“Hei! Bagaimana jalan-jalannya?” Davin masih duduk di belakang meja kerjanya saat Tania kembali.
“Tidak banyak jalan-jalan. Hanya mengobrol dan sedikit minum di bar,” jawab Tania seadanya. “Aku tidur duluan, ya?”
“Tentu, selamat malam, sayang.”
Pagi harinya, Tania melihat sebuah pesan di ponselnya. Dari Rob, yang dikirim jam 3 pagi. Ia mengirimkan sebuah lokasi dan meminta Tania agar datang saat jam makan siang dengan membawa akta kelahirannya.
Inikah saatnya? Tania lebih penasaran dengan percakapan macam apa yang terjadi antara Rob dan istrinya malam tadi. Setelah sedikit panik saat Tania hampir tidak bisa menemukan secarik kertas bertuliskan nama serta tanggal lahirnya dan nama lengkap kedua orang tuanya, akhirnya ia berhasil menemukannya. Tania merasa dirinya cukup bijak dengan tidak menyepelekan benda itu walaupun ia hampir tak pernah berharap bisa menemukan petunjuk tentang keberadaan orang tuanya lagi.
Untunglah Davin tak terlalu banyak bertanya saat Tania memberitahunya bahwa ia akan ke luar sebentar. Awalnya ia ingin mengantar tetapi Tania menolak dengan alasan tidak ingin menganggunya yang cukup sibuk hari ini.
Dengan taksi, Tania menuju ke lokasi yang dikirim oleh Rob. Ia mendapati gerbang yang amat besar dan tak bisa melihat ke dalam. Tania segera mengirim pesan pada Rob bahwa ia sudah sampai di lokasi dan tak lama kemudian gerbang besar di hadapannya terbuka dengan sendirinya dan tampaklah rumah itu. Ternyata itu sebuah mansion yang amat besar.
Selama ini mansion yang pernah dimasuki Tania hanya mansion Gerald yang diberinya nama Bentley Castle. Tania masih ingat Bentley Castle memiliki arsitektur megah nan klasik khas Inggris. Sedangkan mansion Rob yang kini dilihatnya tampak jauh lebih modern dengan lebih banyak dinding yang terbuat dari kaca serta eksterior yang minimalis.
Seorang pria berseragam keamanan muncul dan menyambutnya.
“Apa anda Tania Wood?” tanyanya. Tania hanya mengangguk cepat, masih agak terkejut dengan gerbang dan mansion megah di depan matanya. Pria itu lalu menuntun Tania hingga ke depan pintu. Beberapa menit kemudian pintu yang lebih tinggi dari gerbang sekolah dasar Tania itu terbuka lebar, menampakkan Rob bersama seorang wanita, istrinya, yang juga kemungkinan lain adalah ibu Tania yang sudah lama tak ditemuinya. Wanita itu tak tampak jauh berbeda dengan yang dilihat Tania dalam unggahan i*******m Ocean. Rambut cokelat bergelombang dan sepasang mata biru jernih. Tingginya pun tak jauh berbeda dengan Tania.
“Selamat datang di Williams Chateau. Silakan masuk, Tania.” Rob memberi isyarat agar Tania mengikuti langkahnya. Istrinya tetap berjalan di sisinya, sedikit jauh dari Tania. Mereka hanya bertiga yang kemudian duduk saling berhadapan di sebuah ruang tamu luas yang lebih mirip setengah dari ukuran luas aula perguruan tinggi.
“Jadi, istriku Ellaine tidak percaya dengan ceritaku kemarin malam. Apa kau keberatan menunjukkan akta kelahiranmu, Tania?”
Tania mengeluarkan secarik kertas yang telah dilaminating rapi dari dalam tasnya dan diberikannya benda itu pada Rob. Rob dan Ellaine memperhatikan isi kertas itu dengan teliti, beberapa saat kemudian Ellaine meraih kertas itu dengan tangannya yang gemetar, pandangannya teralihkan pada Tania dan sepasang mata birunya tampak berkaca-kaca.
“Kau memang Tania, putriku ....”
Ada keheningan yang canggung selama beberapa detik setelah ia mengucapkan itu. Tania benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Haruskah ia mengatakan, ya, benar, Ibu. Tentu saja ini aku? Hm, ide buruk.
