LOGINKalimat itu membuat Kiara membeku. “Pertunangan?” ulangnya dengan suara pelan.
“Ya,” jawab Max. “Sebuah pernikahan bisnis yang sudah lama direncanakan keluarga Romanov. Dan Tuan Julian membencinya.”
Kiara menatap ke luar jendela. Lampu-lampu kota berkelebat cepat dan memantulkan warna kuning dan biru di permukaan matanya yang masih basah.
“Jadi …,” katanya pelan, “aku hanya alat baginya untuk melarikan diri dari sesuatu yang dia tidak mau?”
Tidak ada jawaban dari Max. Hanya keheningan yang tebal di antara mereka. Tapi diam itu sudah cukup menjelaskan segalanya.
Kiara menunduk dan memejamkan matanya. Sebuah rasa pahit merayapi tenggorokannya.
Dia telah menjual dirinya bukan untuk cinta, bukan untuk harapan, tapi untuk menjadi pelarian seorang pria yang bahkan tidak mengenalnya.
Namun, di balik semua itu, dia tahu: keputusan itu menyelamatkan ibunya. Dan mungkin itu satu-satunya alasan yang bisa membuatnya tetap kuat.
Mobil berhenti di depan gedung tinggi berlapis kaca, Romanov Tower — tempat tinggal pribadi Julian Romanov. Lampu di puncaknya berpendar seperti cahaya dingin yang mengintai.
Max menatapnya sekali lagi sebelum turun. “Kita sudah sampai.”
Kiara membuka matanya perlahan dan menatap bangunan megah itu dengan dada berdebar.
“Dia menunggumu di lantai paling atas,” ujarnya pelan. “Saya akan mengantarmu sampai lift, sesuai perintah dari Tuan Julian.”
Kiara hanya mengangguk lemah. Langkahnya terasa berat ketika melewati lobi yang megah.
Lantai marmer berkilau dan dinding kaca menampilkan pemandangan langit malam yang seolah tak berujung.
Ia menatap pantulan dirinya di pintu lift — wajahnya tampak lelah, mata bengkak, dan senyum yang tak lagi ada.
Ketika pintu lift terbuka, Max menunduk hormat. “Selamat bersenang-senang, Ariana.”
Kiara menghela napas kasar. “Senang-senang hanya untuk Julian, bukan untukku. Justru, malam ini aku akan menyerahkan kehormatan yang sudah aku jaga mati-matian dan akan berakhir di malam ini.”
Kiara melangkah keluar dengan napas yang tak beraturan. Udara dingin dari pendingin ruangan menyambutnya, bercampur aroma kayu mahal dan parfum maskulin yang samar tapi tajam.
Pintu lift menutup di belakangnya, meninggalkan kesunyian yang mencekam.
Penthouse itu begitu luas—terlalu luas untuk dihuni satu orang. Lantai marmer putih mengilap memantulkan cahaya lampu gantung kristal di langit-langit tinggi.
Setiap langkah Kiara bergema pelan, membuat jantungnya berdetak semakin cepat.
Ia menelan ludahnya berkali-kali, mencoba menguasai diri, namun rasa takut dan gugup justru semakin membuncah di dada.
Tangannya menggenggam erat tali tas kecil yang berisi ponsel dan kartu hitam pemberian Julian.
Kartu itu seolah berdenyut di dalam sana—mengingatkannya pada harga yang harus dibayar malam ini.
Julian berdiri di depan jendela besar ruang tengah, punggungnya tegap, siluet tubuhnya dipantulkan oleh kaca jendela yang menghadap langsung ke hamparan kota.
Lampu-lampu gedung di luar berkelap-kelip seperti ribuan mata yang menatap mereka.
Kiara berhenti beberapa langkah di belakangnya. Napasnya tersengal pelan. Ia berusaha menenangkan dirinya, tapi suaranya saat akhirnya keluar nyaris terdengar seperti rintihan.
“Selamat malam, Tuan Julian. Aku sudah sampai.”
Julian tidak langsung menjawab. Hanya diam, membiarkan detik-detik berjalan di antara mereka.
Lalu perlahan, ia membalikkan tubuhnya. Tatapannya tajam, menghunjam dalam seperti belati yang berkilat di bawah cahaya lembut lampu gantung.
Kiara menahan napas. Matanya bertemu dengan mata pria itu—mata dingin berwarna abu gelap yang memantulkan sesuatu di antara kuasa dan rasa ingin tahu.
“Sudah siap melewati malam denganku, Kiara?” suaranya dalam, berat, namun tenang.
