Tanpa Riri ketahui sebelumnya, ternyata kedatangan Ustaz Syarif datang ke sini selain menjenguk muridnya yang baru saja di khitan, beliau juga mempunyai maksud lain. Yakni mengantar keponakannya untuk melamar sang pujaan hati. Apabila ada yang bertanya, di mana orang tua Panji, mereka sudah tiada semenjak lama. Oleh karenanya, Panji menggandeng Pamannya sebagai wakil orang tua satu-satunya. Hmm. jangan ditanya lagi bagaimana perasaan Riri dan keluarga. Terkejut? Ya, tentu saja. Itu sudah pasti.Riri tidak menyangka bahwa dia dilamar secara dadakan seperti ini tanpa ada pembicaraan terlebih dahulu sebelumnya. Beberapa hari yang lalu, mereka memang sempat berkomunikasi lewat pesan singkat. Namun Panji hanya menanyakan kesediaannya jika ia datang ke rumah. Tetapi sungguh, Riri tidak paham karena ternyata inilah yang dimaksud oleh pria itu. Jangankan bertanya bagaimana perasaannya atau kesiapannya untuk menikah lagi setelah bercerai dengan Ilham—dekat saja—rasanya tidak pernah. Dia ma
“Ri, besok kakak-kakakmu mau datang. Sudah lama mereka nggak jenguk Ibu, jadi rencananya mereka mau ke sini. Biasalah, mau kumpul-kumpul,” ucap Ibu Saida kepada anaknya yang paling terakhir, dari ketiga bersaudara. “Tolong masakin Ibu rendang yang banyak, ya,” titahnya kemudian.“Iya, Bu,” Riri menjawab. Meskipun dia orang yang paling sibuk jika kakak-kakaknya datang, namun Riri senang karena kedatangan mereka bisa membawa berkah baginya yang hidup dalam kekurangan. Sebab karena kedatangan merekalah dia dan anak-anaknya bisa ikut makan enak di rumah ini.“Nanti uangnya Ibu kasih,” kata Ibu Saidah lagiKeesokan harinya, pagi-pagi sekali Riri berangkat ke pasar. Dia membeli daging sebanyak tiga kilo untuk di rendang, sekaligus bumbu-bumbunya. Dia juga membeli daun singkong dan cabai hijau sebagai pelengkap. Tidaksempurna jika makan rendang tanpa sambal cabai hijau dan lalapan daun singkong.Sepulang dari Pasar, Riri langsung mengolah daging tersebut. Memotongnya kecil dan tipis-tipis ag
“Ri? Anak-anak Ibu sudah datang?” tanya Ibu Saida begitu beliau keluar dari kamar mandi.Riri mengangguk, “Sudah, Bu.”“Apa yang bisa Ibu bawa? Sekalian Ibu ke depan.” Beliau menghampirinya yang tengah membuat teh. Namun wajahnya mendadak berubah tatkala takut sengaja melihat mata anaknya sembab. “Loh, kok kamu seperti menangis?”“Oh, iya, tadi Riri kelilipan, Bu.”“Owalah, hati-hati kalau begitu. Ini gelasnya Ibu bawa, ya.”“Iya-iya, silakan, Bu.”Riri kembali melanjutkan pekerjaannya membuat kopi hitam kesukaan Mas Hamdan. Kakak yang paling ia sayangi dan juga paling menyayanginya. Namun itu dulu—karena keadaannya sekarang sudah sangat berbeda.Terlebih setelah dia menikah.Usai membuat minum, Riri kembali ke depan dan menghidangkan minuman yang baru saja di buatnya.“Terima kasih, Riri,” ucap Hamdan.“Sama-sama, Mas,” jawab Riri berusaha tersenyum.“Anak-anakmu mana? Kok nggak kelihatan?”“Fadly dan Fadlan sedang main di rumah tetangga, Mas.”Nur lela langsung menyahuti, “Ajari anak
“Sudahlah, Mbak. Untuk apa bahas-bahas ginian,” kata Hamdan yang dari tadi agak terganggu dengan perbincangan mereka; para perempuan. Entah kenapa Mbaknya yang satu ini suka sekali membuat keributan dengan adiknya sendiri. Untung Riri orang yang cukup sabar, kalau tidak—Hamdan jamin mereka sudah sering baku hantam dari dulu. “Cuma masalah nastar saja diributkan. Mending kita makan saja, ya nggak, Bu?”Ibu Saida mengangguk.“Aku masak rendang, Mas. Yuk, Mas. Kalau mau makan! Ada di belakang rendangnya.”“Bawa ke sini dong, Ri. Masa Masmu suruh ambil sendiri ... di rumah saja saya yang menyiapkan,” sahut Tian istri Hamdan yang juga ikut-ikutannyinyir. Entah apa yang menyebabkannya. Dia seperti benci sekali dengan Riri. Atau hanya perasaan Riri saja?“Kalau begitu, Mbak yang ngambilin, ya? Mbak kan istrinya.”“Kan kami tamu, jadi kamu harus melayani tamu dengan baik. Mana ada tamu ambil makanan sendiri di belakang,” sambar Nur Lela. “Biasanya Mbak juga kalau ada tamu, Mbak yang ngambilin