Syukurlah Ellaine bisa mengatasi hal itu dengan lebih dulu beranjak dari tempat duduknya dan memeluk Tania. Tania memang tidak pernah mengalami peristiwa emosional semacam ini. Saat ia mengira ia akan tetap diam dan membiarkan kecanggungan di ruangan itu seperti mencekiknya, ia salah.
Karena di detik yang sama saat ia dipeluk oleh Ellaine, di detik itu pula Tania merasakan perasaan yang tidak pernah ia sangka selama ini begitu ia harapkan. Ellaine, ibunya, yang telah berpisah darinya selama belasan tahun akhirnya kini ada di hadapannya. Bukan, bukan hanya di hadapannya, ibunya ada dalam pelukannya.
Tania mendengarkan permintaan maafnya dan tentu saja memaafkannya juga. Paling tidak, Ellaine telah mematahkan asumsi Tania yang berpikir bahwa dia tak akan menerima bahkan sekadar mengakui bahwa Tania sebagai putrinya, apa lagi setelah menikah dengan Rob yang begitu kaya raya.
Tania yakin cerita yang sebenarnya jauh lebih rumit tapi intinya adalah, saat ibu dan ayahnya berpisah karena kondisi mental mereka yang sama-sama kacau dan menyedihkan, semua anak-anak mereka juga saling berpisah dan tak terdengar lagi kabarnya. Sampai saat ini bahkan Ellaine juga tidak pernah mendengar kabar tentang kakak-kakak Tania meski ia telah berusaha mencari ketika kondisi mentalnya jauh lebih baik. Hingga akhirnya ia bertemu Rob dan mereka menikah.
Ocean adalah anak pertama mereka. Ada juga Orion, yang kini masih di bangku sekolah dasar. Dia baru saja pulang dari sekolah ketika tiga orang itu menyelesaikan pembicaraan. Karena Orion hanya anak-anak, dia hanya bilang halo pada Tania lalu pergi ke kamarnya untuk bermain. Tapi dia anak laki-laki yang manis dan penurut.
“Jadi ... bagaimana keadaanmu, Tania? Kau tinggal sendirian?” tanya Ellaine.
“Aku baru saja pindah ke Paris dan tinggal dengan kekasihku, aku bekerja sebagai model untuk Casualads, brand fashion miliknya.” Tania memutuskan untuk tak banyak bercerita. Lagi pula ia tak punya hal menarik untuk dibagi.
Atau mungkin sebenarnya ia punya, seperti misalnya jalan-jalan berkeliling dunia dan menikmati kehidupan mewah tanpa banyak bekerja keras karena ia menjadi seorang sugar baby dari seorang pengusaha kaya raya.
Tapi tidak, lebih baik cerita itu disimpan saja.
Rob dan Tania dalam waktu singkat menjadi lebih akrab lagi. Rob juga menyukainya karena Tania peminum yang hebat dan dia menganggap itu sebagai kesmaan hobi di antara mereka. Siang itu setelah berbincang, Rob mengajak Tania berkeliling Williams Chateau dan menawarkan minum di bar pribadi yang ada di mansion itu.
“Kau suka wiski?” tanya Rob. Tania hanya mengangguk tanpa melepaskan pandangan dari barisan botol minuman serta gelas shot di dalam kabinet kaca. “Tak ada yang minum di rumah ini kecuali aku, sementara aku harus membatasi diriku agar tidak minum terlalu banyak. Jadi ya ... stok minumanku berkurang dengan begitu lambat.”
Rob menuangkan wiski ke dalam gelas dan menyodorkannya pada Tania.
“Kau tahu? Aku sebenarnya baru terbiasa minum sekitar dua tahun terakhir. Seorang pria mengenalkanku pada banyak sekali minuman mahal dan aku hampir sudah mencoba semuanya.” Tania mengosongkan gelas shot itu seketika.
“Luar biasa! Apa dia kekasihmu?” Rob tak membiarkan gelas di hadapan mereka kosong lebih lama. Ada jeda selama beberapa menit, cukup lama. Dalam masa itu tanpa disadari oleh Tania ia telah meneguk lima shot wiski, atau mungkin enam.
Tania menggeleng, menanggapi pertanyaan Rob beberapa menit yang lalu. “My daddy.”
