Share

Chapter 11: Leaving

Hari-hari Tania jadi jauh lebih sibuk ditambah lagi Davin yang melakukan renovasi besar di lantai tiga tokonya. Siang itu Tania sibuk membereskan dan mengatur ulang sebagian besar letak barang-barang yang ada di lantai satu dan dua. Davin sedang pulang ke rumah untuk memeriksa sesuatu dan para pekerja konstruksi masih belum muncul untuk memulai pekerjaan mereka setelah makan siang.

Hanya kemudian kedatangan Gerald yang seketika membuatnya terkejut dan panik, bertanya-tanya untuk apa dia datang? Apa lagi rencananya?

“Apa lagi yang kau inginkan?” Tania menyembunyikan rasa takutnya.

“Ada yang harus kita bicarakan.” Gerald melangkah lebih dekat. Tania langsung menghindar tapi Gerald malah mengikutinya. Bahkan saat Tania mulai berlari ke lantai atas, Gerald masih terus mengikuti dengan langkah yang lebih cepat. “Tania! Tunggu!”

Lantai tiga penuh dengan barang-barang konstruksi yang berantakan serta debu yang menyesakkan pernapasan, Gerald masih saja bersikeras mengikuti hingga Tania tak bisa menjauh lagi.

“Apa yang ingin kau bicarakan? Kau ingin aku membayar semua yang telah kau berikan padaku selama ini? Katakan saja berapa uang yang kau inginkan,” ucap Tania tegas meski sebenarnya ia hanya asal bicara. Jujur saja, mana mungkin ia bisa membayar semua uang yang selama ini telah dihabiskan Gerald saat dia menjadi sugar daddy-nya.

“Aku tidak ingin itu, hanya ... aku hanya ingin kau tahu bahwa aku mencintaimu.”

Jantung Tania nyaris berhenti. Kini ia harap Gerald hanya asal bicara. Apa dia sudah gila? Berapa banyak sugar daddy yang berakhir dengan jatuh cinta pada sugar baby mereka sendiri? Pikirnya.

“Cukup! Kau harus melupakanku. Aku akan menikah dengan Davin, putramu sendiri!”

“Aku akan berikan semua yang kau inginkan bahkan seluruh dunia asalkan kau bersedia untuk tetap bersamaku-”

“Apa kau sudah gila?!” sergah Tania.

“Ya!”

“Gerald, mantan istrimu masih mencintaimu, dia wanita yang paling mencintaimu dengan tulus!” Entah dari mana Tania terpikir untuk membahas itu meski kecil kemungkinan Gerald akan mendengarkan dan memikirkan soal itu.

“Aku tidak peduli.”

Yep, Tania sudah menduganya.

“Apa kau tega menghancurkan hati Davin??” Tania mencoba topik lain. Gerald terdiam selama beberapa saat, membalas tatapannya.

“Aku akan membawamu pergi jauh dan menghilang dari kehidupannya.”

“Kau keterlaluan,” Tania tak berusaha menyembunyikan nada jijik dalam kalimatnya.

Gerald terus melangkah mendekat dan Tania terus mundur untuk menghindarinya hingga tanpa sadar kakinya tersandung balok kayu dan tubuhnya nyaris terjungkal ke belakang, di mana tepat terdapat jendela yang belum dipasang kaca atau penghalang apa-apa.

“Tania!” Gerald berseru saat Tania hampir terjatuh. Dengan sigap Gerald meraih tangan perempuan itu dan menariknya menjauh dari sana. Tarikannya yang spontan dan sangat kuat membuat Tania seketika masuk ke dalam pelukannya.

Secepat  mungkin Tania melepaskan diri dan segera turun ke lantai bawah. Dalam pikirannya yang kalut bahkan ia tidak akan marah jika seandainya Gerald membiarkannya jatuh saja. Mungkin mati akan jadi lebih baik dari pada harus menghadapi konflik semacam ini, pikirnya.

Beberapa pekerja konstruksi datang dan mulai mengerjakan pekerjaan mereka. Karena toko mulai ramai, Gerald pergi dari sana dan mereka sama sekali tak saling mengucapkan sepatah kata pun setelah kejadian itu.

