Tidak ada gairah hari ini, yang dilakukan Riri hanyalah menangis, menangis dan menangis setelah suaminya itu benar-benar pergi dari rumah. Berkali-kali dia menyadarkan dirinya agar tidak terlalu berlebihan menyikapi sejumlah permasalahan yang sedang ia hadapi. Namun berkali-kali juga kenangan indah terbayang di pikirannya. Tidak mudah baginya menghapus semua kenangan yang biasa ia lakukan bersama selama enam tahun belakangan ini bersama Ilham. Di sini, di tempat ini.Bagaimana mungkin seorang Ilham yang ia kenal begitu lembutnya mencintai dirinya tega berbuat demikian? Riri sama sekali tidak menyangka.Betapa awal pertemuan mereka sangat indah. Bekerja sambil menjalin cinta. Pulang pergi berboncengan bersama. Tak lama kemudian menikah, bulan madu, pindah rumah sendiri, lewat satu bulan setelanya ia langsung hamil Fadly. Mereka merasakan kebahagiaan luar biasa saat pertama kali menjadi orang tua. Selang beberapa tahun kemudian, mereka kembali di anugerahi seorang anak laki-laki lag
Tanpa Riri ketahui sebelumnya, ternyata kedatangan Ustaz Syarif datang ke sini selain menjenguk muridnya yang baru saja di khitan, beliau juga mempunyai maksud lain. Yakni mengantar keponakannya untuk melamar sang pujaan hati. Apabila ada yang bertanya, di mana orang tua Panji, mereka sudah tiada semenjak lama. Oleh karenanya, Panji menggandeng Pamannya sebagai wakil orang tua satu-satunya. Hmm. jangan ditanya lagi bagaimana perasaan Riri dan keluarga. Terkejut? Ya, tentu saja. Itu sudah pasti.Riri tidak menyangka bahwa dia dilamar secara dadakan seperti ini tanpa ada pembicaraan terlebih dahulu sebelumnya. Beberapa hari yang lalu, mereka memang sempat berkomunikasi lewat pesan singkat. Namun Panji hanya menanyakan kesediaannya jika ia datang ke rumah. Tetapi sungguh, Riri tidak paham karena ternyata inilah yang dimaksud oleh pria itu. Jangankan bertanya bagaimana perasaannya atau kesiapannya untuk menikah lagi setelah bercerai dengan Ilhamâdekat sajaârasanya tidak pernah. Dia ma
âRi, besok kakak-kakakmu mau datang. Sudah lama mereka nggak jenguk Ibu, jadi rencananya mereka mau ke sini. Biasalah, mau kumpul-kumpul,â ucap Ibu Saida kepada anaknya yang paling terakhir, dari ketiga bersaudara. âTolong masakin Ibu rendang yang banyak, ya,â titahnya kemudian.âIya, Bu,â Riri menjawab. Meskipun dia orang yang paling sibuk jika kakak-kakaknya datang, namun Riri senang karena kedatangan mereka bisa membawa berkah baginya yang hidup dalam kekurangan. Sebab karena kedatangan merekalah dia dan anak-anaknya bisa ikut makan enak di rumah ini.âNanti uangnya Ibu kasih,â kata Ibu Saidah lagiKeesokan harinya, pagi-pagi sekali Riri berangkat ke pasar. Dia membeli daging sebanyak tiga kilo untuk di rendang, sekaligus bumbu-bumbunya. Dia juga membeli daun singkong dan cabai hijau sebagai pelengkap. Tidaksempurna jika makan rendang tanpa sambal cabai hijau dan lalapan daun singkong.Sepulang dari Pasar, Riri langsung mengolah daging tersebut. Memotongnya kecil dan tipis-tipis ag
âRi? Anak-anak Ibu sudah datang?â tanya Ibu Saida begitu beliau keluar dari kamar mandi.Riri mengangguk, âSudah, Bu.ââApa yang bisa Ibu bawa? Sekalian Ibu ke depan.â Beliau menghampirinya yang tengah membuat teh. Namun wajahnya mendadak berubah tatkala takut sengaja melihat mata anaknya sembab. âLoh, kok kamu seperti menangis?ââOh, iya, tadi Riri kelilipan, Bu.ââOwalah, hati-hati kalau begitu. Ini gelasnya Ibu bawa, ya.ââIya-iya, silakan, Bu.âRiri kembali melanjutkan pekerjaannya membuat kopi hitam kesukaan Mas Hamdan. Kakak yang paling ia sayangi dan juga paling menyayanginya. Namun itu duluâkarena keadaannya sekarang sudah sangat berbeda.Terlebih setelah dia menikah.Usai membuat minum, Riri kembali ke depan dan menghidangkan minuman yang baru saja di buatnya.âTerima kasih, Riri,â ucap Hamdan.âSama-sama, Mas,â jawab Riri berusaha tersenyum.âAnak-anakmu mana? Kok nggak kelihatan?ââFadly dan Fadlan sedang main di rumah tetangga, Mas.âNur lela langsung menyahuti, âAjari anak