“Oh, I’m sorry.” Rob berdecak. “Aku tidak bermaksud membuatmu sedih, kau tak perlu bercerita lebih banyak soal ayahmu jika itu memang menyakitkan.”
“Ah, tidak, tidak. Bukan ayahku tapi-” Tania menggigit bibir. Bukan salah Rob jika dia selalu salah menangkap maksud dari kalimat Tania. Dengan mata yang mulai berair, Tania memandangnya. “It’s ... another kind of daddy.”
Rob mengerutkan dahi dan balas menatapnya. Sesaat kemudian tampaknya ia menyadari maksud dari kalimat Tania.
“Kau ... punya seorang sugar daddy??”
Tania mengangguk. “Dulu. Kemudian semua jadi rumit saat aku berpacaran dengan putranya-”
“Apa?!” Rob ternganga. Itu reaksi yang wajar.
Tania menyeka hidungnya yang juga mulai berair. “Aku tidak tahu, awalnya. Orang tua kekasihku sudah berpisah sejak lama dan mereka tak lagi tinggal bersama.” Tania kembali minum dan entah kapan tepatnya, ia mulai menangis hingga berakhir dengan menceritakan semuanya dari awal hingga akhir pada Rob. Untunglah tak ada seorang pun yang mendengar percakapan itu.
Di akhir cerita Tania, Rob masih diam tanpa berkata-kata sedikit pun. Barangkali masih memikirkan kata-kata yang tepat untuk menanggapi cerita itu.
“Okay, okay, dengar ... jika sugar daddy-mu, uh maksudku, mantan sugar daddy-mu melakukan sesuatu seperti memberitahu semuanya pada kekasihmu dengan niat untuk menghancurkan hubungan kalian, dia sungguh keterlaluan,” ucap Rob akhirnya.
“Ini salahku, aku terjebak sekarang.”
“Tidak, ini bukan salahmu. Kau tak tahu apa-apa, bukan?” Rob diam sejenak sebelum akhirnya melanjutkan dengan nada bergurau, “setampan dan sekaya apa mantan sugar daddy-mu itu?”
“Sangat tampan dan sangat kaya,” jawab Tania tanpa basa-basi.
“Oh dear ....” Rob memutar matanya.
“Kau tidak percaya?” Tania menyipitkan mata lalu meraih ponsel dari dalam tas. Diketiknya nama pengguna i*******m Gerald dan sedetik kemudian profilnya muncul. Gerald jarang memeriksa media sosial tetapi ia sering mengunggah fotonya di i*******m setiap kali berkunjung ke suatu tempat. “Itu dia.”
Rob melihat layar ponsel Tania dan nyaris tersedak oleh minumannya.
“Gerald bloody Bentley?! You gotta be kidding me, kid!” ucapnya setengah berteriak.
“Memang kenapa? Itulah mantan sugar daddy-ku.”
“Ya Tuhan, aku benci pria ini.” Rob hampir membanting gelas shot-nya.
“Tunggu, kau mengenalnya??”
“Siapa yang tidak kenal dia di kalangan pengusaha sepertiku??” Rob menunjuk-nunjuk layar ponsel Tania. “Dia pernah mengalahkanku dalam sebuah lelang lukisan, mendahuluiku saat aku akan membeli sebuah situs terkenal di Inggris, dan yang paling tak bisa kulupakan, dia membuatku harus menjual perusahaan agensi milikku bertahun-tahun yang lalu!”
“Perusahaan agensi?” Tania mengerutkan dahi. “Aku pernah bekerja sebagai model di bawah perusahaan agensi miliknya, Magical Entertainment-”
“That was mine!” klaim Rob tanpa ragu, tak bisa menyembunyikan rasa geramnya.
“Tapi kenapa kau menjualnya?”
“Ceritanya panjang tapi intinya adalah, aku berniat ingin membeli kembali perusahaan itu, aku sudah bertekad akan melakukannya suatu hari nanti.” Rob kembali melihat Tania, kali ini dengan penuh keyakinan. “Kau tak perlu takut, Tania. Kau telah jadi bagian dari keluarga ini sekarang dan aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti atau bahkan membuatmu takut, terutama Gerald.”
***
Davin agak kesal saat Tania pulang begitu sore dan tak menjawab teleponnya, apa lagi mengetahui Tania cukup mabuk. Namun setelah Tania ceritakan tentang apa yang terjadi, bahwa ia telah bertemu lagi dengan ibunya, Davin begitu senang mendengarnya.