***

Setelah berhari-hari sibuk dengan pekerjaan dan tak pernah membicarakan tentang rencana pernikahan, malam itu Davin kembali menyinggung soal gaun. Dia menunjukkan beberapa desain gaun di ponselnya yang semua desain itu didapatkannya dari saran teman-teman terdekatnya. Tania hanya terus mengangguk setuju saat Davin memuji setiap desain gaun yang ditunjukkannya.

“Kau sama sekali tak mengatakan apa pun sejak tadi, Tania.” Davin meletakkan ponselnya. “Ayolah, tidakkah kau punya pendapat?”

Pendapat? Bagaimana Tania bisa berpendapat jika seisi kepalanya dipenuhi oleh bayang-bayang Gerald yang membuatnya semakin gelisah? Apa lagi setelah kejadian beberapa hari lalu dan semua perasaan cinta yang diungkapkannya pada Tania. Semua ini jelas jauh di luar kendalinya.

“Tania?” Davin menepuk punggung tangan kekasihnya pelan. Tania memandangnya, sudah berapa lama mereka bersama? Sudah sejauh mana mereka sekarang? Davin begitu percaya padanya dan tak pernah mempertanyakan apa pun sementara kini Tania tengah menyimpan rahasia besar darinya. Rahasia yang jika dibuka hanya ada dua kemungkinan, hubungan mereka akan tetap berlanjut atau hancur dalam sekejap.

Dan kemungkinan ke dua jauh lebih besar.

“Kau tahu apa yang kupikirkan, Davin?” Sesuatu dalam diri Tania seperti memaksa agar melakukan hal yang tidak seharusnya ia lakukan.

“Apa?” Davin balik bertanya.

“Aku ingin kita saling jujur dan mengungkapkan rahasia kita masing-masing sebelum kita benar-benar menikah.”

Davin mengangkat alis. Tania tidak biasanya menjadi orang yang menginisiasi kegiatan membuka rahasia semacam ini dalam hubungan mereka tapi kali ini ia tidak tahu apa lagi hal yang benar atau tidak. Dua-duanya akan terasa salah. Membuka rahasianya dan kehilangan Davin sebagai risikonya, atau tetap menutupinya hingga akhirnya Davin mengetahuinya sendiri—atau mungkin juga karena Gerald yang memberitahunya—dan risikonya sama saja, Davin juga akan meninggalkannya, pasti. Bahkan jadi lebih menyakitkan jika seandainya mereka sudah menikah.

“Baiklah, siapa yang mulai lebih dulu?” Davin tersenyum. Seandainya ia tahu bahwa perempuan di hadapannya kini sebentar lagi akan menghancurkan senyumannya.

“Kau saja,” kata Tania dengan volume yang amat kecil seperti sedang berbisik. Sungguh, ia hanya sedang menahan diri agar tidak menangis.

Okay, rahasiaku adalah ... sebenarnya aku suka nanas sebagai topping pizza!”

Wow, itu hampir tidak bisa diterima oleh Tania tapi baiklah. Setidaknya dia sudah jujur.

“Sekarang giliranmu!” Davin tampaknya begitu antusias dengan ide bahwa Tania akan menghancurkan hubungan mereka dalam beberapa detik.

“Davin, sebenarnya aku ....”

“Ya?”

“Aku pernah menjadi sugar baby ayahmu selama dua tahun lamanya, aku mengenalnya sebelum aku mengenalmu dan saat kau mengenalkan kami berdua, itulah saat kami baru menyadari semuanya.”

Hening. Tak ada yang bicara. Davin terdiam dan ekspresi wajahnya sama sekali tak terbaca. Butuh beberapa saat bagi Davin sebelum ia siap mengatakan sesuatu. Dan beberapa menit setelah pengakuan Tania itu, tampaklah kilatan amarah di sepasang matanya. Sesuatu yang jelas tak pernah dilihat Tania seumur hidupnya, sepanjang hubungan mereka.

“Kau menjadi sugar baby ayahku? Dua tahun??” Davin menggeleng tak percaya. “Dan selama waktu dua tahun itu ... apa yang sudah terjadi di antara kalian??”

“Well, banyak hal yang terjadi ….” Tania menunduk, menggigit bibirnya. “Aku tidak yakin kau akan mau mendengarnya-”

“Kau juga tidur dengannya?!” sergah Davin.