âSudahlah, Mbak. Untuk apa bahas-bahas ginian,â kata Hamdan yang dari tadi agak terganggu dengan perbincangan mereka; para perempuan. Entah kenapa Mbaknya yang satu ini suka sekali membuat keributan dengan adiknya sendiri. Untung Riri orang yang cukup sabar, kalau tidakâHamdan jamin mereka sudah sering baku hantam dari dulu. âCuma masalah nastar saja diributkan. Mending kita makan saja, ya nggak, Bu?âIbu Saida mengangguk.âAku masak rendang, Mas. Yuk, Mas. Kalau mau makan! Ada di belakang rendangnya.ââBawa ke sini dong, Ri. Masa Masmu suruh ambil sendiri ... di rumah saja saya yang menyiapkan,â sahut Tian istri Hamdan yang juga ikut-ikutannyinyir. Entah apa yang menyebabkannya. Dia seperti benci sekali dengan Riri. Atau hanya perasaan Riri saja?âKalau begitu, Mbak yang ngambilin, ya? Mbak kan istrinya.ââKan kami tamu, jadi kamu harus melayani tamu dengan baik. Mana ada tamu ambil makanan sendiri di belakang,â sambar Nur Lela. âBiasanya Mbak juga kalau ada tamu, Mbak yang ngambilin
âMas Hamdan mau lagi, nggak?â tawar Tian kepada suaminya yang baru saja berhenti makan.âSudah, cukup,â jawabnya.âMas Abian ke mana, sih?â Nur Lela menanyakan suaminya sendiri kepada Hamdan.âKeluar tadi sama anak lelakimu. Mau merokok katanya.ââOh ....âSelesai makan, piring tercecer di mana-mana dan tak ada satupun orang yang mau berinisiatif membawanya ke belakang. Tak tega membiarkan Sang ibu kerepotan sendirian, lagi-lagi Riri yang angkat tangan. Dia membereskan semuanya ke dapur sembari membatin, semoga ia diberi kesabaran yang luas. Serta-merta dia yang mencucikan piringnya lantaran sudah tidak ada lagi yang ibunya andalkan selain dirinya.âTak apalah, hitung-hitung membantu orang tua.ââMaa! Mama!â panggil Fadly, anak sulung Riri yang datang-datang langsung menuju ke dapur. Mencari-cari ibunya.âDasar anak nggak sopan. Ada Tante dan Omnya di sini diamalah bablas ke dapur, bukannya salim!â gerutu Nur Lela dan juga Tian yang mempunyai wajah sama-sama judesnya.âIya, bukannya s
Riri kaget terlonjak, sontak ia menjatuhkan uangnya saat mendengar pertanyaan yang mengandung makian tersebut.Perempuan itu masuk untuk melihat lebih jelas apa yang sedang suaminya lakukan tanpa izin darinya. âKamu memberikan dia uang tanpa sepengetahuanku?â tanyanya berang.âKarena akan begini akibatnya kalau aku memberitahumu lebih dulu,â jawab Hamdan.â Tenanglah, hanya uang segitu tidak akan mengurangi jatah belanjamu saat ini. Kamu selalu dalam keadaan kecukupan.ââMa ...,â rengek Fadlan dan juga Fadly.âAku harus membawa anak-anakku ke dalam. Tidak baik kalau sampai anak-anakku melihat keributan ini,â batin Riri.Padahal Fadlan baru saja ia tenangkan karena mengira Tantenya ini marah padanya sebab bersalaman dengan tangan yang kotorânamun lihatlah barusan, Tian malah membuat anaknya menjadi semakin takut.âNak, kita ke dalam, ya. Mama temani kalian tidur di kamar, oke?â Riri beranjak berdiri menggendong Fadlan dan menuntun Fadly ke dalam.Sesampainya di kamar, Riri langsung menu
Ilham mengerutkan kening dan langsung menangkap garis besarnya; kenapa mereka jadi ribut dan saling marahan di sini. Rupanya, Tian tidak rela jika Hamdan memberikan uang kepada adik kandungnya sendiri.Ilham menyahut, âMaaf, Mas, bawalah uang itu. Tidak akan berkah jika pun Mas meninggalkannya di sini. Sebab ada seorang istri yang tidak ikhlas jika suaminya memberikannya pada orang lain.ââBukan masalah ikhlas atau tidak ikhlas,â sahut Tian ketus. âMasalahnya dia memberikannya tanpa sepengetahuanku. Itu yang membuatku kesal. Terlebih dia memberikannya di saat aku sedang butuh. Aku punya banyak cicilan, anakku juga butuh iuran sekolah. Aku juga sebentar lagi mau lahiran. Apakah kamu tak melihatnya?ââBawalah uang itu, Mbak. Insyaallah aku masih bisa mencukupi istri dan anak-anakku. Kami nggak sedang dalam kekurangan, kok.âTanpa menjawab apa pun, Tian langsung meninggalkan ruangan itu dan suaminya. Hamdan yang tidak enak lantas meminta maaf kepada adik iparnya tersebut. âTolong maafkan