Pertanyaan itu menghantam batinnya seperti ombak besar. Ia ingin menjawab tidak. Ia ingin memohon waktu—setahun, sebulan, seminggu, apa pun.
Ia ingin berkata bahwa ia akan melunasi utang itu dengan cara lain, dengan kerja keras, lembur, bahkan tanpa tidur sekali pun.
Tapi lidahnya kelu. Suaranya menguap di udara, hilang dibawa dinginnya malam.
Julian masih menatapnya. Tidak ada senyum, tidak ada kelembutan. Hanya diam yang penuh tekanan.
Kiara menggigit bibirnya, jemarinya bergetar. “Tuan … aku ….”
“Diam dulu,” potong Julian dengan nada pelan, tapi tegas.
Ia melangkah perlahan ke arah Kiara, langkahnya berat dan berwibawa. Setiap langkah membuat tubuh Kiara semakin kaku.
“Namun sebelum aku menyentuhmu,” katanya pelan, suaranya serak tapi stabil, “ada satu hal yang ingin aku tanyakan dulu padamu.”
Kiara mengangkat kepalanya perlahan, mencoba menatap mata pria itu. “Apa itu, Tuan?” tanyanya dengan suara nyaris berbisik.
Julian berhenti tepat di depannya. Jarak mereka hanya sejengkal.
Kiara bisa mencium aroma parfum mahal yang tajam, bercampur aroma kulit dan kayu manis yang samar. Tangannya terangkat, lalu dengan gerakan lembut, ia menyentuh sisi wajah Kiara.
Sentuhan itu membuat Kiara menegang. Tubuhnya bergetar kecil, bukan karena dingin, tapi karena campuran antara takut, bingung, dan sesuatu yang bahkan tak bisa dia namai.
Kulit Julian terasa hangat di wajahnya, berbanding terbalik dengan tatapannya yang dingin.
“Kau masih perawan?” bisiknya kemudian.
“Ada yang ingin aku tanyakan tentang Natasha. Kenapa kalian dijodohkan?” tanyanya seraya menatap wajah Julian yang sedang memeluknya.Mereka merebahkan tubuh setelah bergulat beberapa jam yang lalu dengan kondisi tubuh yang masih sama-sama tak mengenakan apa pun.“Urusan bisnis,” jawab Julian dengan santai.Kiara menatap wajah pria itu, berusaha membaca setiap garis ketegangan yang tampak di sana.“Jadi, semua ini karena urusan bisnis?” tanya Kiara dengan nada pelan, nyaris seperti bisikan yang takut terdengar oleh dinding sekalipun.Julian memejamkan matanya sejenak, lalu membuka lagi dengan tatapan yang dingin. “Ya. Sebagian besar karena itu. Aku tidak punya pilihan waktu itu.”Kiara menggigit bibir bawahnya. Ada sesuatu yang mencengkeram dadanya ketika mendengar kalimat itu—pahit, getir, dan entah kenapa terasa menyakitkan.“Lalu kenapa tidak menolak sejak awal?” tanyanya lirih, walau dalam hati dia sadar pertanyaan itu mungkin terdengar terlalu berani.Julian membalikkan tubuhnya,
Kiara baru saja selesai mandi. Uap hangat masih menempel di kulitnya, membuat handuk putih yang melilit tubuhnya terasa lebih tipis dari biasanya.Rambutnya masih basah, menetes perlahan sepanjang leher hingga tulang selangka.Ia menarik napas panjang sambil membuka pintu kamar mandi, siap bergegas mencari pakaian sebelum Julian masuk ke dalam kamar.Namun begitu pintu terbuka, Kiara langsung berhenti kaku.Julian sudah ada di sana.Pria itu berdiri di depan jendela kamar membelakangi cahaya sore yang redup.Tubuh tegapnya menciptakan siluet kuat, garis bahu dan rahangnya terlihat makin tajam.Ia baru saja melepas jas kerjanya; hanya kemeja hitam tipis yang masih melekat, bagian lengan sudah digulung sampai siku, membuat nadinya terlihat jelas.Kiara mematung, jantungnya melompat seolah tertangkap sedang melakukan sesuatu yang salah.“Ju-Julian?” gumamnya dengan mata menganga.Julian menoleh lambat ke arah Kiara. Tatapannya langsung turun menyapu tubuh Kiara dari kepala sampai kaki.K