“Kau berencana mengenalkanku padanya?” tanya Davin.
“Tentu.” Tania mengangguk cepat. “Kau sibuk besok malam? Mereka ingin mengundangmu makan malam.”
“Apa pun untuk calon keluarga baruku juga.” Davin tersenyum senang dan memeluk kekasihnya.
Malam berikutnya mereka datang ke Williams Chateau. Ada Ocean yang sengaja datang dari Jerman setelah dberitahu oleh orang tuanya tentang Tania. Tania langsung lega saat Ocean menerimanya dengan baik dan mereka bisa mengobrol dengan akrab meski canggung pada awalnya. Tania lalu memperkenalkan Davin pada mereka dan ia berbaur dengan baik.
“Jadi dia putra Bentley?” Rob berbisik di dekat Tania yang langsung dibalas dengan anggukan singkat. “Tampan, tapi menurutmu lebih tampan dia atau ayahnya?”
Karena kesal dengan gurauannya yang selalu menyebalkan, Tania menginjak kaki Rob. Rob meringis tapi kemudian tertawa.
Setelah makan malam bersama, Rob mengajak Tania dan Davin untuk melihat miniatur dari konstruksi supermall miliknya yang masih dalam tahap pembangunan.
“Jika kau mau, aku akan menyediakan tempat khusus untuk Casualads, Davin.” Rob menepuk pundak Davin.
“Oh, terima kasih banyak! Aku akan sangat menghargainya!” jawabnya.
“Jadi, aku mendengar dari Tania bahwa ayahmu adalah Gerald Bentley. Aku mengenalnya dan akan sangat senang jika kau bersedia mempertemukan kami untuk membicarakan soal bisnis. Sudah lama sekali tidak bertemu dan aku sudah kehilangan kontak dengan pria hebat itu.”
“Sepertinya aku hanya bisa memberikan kontak ayahku saja. Aku tak bisa memastikan apakah ayahku bisa diajak bertemu. Lagipula aku tidak terlalu mengerti soal bisnis macam itu.”
“Tidak masalah, kau berikan padaku nomor teleponnya, itu sudah cukup.” Rob mengeluarkan ponselnya lalu mencatat nomor telepon Gerald.
Saat pulang dari Williams Chateau, Tania tak bisa berhenti memikirkan tentang apa yang akan dilakukan Rob selanjutnya.
“Rob tampak seperti pengusaha yang hebat,” kata Davin setelah mereka sampai di rumah. “Jika dia memang berteman dekat dengan ayahku, itu bisa membuat hubungan keluarga kita lebih akrab lagi, kan?”
Tania hanya mengangguk singkat menanggapi ucapannya, berharap Rob benar-benar akan melindunginya dari bayang-bayang Gerald meski ia tak yakin bagaimana caranya.
***
Sudah beberapa hari Tania tak mendengar apa pun dari Rob. Semuanya berjalan cukup baik dengan bisnis Davin serta kegiatan pemotretan Tania. Hari itu Tania sedang menjalani pemotretan untuk produk sepatu Casualads saat Rob mengiriminya pesan.
“Kirimkan lokasimu. Aku akan menjemputmu saat jam makan siang x.”
Tania membereskan barang-barangnya, Rob datang tepat di jam makan siang. Ia menyetir sendiri BMW X7 miliknya yang berwarna biru gelap.
“Mau dengar cerita? Aku baru saja membeli kembali Magical Entertainment milik Bentley.”
Sepenggal cerita pembuka itu mengejutkan Tania lebih dari apa pun. Bagaimana bisa? Seolah membaca pikiran Tania, Rob kembali melanjutkan ceritanya.
“Aku menghubunginya, kami bertemu, mengobrol singkat, aku bertanya apa dia sedang tidak berniat menjual salah satu propertinya dan kau tau apa? Dia menatapku lekat-lekat lalu seperti bisa membaca pikiranku, dia bilang, ‘kau ingin perusahaan agensimu kembali? Beli saja, aku jual lagi padamu sekarang.’ Oh, aku bersumpah itu adalah negosiasi paling mudah sepanjang karirku!” Rob tampak begitu bersemangat.
“Aku tidak percaya.” Tania menggeleng.
