitu Julian menghilang. Hanya suara detak jam dan embusan pendingin udara yang terdengar samar.

Kiara menatap sekeliling, merasa canggung dan bingung dalam diam.

Tangannya menggenggam erat tas kecil yang ia bawa sejak tadi. “Kenapa aku ditinggal? Apakah bukan malam ini?” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada diri sendiri.

Ada kelegaan yang aneh di hatinya. Bagian dari dirinya berterima kasih karena malam itu—malam yang ia kira akan menjadi akhir dari kepolosannya—ternyata belum terjadi. Ia bisa bernapas sedikit lebih lega.

Namun rasa penasaran juga perlahan tumbuh di dalam pikirannya. Jika bukan malam ini, lalu untuk apa Julian memintanya datang dengan begitu mendesak?

Ia mengingat kembali tatapan tajam lelaki itu, suaranya yang dingin, dan kata-kata yang menggantung penuh makna. Perasaannya campur aduk—antara takut, bingung, dan penasaran.

Kiara melangkah ragu menuju sofa besar di tengah ruangan, hendak duduk sejenak untuk menenangkan diri. Tapi langkahnya terhenti ketika mendengar suara pintu terbuka dari arah kamar Julian.

Jantungnya langsung berdegup kencang lagi.

Julian muncul dari balik pintu dengan langkah santai namun berwibawa.

Rambutnya sedikit berantakan, kemeja putihnya kini tidak lagi terkancing rapat hingga memperlihatkan sebagian kulit dadanya yang bidang. Tatapan matanya tajam, misterius, dan sulit ditebak.

Di tangannya, lelaki itu membawa sesuatu. Kiara tidak sempat memperhatikan dengan jelas hingga benda itu melayang ke arahnya. Refleks, ia menangkapnya dengan kedua tangan.

Seketika matanya membulat ketika menyadari apa yang baru saja dilemparkan Julian padanya.

Satu set lingerie transparan berwarna merah menyala. Kain tipis itu terasa lembut di tangan, tapi pandangan Kiara membeku. Pipi dan lehernya memanas hebat dan darahnya berdesir cepat.

Julian bersandar di dinding dengan tangan terlipat di dada, memperhatikan reaksi Kiara dengan senyum samar yang nyaris tak terlihat.

“Pakai itu,” katanya datar, suaranya terdengar seperti perintah yang tak bisa ditolak.

“Aku tidak ingin sesi bercinta di malam pertama ini terasa kaku. Kau harus mengikuti semua perintahku, apa pun yang aku inginkan!”  

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sugar Baby Sang Pemuas Nafsu   Bab 8. Aku Menyukainya

    Kiara tidak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan sampai di titik ini—menjadi barang, menjadi sesuatu yang bisa dilihat, diperintah, bahkan dimiliki oleh seorang lelaki yang telah “membelinya” dengan uang.Semua yang terjadi begitu cepat. Baru beberapa hari lalu dia hanyalah seorang karyawan magang biasa di Romanov Group, dengan seragam lusuh dan pikiran penuh kekhawatiran tentang tagihan rumah sakit ibunya.Kini, tubuhnya berdiri di depan cermin besar dalam kamar mandi mewah, dengan pakaian yang bahkan tak pantas disebut sebagai kain.Cahaya lampu berwarna keemasan memantul di permukaan kaca besar di hadapannya. Kiara menatap refleksi dirinya yang nyaris tidak ia kenali.Tubuhnya terbalut lingerie merah transparan yang membalut ketat di setiap lekuknya.Gaun tipis itu terlalu kecil untuknya, sehingga setiap inci kulitnya terekspos dengan gamblang. Dada padatnya tampak menyembul, nyaris keluar dari belahan kain yang seolah menolak menutupi apa pun.Jari-jarinya gemetar saat menyentu

  • Sugar Baby Sang Pemuas Nafsu   Bab 7. Kau Harus Patuhi semua Perintahku

    “Ma-maksud, Tuan?” ucap Kiara dengan suara kecil. Ia tidak mengerti dengan pertanyaan barusan.Julian menatapnya tanpa ekspresi, kedua tangannya disilangkan di depan dada. Sorot matanya gelap, dalam, seolah bisa menelusup masuk ke dasar jiwa Kiara.“Aku hanya ingin tahu,” katanya datar namun tegas, “bahwa apa yang sudah kubeli di hadapanku kini masih original.”Kata-kata itu membuat tubuh Kiara seketika menegang. “Original?” gumamnya pelan, mencoba mencerna arti di balik kalimat sinis yang baru saja diucapkan Julian.Namun sebelum sempat ia berpikir lebih jauh, langkah kaki berat lelaki itu mendekat.Julian maju satu langkah, jaraknya kini hanya beberapa jengkal dari wajah Kiara.Tubuh tinggi tegapnya menutupi sebagian cahaya lampu gantung di ruang itu, membuat bayangannya jatuh menutupi tubuh Kiara yang tampak mungil di hadapannya.“Belum tersentuh oleh siapa pun,” lanjut Julian, suaranya lebih rendah, bergetar dengan nada yang sulit didefinisikan—antara ancaman dan godaan.Kiara men

  • Sugar Baby Sang Pemuas Nafsu   Bab 6. Kau masih Perawan?