Natasha duduk di belakang meja riasnya, roknya yang ketat terasa menekan paha. Ia menopang dagu sambil menatap pantulan wajahnya di cermin besar berlampu itu.Makeup-nya sempurna, bibir merah, mata tajam. Tapi aura murka dan rasa ingin tahu membuat kecantikannya tampak seperti kilap pisau.Ponselnya bergetar di meja. Nama yang muncul: Hansen – Private Investigations.Natasha langsung mengangkatnya. “Sudah dapat?” tanyanya dengan suara datarnya.“Semuanya, Nona,” jawab Hansen. “Tentang Kiara Devina.”Natasha mengusap pelan sudut alisnya. “Jelaskan!” titahnya.Hansen terdengar membuka berkas. Lalu mulailah laporan itu.“Kiara Devina. Usia 23 tahun. Baru lulus kuliah satu tahun yang lalu, jurusan administrasi perkantoran. Masuk sebagai pegawai magang di Romanov Group tiga bulan sebelum diangkat menjadi sekretaris pribadi Tuan Julian.”Natasha mendengus kecil. “Sejauh ini tidak mencurigakan.”“Ya. Riwayat hidupnya bersih,” lanjut Hansen.“Tinggal bersama ibunya di rumah kecil di sebuah pe
Kiara meletakkan laptop kerja Julian di atas meja kaca ruang kerja itu dengan sangat hati-hati, seolah benda itu bisa meledak kalau ia salah menaruh.Hatinya masih belum benar-benar stabil sejak kejadian di kantor tadi. Rasanya suasana antara Julian, Natasha, dan dirinya seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.Ia menarik napas panjang, menahan dinginnya udara AC yang menusuk kulitnya.Begitu keluar dari ruang kerja, Kiara menemukan Julian sudah duduk santai di sofa ruang tengah.Pria itu menyandar, satu kaki terangkat sedikit, satu tangan memegang remote TV.Tayangan berita mengisi ruangan, tapi jelas sekali Julian hanya menonton layar itu tanpa benar-benar memperhatikan isinya.Kiara mendekat dengan langkah ragu. Detak jantungnya berantakan. Duduk di samping pria itu saja rasanya seperti berdiri di tepi jurang.“Tuan?” Kiara membuka suara pelan. “Kenapa Anda seolah sengaja membuat Natasha mencurigai kita?”Julian tidak langsung menoleh. Ia hanya memindah saluran televisi deng
Hujan rintik mengguyur halaman luas rumah keluarga Romanov sore itu.Langit kelabu memberi kesan muram, seolah ikut mencerminkan suasana hati Natasha yang sejak pagi tercekik rasa tidak nyaman. Ia mengetuk pintu rumah besar itu dengan gerakan cepat, hampir tak sabar.Tak sampai satu menit, seorang pelayan membukakan pintu dan mempersilakan Natasha masuk.Di ruang keluarga yang megah, Monna Romanov duduk sambil menikmati teh hangat.Wanita itu elegan dengan balutan setelan krem mahal, tatapan matanya tajam namun tetap mengandung keanggunan ibu pejabat kelas atas.“Oh, Natasha,” sapa Monna dengan lembut. “Kau datang tanpa kabar.”Natasha mencoba tersenyum, tapi tegangnya terlalu jelas. “Aku ingin bicara, Bibi,” katanya sambil duduk di sofa berhadapan dengan wanita itu.Monna meletakkan cangkirnya. “Tentang Julian?”Natasha mengangguk sambil menarik napas panjang. “Ya, Bibi, aku rasa ada yang janggal. Sangat janggal dengan sikap Julian akhir-akhir ini.”Alis Monna sedikit naik. “Apa maks
Natasha berhenti tepat di depan meja Max, yang langsung berdiri dengan sopan.“Selamat siang, Nona Natasha,” sapanya ramah, seolah tidak terpengaruh aura panas yang dibawa wanita itu.“Aku ingin bicara denganmu,” jawab Natasha tanpa basa-basi. Suaranya dingin, namun ada getir kemarahan yang jelas tak bisa disembunyikan.Max mengangguk dan mempersilakan Natasha ke ruang kecil di belakang area resepsionis eksekutif. Pintu ditutup.Begitu mereka duduk, Natasha langsung mencondongkan tubuh ke depan, kedua tangannya bertumpu di meja.“Aku ingin tahu,” ujarnya langsung memotong, “Julian benar-benar sibuk dengan pekerjaannya, atau dia hanya sedang menghindar dariku?”Max tetap tersenyum ramah, meski dia bisa merasakan bara emosional di balik kata-kata Natasha. Tanpa menjawab secara langsung, Max membuka laci dan mengeluarkan sebuah buku agenda tebal berisi jadwal resmi Julian.“Silakan lihat,” katanya sambil mendorong agenda itu ke arah Natasha. “Ini jadwal Tuan Julian dari minggu lalu hingg