“Aku juga tidak!” balas Rob, “tapi memang benar dia bersedia menjualnya kembali. Rasanya seperti aku telah menggunakan sihir untuk memengaruhinya dalam sekejap saja.”
Tania masih berusaha mempercayai cerita Rob. Menurutnya, harusnya Gerald punya alasan kenapa ia bersedia menjual perusahaan itu tanpa pikir panjang. Itu memang bukan satu-satunya bisnis miliknya, lagipula jika ia menjual satu, tak akan berpengaruh banyak bagi kekayaannya. Tetap saja, semua ini membuat Tania berprasangka.
Mungkinkah?
Mungkinkah Gerald menjualnya karena selama dua tahun terakhir, Tania menjadi alasan utamanya selalu bolak-balik berkunjung ke kantor itu?
Namun Tania sadar bahwa kecil kemungkinannya. Itu akan jadi alasan konyol. Pertama, Tania tidak berpengaruh banyak karena hanya bekerja sebagai salah satu dari banyak model di sana. Ke dua, itu hanya kantor. Gerald seharusnya tak perlu repot-repot menjual seluruh perusahaan hanya karena kantornya mengingatkannya akan Tania.
Gerald sulit ditebak.
“Jadi kemana kita akan pergi sekarang?” tanya Tania setelah dua puluh menit mereka berkendara.
“Menemui pria itu di salah satu kantornya untuk menyelesaikan penyerahan semua dokumen. Notaris dan pengacaraku sudah lebih dulu ada di sana.”
“Kenapa aku harus ikut?”
“Ini bagian dari yang pernah kubicarakan. Kita harus membuat dia tahu bahwa kini kau tak sendirian. Kau punya keluarga dan kami akan melindungimu.”
Mata Tania menghangat. Ia meraih lengan Rob dan memeluknya erat. Ia tidak bisa sepenuhnya memeluk ayah tirinya itu karena dia sedang menyetir. “Terima kasih,” bisiknya, nyaris menangis.
“You should call me dad from now on,” balas Rob.
Mereka sampai di kantor Gerald dan segera menuju ruangannya.
“Selamat siang semuanya!” Rob berseru ceria pada semua orang yang ada di ruangan itu. Gerald mengangkat wajahnya dan terlihat perubahan ekspresinya seketika. “Aku baru saja menjemput putriku dan karena waktuku begitu sempit, aku sangat buru-buru jadi sekalian saja menuju ke sini karena putriku sedang tidak sibuk.”
Dua pria lain yang tak lain adalah notaris dan pengacara tampak tidak peduli dengan cerita Rob kecuali Gerald yang tak bisa berhenti memandangi mereka berdua secara bergantian seolah tak mempercayai kalimat yang baru saja diucapkan Rob.
Penyerahan dokumen itu berjalan sekitar satu jam dan sangat membosankan bagi Tania. Setelah selesai dan dua pria itu pergi, Rob akhirnya pamit.
“Tunggu,” cegah Gerald saat Tania dan Rob bersiap melangkah ke luar dari ruangannya. “Aku mengenal gadis ini. Aku tahu kau berbohong, Tuan Williams ... kau tidak mungkin ayah dari Tania.”
Rob terkekeh. Ia tersenyum tenang sementara jantung Tania berdebar keras, menerka apa yang kira-kira akan diucapkannya setelah ini.
“Hanya karena kau mengenalnya dua tahun lebih dulu dariku dan pernah memanjakannya sebagai seorang sugar baby, bukan berarti kau bisa menjustifikasi bahwa Tania bukan putriku,” ucap Rob dengan lugas. “Tania adalah putri istriku, dan itu artinya ... dia putriku juga.”
Gerald terdiam tanpa bisa berkata-kata lagi.
“Senang berbisnis denganmu, Tuan Bentley.” Rob meraih tangan Tania dan keduanya melangkah pergi dari sana.
Di mobil, mereka tertawa begitu keras.
“Apa kau lihat wajahnya tadi? Merah nyaris seperti dedaunan di musim gugur!” Rob menyeka air mata dari sudut matanya. Tania bahkan tak bisa cukup berterima kasih. Sepertinya ini akan menjadi awal yang baik.