“Mas Hamdan mau lagi, nggak?” tawar Tian kepada suaminya yang baru saja berhenti makan.“Sudah, cukup,” jawabnya.“Mas Abian ke mana, sih?” Nur Lela menanyakan suaminya sendiri kepada Hamdan.“Keluar tadi sama anak lelakimu. Mau merokok katanya.”“Oh ....”Selesai makan, piring tercecer di mana-mana dan tak ada satupun orang yang mau berinisiatif membawanya ke belakang. Tak tega membiarkan Sang ibu kerepotan sendirian, lagi-lagi Riri yang angkat tangan. Dia membereskan semuanya ke dapur sembari membatin, semoga ia diberi kesabaran yang luas. Serta-merta dia yang mencucikan piringnya lantaran sudah tidak ada lagi yang ibunya andalkan selain dirinya.‘Tak apalah, hitung-hitung membantu orang tua.’“Maa! Mama!” panggil Fadly, anak sulung Riri yang datang-datang langsung menuju ke dapur. Mencari-cari ibunya.“Dasar anak nggak sopan. Ada Tante dan Omnya di sini diamalah bablas ke dapur, bukannya salim!” gerutu Nur Lela dan juga Tian yang mempunyai wajah sama-sama judesnya.“Iya, bukannya s
Riri kaget terlonjak, sontak ia menjatuhkan uangnya saat mendengar pertanyaan yang mengandung makian tersebut.Perempuan itu masuk untuk melihat lebih jelas apa yang sedang suaminya lakukan tanpa izin darinya. “Kamu memberikan dia uang tanpa sepengetahuanku?” tanyanya berang.“Karena akan begini akibatnya kalau aku memberitahumu lebih dulu,” jawab Hamdan.” Tenanglah, hanya uang segitu tidak akan mengurangi jatah belanjamu saat ini. Kamu selalu dalam keadaan kecukupan.”“Ma ...,” rengek Fadlan dan juga Fadly.‘Aku harus membawa anak-anakku ke dalam. Tidak baik kalau sampai anak-anakku melihat keributan ini,’ batin Riri.Padahal Fadlan baru saja ia tenangkan karena mengira Tantenya ini marah padanya sebab bersalaman dengan tangan yang kotor—namun lihatlah barusan, Tian malah membuat anaknya menjadi semakin takut.“Nak, kita ke dalam, ya. Mama temani kalian tidur di kamar, oke?” Riri beranjak berdiri menggendong Fadlan dan menuntun Fadly ke dalam.Sesampainya di kamar, Riri langsung menu
Ilham mengerutkan kening dan langsung menangkap garis besarnya; kenapa mereka jadi ribut dan saling marahan di sini. Rupanya, Tian tidak rela jika Hamdan memberikan uang kepada adik kandungnya sendiri.Ilham menyahut, “Maaf, Mas, bawalah uang itu. Tidak akan berkah jika pun Mas meninggalkannya di sini. Sebab ada seorang istri yang tidak ikhlas jika suaminya memberikannya pada orang lain.”“Bukan masalah ikhlas atau tidak ikhlas,” sahut Tian ketus. “Masalahnya dia memberikannya tanpa sepengetahuanku. Itu yang membuatku kesal. Terlebih dia memberikannya di saat aku sedang butuh. Aku punya banyak cicilan, anakku juga butuh iuran sekolah. Aku juga sebentar lagi mau lahiran. Apakah kamu tak melihatnya?”“Bawalah uang itu, Mbak. Insyaallah aku masih bisa mencukupi istri dan anak-anakku. Kami nggak sedang dalam kekurangan, kok.”Tanpa menjawab apa pun, Tian langsung meninggalkan ruangan itu dan suaminya. Hamdan yang tidak enak lantas meminta maaf kepada adik iparnya tersebut. “Tolong maafkan
Setelah kedua anak-anaknya terlelap, Riri pun beranjak keluar dari kamar dengan gerakan sangat pelan agar tak sampai membangunkan mereka. Dia terlebih dahulu menyiapkan pakaian untuk suaminya yang sedang membersihkan diri, kemudian menyiapkan makanan.“Tumben hari ini pulang lebih cepat, Mas?” tanya Riri begitusuaminya keluar dari dalam sana.“Iya, aku nggak ngambil lembur.” Hanya itu jawaban Ilham, sebelum kemudian pria itu menuju ke kamar. Dia kembali setelah berganti pakaian, lantas duduk di depan istrinya yang sudah menyiapkan piring untuknya.“Tumben masak rendang?” dia bertanya.“Ini dari Ibu, Mas. Tadi aku dikasih, soalnya aku disuruh masak di sana,” jawab Riri.“Oh, karena ada keluargamu yang datang itu?”Riri hanya mengangguk.“Kamu sendiri sudah makan apa belum?”“Sudah, Mas ... tinggal anak-anak yang belum, tapi mereka sudah keburu tidur. Sepertinya mereka kecapean habis main di halaman rumah Eshan.”“Matamu sembab ... kamu habis menangis?” Ilham menggenggam tangan istrinya