“Ri, maaf, Ri... iya, aku salah aku tadi terlalu keras ke kamu. Buka pintunya, Sayang.” ‘Aku nggak peduli, Mas. Aku nggak peduli.’Riri kembali mematikan ponselnya dan menyembunyikannya di tempat yang paling susah dijangkau. Wanita itu duduk di ranjang, menghela napasnya dalam dan berusaha tenang meski tangis tetap tidak bisa ia cegah mencuat keluar dari tempat persembunyiannya. ‘Hancur sudah mimpi-mimpi yang pernah kita bangun, Mas. Aku sangat paham bahwa kamu ingin hidup lebih baik dari sebelumnya, agar tidak ada lagi yang menghina keluarga kita. Tapi cara yang kamu gunakan salah, karena kamu justru menghancurkan rumah tangga ini. Kamu telah menodainya.Aku percaya setiap pernikahan pasti akan di uji—seperti pernikahanku sekarang. Aku sempat mengira ujian ini sudah hampir selesai karena aku lihat saudaraku, Mbak Nur Lela sudah mulai berubah. Tapi masalah lain ternyata datang dari kamu.‘Tuhan... biarkan aku tidur dulu sejenak untuk menenangkan pikiran.’Riri merebahkan diri ke ran
Mati-matian Riri menahan sebak di dadanya. Dalam keadaan demikian, wajah anak-anaknya membayang di pikiran, bagaimana nasib mereka nanti dan dengan cara apa Riri menjelaskannya?Ah, Ya Tuhan... seperti inikah Mas Ilham sebenarnya yang dia cintai selama ini?“Bukankah kamu tahu, Mas Ilham sudah beristri?” tanya Riri setelah dapat menguasai dirinya lagi.Perempuan yang bernama Lira itu mengangguk. “Maaf, Mbak... tapi hanya laki-laki seperti Mas Ilham yang dapat menerima sepenuhnya keadaanku. Kasihanilah aku, aku bukan wanita sempurna sepertimu yang bisa memiliki anak. Kelak, jika aku tidak menikah dengan Mas Ilham, aku akan hidup sendiri dan terlunta-lunta sampai tua.”“Apa pun alasannya, ini tidak bisa dibenarkan. Tidakkah kamu pikirkan perasaanku?” Riri bertanya dengan nada menyentak. “Apa kamu sadar, perbuatanmu ini tercela. Kamu merebut suami orang. Kamu bahagia di atas penderitaan orang lain. Coba kita ganti posisi. Aku yakin kamu nggak akan bisa berbicara seperti ini sekarang.”“A
(Dobel upini lho...🥰🌺🤭)‘Lihatlah, Mas. Anak-anak kita yang jadi korban keegoisanmu sekarang, apa kamu nggak kasihan sama mereka?’Riri cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya, sebelum Ilham bertambah marah dan membuat anaknya menjadi semakin takut. “Kita langsung makan saja, ya, Nak. Nanti habis itu, bobo siang sama Adek di rumah Nini, Okay?”Fadly mengangguk, anak itu tak membantah sama sekali perintah ibunya. Tapi dalam hati ia telah menyimpan benci kepada ayahnya karena pria itu telah memperlakukan wanita yang dicintainya dengan cara tidak baik. “Bu, Fadly sama Fadlan di sini dulu, ya. Aku masih ada urusan,” kata Riri setelah ia berada di rumah Ibu Saida.“Iya, nggak papa, Nak. Toh, di sini juga ada Mbakmu yang jagain mereka,” jawab Ibu Saida tersenyum. Sebagai seorang ibu sekaligus orang yang rumahnya paling dekat, beliau paham apa yang sedang terjadi dengan rumah tangga putrinya. Namun, beliau enggan mengikut campuri hubungan mereka. Sebab, mereka sudah sama-sama dewasa dan t
Tidak ada gairah hari ini, yang dilakukan Riri hanyalah menangis, menangis dan menangis setelah suaminya itu benar-benar pergi dari rumah. Berkali-kali dia menyadarkan dirinya agar tidak terlalu berlebihan menyikapi sejumlah permasalahan yang sedang ia hadapi. Namun berkali-kali juga kenangan indah terbayang di pikirannya. Tidak mudah baginya menghapus semua kenangan yang biasa ia lakukan bersama selama enam tahun belakangan ini bersama Ilham. Di sini, di tempat ini.Bagaimana mungkin seorang Ilham yang ia kenal begitu lembutnya mencintai dirinya tega berbuat demikian? Riri sama sekali tidak menyangka.Betapa awal pertemuan mereka sangat indah. Bekerja sambil menjalin cinta. Pulang pergi berboncengan bersama. Tak lama kemudian menikah, bulan madu, pindah rumah sendiri, lewat satu bulan setelanya ia langsung hamil Fadly. Mereka merasakan kebahagiaan luar biasa saat pertama kali menjadi orang tua. Selang beberapa tahun kemudian, mereka kembali di anugerahi seorang anak laki-laki lag