Hari-hari Tania jadi jauh lebih sibuk ditambah lagi Davin yang melakukan renovasi besar di lantai tiga tokonya. Siang itu Tania sibuk membereskan dan mengatur ulang sebagian besar letak barang-barang yang ada di lantai satu dan dua. Davin sedang pulang ke rumah untuk memeriksa sesuatu dan para pekerja konstruksi masih belum muncul untuk memulai pekerjaan mereka setelah makan siang.Hanya kemudian kedatangan Gerald yang seketika membuatnya terkejut dan panik, bertanya-tanya untuk apa dia datang? Apa lagi rencananya?“Apa lagi yang kau inginkan?” Tania menyembunyikan rasa takutnya.“Ada yang harus kita bicarakan.” Gerald melangkah lebih dekat. Tania langsung menghindar tapi Gerald malah mengikutinya. Bahkan saat Tania mulai berlari ke lantai atas, Gerald masih terus mengikuti dengan langkah yang lebih cepat. “Tania! Tunggu!”Lantai tiga penuh dengan barang-barang konstruksi yang berantakan serta debu yang menyesakkan pern
Tania menunggu di sebuah café kecil yang berada tak jauh dari flatnya. Ia hanya mengikuti instruksi Rob tentang jam pertemuannya dan sama sekali tak berkomunikasi dengan lelaki yang akan dikenalkannya ini. Setelah menunggu hampir dua puluh menit, seseorang menghampiri.Tania mengangkat wajahku untuk melihatnya. Lelaki muda dengan rambut hitam dan kulit karamel serta sepasang mata cokelat yang harus diakui Tania amat menawan. Lelaki itu menatapnya dengan ekspresi datar sebelum akhirnya mengangkat alisnya sebagai tanda menyapa.“Kau putri Rob?”Selama beberapa saat Tania terdiam hingga akhirnya lelaki itu memetik jari di wajahnya.“Ah, iya. Benar.” Tania menggeleng dan berusaha fokus kembali. Mereka duduk berhadapan.“Caspian,” ucapnya singkat.“Itu namamu atau ....”“Kau berpikir aku sedang menyebutkan nama danau terluas di dunia secara random pada orang yang baru ku
Hari itu untuk pertama kalinya Tania pergi ke kantor dengan tenang dan menjalani aktivitas dengan bahagia, tanpa tekanan, tanpa rasa takut atau kegelisahan tentang Gerald yang terus mengikuti. Ide Rob tampaknya memang benar-benar berhasil meskipun kedengarannya begitu menyedihkan bagi Tania saat ia harus memiliki kekasih di sisinya agar Gerald benar-benar menjauh.Keceriaan itu bertahan hingga sore hari, ketika Caspian datang untuk menjemput, Tania segera menyadari perubahan mood-nya yang tidak biasa dan itu membuatnya merasa heran.Maksudnya, tentu saja dia memang kadang menyebalkan dan tidak banyak bicara, ekspresi wajahnya juga lebih sering membuat Tania merasa seperti Caspian meminta agar ditinju saja, tapi sore itu dia memang berbeda dan satu lagi, dia memakai kacamata hitam.“Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?”Caspian memberikan helm pada Tania tanpa menjawab pertanyaannya sama sekali. Begitu juga di sepanjang perjalanan, ta
“Kau tidak masuk kerja hari ini?” tanya Caspian saat mereka menyelesaikan sarapan.“Tadinya aku ada jadwal syuting iklan untuk salah satu produk minuman milik Rob, tapi kurasa aku bisa menundanya. Dia tidak sedang buru-buru.” Tania membersihkan peralatan makannya.“Rob punya produk minumannya sendiri? Aku tidak tahu itu.”“Dia baru meresmikannya beberapa hari lalu, katanya. Tapi aku juga belum mencobanya, sih.” Tania mengedikkan bahu. “Aku bilang padanya aku ingin istirahat sebentar dan dia memberiku waktu seminggu.”“Hidup jauh lebih mudah saat ayahmu menjadi bos di tempat kerjamu sendiri, ya?”“Percayalah, takdir itu sesuatu yang rumit dan penuh kejutan,” sahut Tania sambil tersenyum simpul sebelum akhirnya mencuci piring.“Well, karena kau juga libur, bagaimana jika kau ikut aku saja? Jalan-jalan.”Tania menoleh. Ekspresi wajah