“Davin, dengar, aku mengalami situasi yang amat sulit selama bertahun-tahun. Pertemuanku dengan ayahmu sungguh satu-satunya hal yang membuatku bisa keluar dari itu semua-”

You fuckin’ whore!” maki Davin, sama sekali tak memberi kesempatan Tania untuk menyelesaikannya.

Tania terkesiap. Ia tak percaya Davin baru saja memaki dan menyebutnya perempuan jalang. Meski dalam hati Tania, ia juga bertanya-tanya apakah ia pantas atas itu atau tidak.

Davin menghela napas panjang dan kembali diam. Beberapa saat kemudian ia beranjak dari tempat duduknya dan melangkah pergi. Tania mengangkat wajahnya dan melihat Davin masuk ke dalam kamar. Tania mengikuti langkahnya dan ketika ia berada di pintu kamar, terlihat Davin memasukkan barang-barang Tania ke dalam koper.

Seolah mengerti apa yang ada di pikirannya dan Tania juga mengerti bahwa ia seratus persen pantas akan apa pun yang selanjutnya akan ia terima, ia hanya diam saja berdiri di ambang pintu, memandangi kekasihnya memasukkan semua barang-barang dan memastikan tak ada yang tertinggal.

Tanpa menghiraukan keberadaan Tania, Davin menarik koper-koper itu ke pintu depan. Langkah kaki Tania lambat menyusulnya dan saat ia sampai di pintu depan, Davin menyodorkan ponselnya.

“Pesan uber dengan tujuan ke mana saja, terserah kau,” ucap Davin dingin tanpa melihat Tania sama sekali.

“Tidak perlu.” Tania mengeluarkan ponselnya. “Aku bisa memesannya melalui ponselku sendiri.”

“Itu bagus.”

Dengan jemari yang gemetar Tania mengetikkan alamat rumah Rob sebagai tujuan. Air mata yang memenuhi matanya begitu memburamkan pandangan hingga ia terpaksa harus menumpahkannya, membiarkan tetesan air jatuh membasahi layar ponselnya tepat sebelum ia mengklik order.

Kurang dari tiga menit, mobil datang. Tanpa berkata-kata Davin menarik koper-koper tadi dan memasukkannya ke dalam mobil. Tania melangkah masuk ke dalam mobil dan si pengemudi segera melaju, membawanya menjauh dari rumah Davin dengan si pemiliknya diam mematung di depan pintu.

Rob dan Ellaine terkejut melihat kemunculan Tania yang tiba-tiba dengan banyak bawaan dan tangisan tersedu-sedu. Tania hanya sanggup memberi penjelasan singkat bahwa Davin dan dirinya bertengkar hebat hingga putus dan Tania tak bisa lagi tinggal di rumahnya.

“Sering kali perpisahan memang menjadi jalan terbaik.” Ellaine memeluknya dan berusaha menenangkan sebab Tania sudah setengah jam duduk di ruang tamu dan masih saja menangis hingga air matanya tak menetes lagi dan ia mulai khawatir. “Beristirahatlah, kau mengalami hari yang berat.”

Ellaine benar, tapi Tania merasa bahwa ia memang pantas mendapatkannya. Ellaine mengantarnya ke kamar tamu. Tangisnya sudah cukup reda dan ia berusaha untuk tidur, bahkan tak dihiraukannya lagi barang-barang yang tadi ia bawa. Ia akan mengurusnya besok.

Belum lagi Tania memejamkan mata, sebuah pesan masuk. Dari Rob.

“Ke halaman belakang sekarang. Kita harus bicara.”

Dengan langkah gontai Tania menuju ke halaman belakang di mana terdapat kolam renang di sana. Hanya salah satunya, masih ada kolam renang lagi di lantai bawah tanah.

Rob tampak duduk tenang di tepi kolam dengan kedua kakinya berada di air.

“Apa yang terjadi?”

“Aku memberitahunya soal Gerald dan dia marah lalu mengusirku.”

Rob tertegun dan menatapnya tak percaya. Memang, tak satu pun dari yang baru saja dikatakan Tania masuk dalam penjelasan awal yang beberapa saat sebelumnya ia ceritakan pada Rob dan Ellaine.

“Kenapa?” suaranya mencoba terdengar tetap tenang.

“Aku merasa tak bisa menyembunyikannya lebih lama lagi, Rob-”

Ayah,” sahut Rob memperbaiki kalimat Tania.