Tanpa Riri ketahui sebelumnya, ternyata kedatangan Ustaz Syarif datang ke sini selain menjenguk muridnya yang baru saja di khitan, beliau juga mempunyai maksud lain. Yakni mengantar keponakannya untuk melamar sang pujaan hati. Apabila ada yang bertanya, di mana orang tua Panji, mereka sudah tiada semenjak lama. Oleh karenanya, Panji menggandeng Pamannya sebagai wakil orang tua satu-satunya. Hmm. jangan ditanya lagi bagaimana perasaan Riri dan keluarga. Terkejut? Ya, tentu saja. Itu sudah pasti.Riri tidak menyangka bahwa dia dilamar secara dadakan seperti ini tanpa ada pembicaraan terlebih dahulu sebelumnya. Beberapa hari yang lalu, mereka memang sempat berkomunikasi lewat pesan singkat. Namun Panji hanya menanyakan kesediaannya jika ia datang ke rumah. Tetapi sungguh, Riri tidak paham karena ternyata inilah yang dimaksud oleh pria itu. Jangankan bertanya bagaimana perasaannya atau kesiapannya untuk menikah lagi setelah bercerai dengan Ilham—dekat saja—rasanya tidak pernah. Dia ma
“Ri, besok kakak-kakakmu mau datang. Sudah lama mereka nggak jenguk Ibu, jadi rencananya mereka mau ke sini. Biasalah, mau kumpul-kumpul,” ucap Ibu Saida kepada anaknya yang paling terakhir, dari ketiga bersaudara. “Tolong masakin Ibu rendang yang banyak, ya,” titahnya kemudian.“Iya, Bu,” Riri menjawab. Meskipun dia orang yang paling sibuk jika kakak-kakaknya datang, namun Riri senang karena kedatangan mereka bisa membawa berkah baginya yang hidup dalam kekurangan. Sebab karena kedatangan merekalah dia dan anak-anaknya bisa ikut makan enak di rumah ini.“Nanti uangnya Ibu kasih,” kata Ibu Saidah lagiKeesokan harinya, pagi-pagi sekali Riri berangkat ke pasar. Dia membeli daging sebanyak tiga kilo untuk di rendang, sekaligus bumbu-bumbunya. Dia juga membeli daun singkong dan cabai hijau sebagai pelengkap. Tidaksempurna jika makan rendang tanpa sambal cabai hijau dan lalapan daun singkong.Sepulang dari Pasar, Riri langsung mengolah daging tersebut. Memotongnya kecil dan tipis-tipis ag
“Ri? Anak-anak Ibu sudah datang?” tanya Ibu Saida begitu beliau keluar dari kamar mandi.Riri mengangguk, “Sudah, Bu.”“Apa yang bisa Ibu bawa? Sekalian Ibu ke depan.” Beliau menghampirinya yang tengah membuat teh. Namun wajahnya mendadak berubah tatkala takut sengaja melihat mata anaknya sembab. “Loh, kok kamu seperti menangis?”“Oh, iya, tadi Riri kelilipan, Bu.”“Owalah, hati-hati kalau begitu. Ini gelasnya Ibu bawa, ya.”“Iya-iya, silakan, Bu.”Riri kembali melanjutkan pekerjaannya membuat kopi hitam kesukaan Mas Hamdan. Kakak yang paling ia sayangi dan juga paling menyayanginya. Namun itu dulu—karena keadaannya sekarang sudah sangat berbeda.Terlebih setelah dia menikah.Usai membuat minum, Riri kembali ke depan dan menghidangkan minuman yang baru saja di buatnya.“Terima kasih, Riri,” ucap Hamdan.“Sama-sama, Mas,” jawab Riri berusaha tersenyum.“Anak-anakmu mana? Kok nggak kelihatan?”“Fadly dan Fadlan sedang main di rumah tetangga, Mas.”Nur lela langsung menyahuti, “Ajari anak
“Sudahlah, Mbak. Untuk apa bahas-bahas ginian,” kata Hamdan yang dari tadi agak terganggu dengan perbincangan mereka; para perempuan. Entah kenapa Mbaknya yang satu ini suka sekali membuat keributan dengan adiknya sendiri. Untung Riri orang yang cukup sabar, kalau tidak—Hamdan jamin mereka sudah sering baku hantam dari dulu. “Cuma masalah nastar saja diributkan. Mending kita makan saja, ya nggak, Bu?”Ibu Saida mengangguk.“Aku masak rendang, Mas. Yuk, Mas. Kalau mau makan! Ada di belakang rendangnya.”“Bawa ke sini dong, Ri. Masa Masmu suruh ambil sendiri ... di rumah saja saya yang menyiapkan,” sahut Tian istri Hamdan yang juga ikut-ikutannyinyir. Entah apa yang menyebabkannya. Dia seperti benci sekali dengan Riri. Atau hanya perasaan Riri saja?“Kalau begitu, Mbak yang ngambilin, ya? Mbak kan istrinya.”“Kan kami tamu, jadi kamu harus melayani tamu dengan baik. Mana ada tamu ambil makanan sendiri di belakang,” sambar Nur Lela. “Biasanya Mbak juga kalau ada tamu, Mbak yang ngambilin