Mereka berdua bangun saat jam menunjukkan lewat pukul sepuluh pagi. Badai tadi malam kelihatannya cukup buruk karena salah satu pohon yang berada tak jauh dari rumah Caspian tumbang. Beruntunglah tak ada rumah di dekatnya.“Ah, pohon itu memang sudah tua,” ujar Caspian sembari memandanginya dari depan pintu.“Semua yang ada di sini sepertinya memang sudah tua, ya?” Tania mengangkat alis. Caspian lalu melihatnya dengan ekspresi datar.“Memang.”“Tapi cuacanya kelihatannya akan cerah hari ini.” Tania memperhatikan langit. Biru dan tak ada awan.“Benar, waktu yang tepat untuk mengunjungi peternakan kuda Eric.”“Peternakan apa?” Tania mengerutkan dahi.“Eric, teman lama ayahku. Di punya peternakan kuda yang tidak terlalu jauh dari sini. Ayo.” Caspian meraih jaketnya dan bersiap mengunci pintu.“Kita akan jalan kaki?”“Tidak
Catherine memandangi elektrokardiogram yang terus menunjukkan aktivitas jantung putranya. Davin, lelaki muda itu kini terbaring tak sadarkan diri di ruangan ICU setelah kecelakaan fatal yang dialaminya kemarin malam. Tak butuh waktu lama bagi Catherine untuk segera mengambil penerbangan menuju Paris setelah mendapat telepon dari salah satu karyawan Davin.Di sinilah ia sekarang. Ia butuh waktu begitu lama untuk mencerna kejadian buruk yang menimpa putranya sebelum akhirnya menyadari sesuatu.Tak ada satu pun orang yang dikenalnya, berada di sini, di dekat Davin.Gerald ayahnya? Mungkin dia sibuk dan belum mendapat kabar ini, tapi ... Tania? Di mana gadis itu? Bukankah dia calon istri Davin? Apa yang terjadi?Catherine menyeka air mata dari wajahnya sekali lagi. Ia tidak sanggup terus berada di sini untuk memandangi putranya yang masih belum sadar dan berada dalam kesakitan, tapi ia tak bisa pergi dan meninggalkan Davin sendiri.Sembari men
Bel istirahat telah berbunyi dan semua anak-anak keluar dari ruang kelas mereka, berlarian menuju taman, kantin atau toilet. Namun berbeda dengan Gerald yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke tujuh belas tadi malam, ia kini berlari menuju belakang gedung sekolah untuk menemui gadis yang sangat dicintainya secara diam-diam tanpa diketahui oleh guru atau teman-temannya.Dia akan menemui kekasihnya, dengan sepotong besar kue ulang tahun yang sengaja disimpannya dari acara potong kue bersama keluarganya tadi malam, agar ia bisa berbagi dengan gadis itu hari ini di sekolah. Ia tak bisa membeli kue yang baru karena uang sakunya telah habis disisihkannya untuk mengikuti les piano setiap akhir pekan. Sementara di tangan lainnya, ia membawa sebatang lili berwarna putih, bunga favorit gadis itu. Lili itu juga tak dibeli Gerald. Ia memetiknya dari kebun milik ibunya yang ada di halaman belakang rumah, secara diam-diam.Tak masalah, kekasihnya itu bukan gadis yang cerewet
“Ayah! Ayolah mainkan Love Dream-nya Liszt lagi!” Anak lelaki yang manis itu sejak tadi menarik tangan Gerald untuk menuju piano besarnya.“Baiklah, baiklah, hanya sebentar saja, ok? Ayah harus pergi sebentar lagi.” Gerald mengusap kepala anak itu, Davin, putranya.“Indah sekali ....” Davin menyimak permainan piano ayahnya dengan bahagia. Sedikit yang ia ketahui, bahwa dalam hati ayahnya ia tengah memikirkan banyak sekali hal lain di luar sana, hal-hal yang tak seharusnya dipikirkannya lagi, tetapi semua itu tetap menghantuinya dan membuatnya terjaga setiap malam.Keberadaan Ellaine.Ia tahu ini salah. Ia kerap pergi dan berkendara dengan mobilnya selama berjam-jam setiap akhir pekan dengan alasan mengurus pekerjaan, padahal sebenarnya, ia berkeliling ke setiap sisi dan sudut kota London untuk mencari Ellaine, tanpa menghiraukan Catherine yang telah menjadi istrinya selama bertahun-tahun.Hal in