Well, aku tak bisa menyembunyikannya lebih lama lagi ... Ayah.” Tania mengerutkan dahi. “Kedengarannya aneh tapi baiklah. Maksudku, sampai kapan? Jika kami menikah dan pada akhirnya dia tahu, dia juga akan meninggalkanku, kan? Lebih baik sekarang saja.”

“Lalu apa rencanamu selanjutnya?”

“Kembali ke London, mungkin. Tapi aku tidak tahu apa yang akan kulakukan.”

“Aku tahu, dan kuharap ini bisa membantu.”

“Rob, kau sudah membantuku jauh banyak dari yang bisa kau bayangkan.” Tania memandangnya sedih.

Ayah.” Kini ia memandang putri tirinya dengan gemas.

“Baiklah, Ayah!” teriak Tania memenuhi halaman belakang yang luas itu. Rob tertawa dan menepuk punggungnya.

“Dengar, kau bisa tinggal di salah satu flat lamaku yang ada di London dan kau bisa bekerja lagi di Magical Entertainment, sekarang aku pemiliknya dan aku bisa lakukan apa yang kumau, kan?” Ia tersenyum begitu tulus. “Apa itu cukup?”

Tangis Tania pecah. Ia tidak tahu kebaikan apa yang telah ia perbuat hingga semesta mempertemukannya dengan Rob dan segalanya terasa lebih mudah meski di situasi tersulit sekali pun.

“Kau bertanya apa itu cukup??”

“Oh, masih kurang? Baiklah, kalau begitu kau urus saja perusahaan itu dan bantu aku, ok?”

Tania menepuk punggungnya dengan keras. “Yang pertama sudah lebih dari cukup! Lagipula aku tidak tahu apa-apa soal bisnis semacam itu. Bisa-bisa perusahaanmu bangkrut dalam waktu setengah hari saja jika aku yang mengurusnya.”

“Baiklah kalau begitu jangan, kau jadi model saja.” Rob mengedikkan bahu.

“Kau tidak mau mengajakku minum?” canda Tania meski sebenarnya lebih terdengar menyedihkan karena ia baru saja menangis dan kedua matanya sembap parah.

“Aah, kau terlambat datang. Aku sudah minum tadi sebelum kau tiba dan aku sudah mencapai batas minum untuk hari ini.”

Setelah mengobrol dan memikirkan ini-itu, mereka sepakat bahwa Tania akan berangkat ke London besok.

“Untung saja aku belum sempat mengeluarkan barang-barang dari koperku.” Tania memandangi pantulan cahaya lampu-lampu halaman belakang di atas permukaan kolam renang.

***

Ellaine kurang senang dengan keputusan bahwa Tania akan kembali ke London. Ia berharap putrinya itu tetap tinggal bersama mereka saja, tapi Tania mencoba memberinya pengertian bahwa dirinya butuh menenangkan diri dan yang jelas, jauh dari Paris. Pada akhirnya Ellaine tak mengatakan apa pun selain memberi pelukan hangat yang begitu lama dan sedikit air mata.

London dan Paris begitu dekat, bukan?

Flat milik Rob ternyata cukup besar. Bahkan jauh lebih besar dari flat lama Tania yang dulu dibeli oleh Gerald. Selama satu minggu ia hanya bermalas-malasan sebelum akhirnya siap untuk kembali beraktivitas, bekerja di Magical Entertainment yang dulunya milik Gerald.

Rob mengurus semuanya dengan baik. Saat Tania sampai, ia bahkan sudah diberitahu tentang jadwal syuting dan pemotretan yang akan ia jalani mulai hari itu dan beberapa minggu ke depan tanpa harus berbicara lebih banyak dan menjelaskan keberadaannya di sini. Hanya beberapa rekan yang dulu cukup mengenalnya yang bertanya kenapa ia kembali ke London.

Tak banyak yang bisa Tania ceritakan pada mereka selain inti dari apa yang terjadi: Davin dan dirinya bertengkar, mereka putus, Tania tidak lagi tinggal bersamanya. Sesederhana itu.

Sayangnya, hari-hari yang normal hanya bertahan kurang dari satu bulan.

Di suatu sore ketika Tania bersiap pulang, Gerald muncul di kantor itu. Ia duduk di dekat pintu masuk dan jelas sekali menunggu kemunculan Tania.

