Share

Bab 5

Riri kaget terlonjak, sontak ia menjatuhkan uangnya saat mendengar pertanyaan yang mengandung makian tersebut.

Perempuan itu masuk untuk melihat lebih jelas apa yang sedang suaminya lakukan tanpa izin darinya. “Kamu memberikan dia uang tanpa sepengetahuanku?” tanyanya berang.

“Karena akan begini akibatnya kalau aku memberitahumu lebih dulu,” jawab Hamdan.” Tenanglah, hanya uang segitu tidak akan mengurangi jatah belanjamu saat ini. Kamu selalu dalam keadaan kecukupan.”

“Ma ...,” rengek Fadlan dan juga Fadly.

‘Aku harus membawa anak-anakku ke dalam. Tidak baik kalau sampai anak-anakku melihat keributan ini,’ batin Riri.

Padahal Fadlan baru saja ia tenangkan karena mengira Tantenya ini marah padanya sebab bersalaman dengan tangan yang kotor—namun lihatlah barusan, Tian malah membuat anaknya menjadi semakin takut.

“Nak, kita ke dalam, ya. Mama temani kalian tidur di kamar, oke?” Riri beranjak berdiri menggendong Fadlan dan menuntun Fadly ke dalam.

Sesampainya di kamar, Riri langsung menutup pintu rapat-rapat agar keributan mereka tak sampai mengontaminasi telinga anaknya.

Kasihan, jika anak sekecil ini harus mendengar pertengkaran orang dewasa, karena akibatnya bisa berdampak buruk pada psikologi anak, pikir Riri sedemikian panjang.

“Sudah aku duga, ya. Kamu ke sini mau ngapain. Berapa kali kamu sembunyi-sembunyi begini, Mas?”

“Tian ... bantulah saudaramu yang kesusahan ini. Kasihan Riri. Sudah sepantasnya aku membantunya karena dia adalah adik kandungku. Dan kalau kita ikhlas, kita pasti akan mendapatkan pahala dari Allah.” masih terdengar sayup-sayup suara pertengkaran mereka dari luar.

“Ma ... Tante Tian marah sama Mama, ya?” tanya Fadly.

“Enggak, Sayang. Masa Tante Tian marah sama Mama.”

Sebisa mungkin Riri berusaha untuk tidak meledak di depan mereka. Perkara soal uang memberi uang saja sampai seperti ini hebohnya.

Toh, uang yang dikasihkan juga tidak seberapa. Mereka juga sangat jarang datang ke sini. Benar apa kata Hamdan tadi, dia adiknya. Wajar kalau seorang kakak memberi uang untuk adiknya sendiri.

“Tapi masalahnya kamu nggak izin sama aku dulu, Mas. Aku ini istrimu, jadi kamu harus berunding sama aku dulu sebelum kamu memberikannya. Kamu anggap apa aku ini?”

“Kamu istrikulah, Tian,” kata Hamdan geram. “Siapa pula yang menganggapmu orang lain. Hanya masalah memberikan uang saja kamu sampai segitunya. Padahal yang aku kasihan hanyalah seberapa, tapi sampai geger begini. Memalukan. Berlebihan!”

Tian memunguti uang yang terserak di sofa, “Ini jatah Rizki, mau bayar iuran sekolah. Janganlah kamu asal kasih sebelum kamu bicarakan dulu sama aku. Soalnya aku lebih membutuhkannya.”

Hamdan merebut uang tersebut dan kembali meletakkannya dimeja, “Ini uang milik Riri. Sudah aku berikan tadi. Jangan kamu ambil lagi tanpa seizin nya!”

“Alah, kamu memberikannya juga tanpa izin dariku. Jadi ini masih milikku!”

“Assalamualaikum ...,” sapa orang dari luar, yakni Ilham, suami Riri. “Eh, ada tamu,” ucapnya tersenyum. “Apa kabar, Mas, Mbak?”

“Kami baik,” jawab Tian ketus dan membuat Ilham bingung. Karena datang-datang, langsung disambut dengan wajah masamnya.

“Loh, Ririnya ke mana? Kok ada tamu nggak di layani? Atau sedang ambil minum?” tanya Ilham lagi.

“Istrimu di kamar,” jawab Hamdan tanpa menoleh.Dia masih menatap tajam istrinya karena kembali memungut uang yang ada di meja.

“Letakkan uangitu lagi, itu milik Riri,” ucap Hamdan setengah menyentak. “ Ayolah, aku hanya sekali ini memberikannya. Jangan biarkan aku menjadi kakak yang durhaka karena tak mau membantu adiknya yang kesusahan.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status