    Kalimat itu membuat Kiara membeku. “Pertunangan?” ulangnya dengan suara pelan.“Ya,” jawab Max. “Sebuah pernikahan bisnis yang sudah lama direncanakan keluarga Romanov. Dan Tuan Julian membencinya.”Kiara menatap ke luar jendela. Lampu-lampu kota berkelebat cepat dan memantulkan warna kuning dan biru di permukaan matanya yang masih basah.“Jadi …,” katanya pelan, “aku hanya alat baginya untuk melarikan diri dari sesuatu yang dia tidak mau?”Tidak ada jawaban dari Max. Hanya keheningan yang tebal di antara mereka. Tapi diam itu sudah cukup menjelaskan segalanya.Kiara menunduk dan memejamkan matanya. Sebuah rasa pahit merayapi tenggorokannya.Dia telah menjual dirinya bukan untuk cinta, bukan untuk harapan, tapi untuk menjadi pelarian seorang pria yang bahkan tidak mengenalnya.Namun, di balik semua itu, dia tahu: keputusan itu menyelamatkan ibunya. Dan mungkin itu satu-satunya alasan yang bisa membuatnya tetap kuat.Mobil berhenti di depan gedung tinggi berlapis kaca, Romanov Tower —

  • Sugar Baby Sang Pemuas Nafsu   Bab 5. Tidak ada Toleransi Sedikit pun

    Beberapa menit kemudian, Kiara tiba di halaman rumah sakit.Ia berlari kecil menuju bagian administrasi sambil memeluk tasnya erat-erat agar tidak basah.Napasnya terengah-engah, rambutnya berantakan, tapi dia tidak peduli dengan penampilannya. Yang penting, ibunya harus tetap hidup.Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti ketika seseorang memanggil dari belakang.“Kiara.”Kiara menoleh dengan cepat. Napasnya tercekat ketika melihat sosok pria jangkung dengan jas hitam berdiri di bawah naungan payung besar.Wajahnya familier — rapi, tenang, dan terlalu profesional.“Tuan Max?” Kiara bergumam dan sedikit terkejut. “Kenapa Anda ada di sini?”Max menatapnya dengan ekspresi datar tapi sopan. “Tuan Julian memintaku untuk memastikan semuanya berjalan dengan lancar.”Kiara membeku. Seketika hatinya mencelos. “Maksud Anda … Anda mengikutiku?”“Perintah langsung dari Tuan Julian,” jawab Max dengan tenang.Kiara langsung menghela napasnya mendengar ucapan Max tadi.Dalam hati, Kiara menggerutu. ‘J

  • Sugar Baby Sang Pemuas Nafsu   Bab 4. Keputusan yang Diambil

    Detik berdetak begitu lambat bagi Kiara, namun waktu sebenarnya berlari tanpa belas kasihan.Begitu Julian meninggalkan meja dan berdiri menghadap jendela lagi, ponsel Kiara yang tergeletak di pangkuannya bergetar keras.Layar menyala dan menampilkan pesan dari dokter yang membuat seluruh darahnya seolah berhenti mengalir.“Nona Kiara, mohon maaf, tapi kami harus mencabut alat bantu pernapasan ibu Anda malam ini jika pembayaran tidak segera dilakukan. Kami menunggu keputusan Anda.”Tangannya gemetar hebat. Pandangannya kabur. Pesan itu seperti hukuman mati bagi ibunya—dan bagi dirinya.Tubuhnya kehilangan tenaga, hingga ponsel itu hampir terlepas dari genggamannya.“Tidak, jangan sekarang,” bisiknya dengan suara serak.Air matanya kembali mengalir membasahi pipinya yang pucat. Ia mencoba mengetik balasan, tapi jari-jarinya gemetar hebat.Julian yang berdiri tak jauh darinya akhirnya berbicara. “Sudah aku bilang, kau tidak punya banyak waktu, Kiara,” ucapnya dengan tenang tapi menyayat

  • Sugar Baby Sang Pemuas Nafsu   Bab 3. Berikan Tubuhmu

    Waktu sudah menunjuk angka delapan malam.Malam itu kantor Romanov Group sudah sepi. Lampu-lampu di lantai 45 menyisakan hanya satu ruangan yang masih menyala—ruang kerja Julian Romanov.Kiara berdiri di depan pintu kaca itu dengan jantung berdetak cepat. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul delapan tepat, sesuai dengan perintah pria itu.Tangannya sedikit bergetar saat mengetuk pelan.“Masuk,” suara berat dan datar terdengar dari dalam.Kiara menarik napas panjang sebelum membuka pintu. Ruangan itu tampak luas, dindingnya kaca, dan memperlihatkan panorama langit malam kota.Di balik meja besar dari marmer hitam, Julian duduk dengan tegak tengah memeriksa beberapa berkas dengan wajah tanpa ekspresi.Ia tidak langsung menatap Kiara, hanya berkata tanpa mengangkat kepala, “Duduk.”Kiara menurut. Tapi, jantungnya seolah ingin meloncat keluar dari dada.Rasanya sulit bernapas di bawah tatapan pria itu, bahkan sebelum dia memulai pembicaraan apa pun.Beberapa menit berlalu dalam

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status