Tania tak lagi melangkah mundur untuk menghindar. Ia sudah putus dengan Davin, apa lagi yang bisa Gerald lakukan untuk mengancam dan menakut-nakutinya? Tania tidak akan takut kali ini.

Ia melangkah menghampiri Gerald. Ketika sudah cukup dekat, baru disadari oleh Tania bahwa di wajah Gerald terdapat beberapa luka. Sebelah matanya membiru dan ada luka sobek di bibirnya. Tampaknya beberapa luka tertutup riasan dengan cukup baik tapi tetap saja wajahnya terlihat seperti seorang atlit tinju yang baru saja selesai bertarung.

“Kau bisa menebak apa yang terjadi?” Gerald beranjak dari tempat duduknya. Tania hanya diam. “Baiklah, akan kuberitahu. Aku pergi untuk menemui Davin dan dia langsung menghajarku.”

Mata Tania membulat dan ia hampir terkesiap. Gerald terkekeh.

“Itu benar. Aku begitu mengagumi keberanianmu dalam mengambil risiko, Tania. Kau bahkan sanggup membuat Davin begitu marah hingga ia menghabisi ayahnya sendiri. Kau menghancurkan hubungan ayah dengan anaknya.”

Ingin sekali Tania menamparnya. Bagaimana Gerald bisa menyalahkannya sepenuhnya sementara Gerald sendiri mengaku bahwa dia mencintai Tania??

“Ada apa? Kau sudah merasa aman sekarang? Ah, aku tahu. Pasti karena ayah tirimu yang sangat sayang padamu itu, kan?” Gerald berdecak. “Terkaanku memang benar, cepat atau lambat kau akan kembali ke kantor ini.”

“Tak sedikit pun dari apa yang terjadi di hidupku kini ada urusannya denganmu. Kau harus berhenti menjadi seperti psikopat yang terus mengikutiku,” ucap Tania akhirnya.

“Aku mencintaimu-”

“Aku tidak.” Secepat mungkin Tania melangkah keluar dari kantor dan menghentikan sebuah taksi.

Sesampainya di flat, Tania mengunci rapat pintu serta menutup semua tirai jendela. Ungkapan perasaan Gerald yang terus-terusan diulang olehnya membuat Tania menyesal. Ia mendadak ingat akan semua waktu dan saat-saat yang mereka habiskan bersama. Jika dipikir-pikir, Gerald memang tidak sepenuhnya salah jika semua itu membuatnya benar-benar memiliki perasaan sungguhan untuknya.

Tapi tidak, tidak bisa. Tania tahu dia tidak bisa membiarkan ini. Dia tidak bisa dan tidak akan memberi Gerald kesempatan.

“Apa semuanya berjalan baik? Kau belum menelepon selama beberapa hari.” Malam itu Rob menelepon di tengah kesibukan Tania, melamun.

Lagi-lagi ia berakhir dengan menceritakan apa yang terjadi sambil menangis.

“Maafkan aku karena sudah begitu merepotkanmu, tapi aku tidak menyangka Gerald benar-benar mengikutiku terus.”

Ada jeda sejenak sebelum Rob akhirnya kembali bicara, memberikan solusi yang hanya orang macam dirinya saja yang bisa berpikir seperti itu. “Ini ide terakhirku. Untuk membuatnya menjauhimu, kau harus punya kekasih atau paling tidak, terlihat seperti punya kekasih.”

“Tunggu, kenapa?”

“Kau mungkin akan kecewa tapi percayalah, pria cenderung lebih menghargai penolakan dari wanita yang sudah memiliki pasangan dibandingkan wanita yang masih sendiri.”

“Apa??” Tania mengerutkan dahi meskipun Rob tak bisa melihatnya.

“That’s right, kid. Everything seems so unfair for ladies.”

“Tapi aku tidak punya teman pria yang dekat denganku.”

“Ah! Aku kenal seorang lelaki muda yang tampan dan seumuran denganmu, aku akan minta anak itu menemuimu segera.”

“Menurutmu ini akan berhasil?” Tania tak berusaha menyembunyikan keraguan dalam kalimatnya.

“Mari kita lihat saja.” Rob terdengar lebih meyakinkan jadi Tania merasa tidak ada salahnya.

“Baiklah, apa pun asalkan Gerald menjauh dariku.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status