Riri kaget terlonjak, sontak ia menjatuhkan uangnya saat mendengar pertanyaan yang mengandung makian tersebut.
Perempuan itu masuk untuk melihat lebih jelas apa yang sedang suaminya lakukan tanpa izin darinya. “Kamu memberikan dia uang tanpa sepengetahuanku?” tanyanya berang.“Karena akan begini akibatnya kalau aku memberitahumu lebih dulu,” jawab Hamdan.” Tenanglah, hanya uang segitu tidak akan mengurangi jatah belanjamu saat ini. Kamu selalu dalam keadaan kecukupan.”“Ma ...,” rengek Fadlan dan juga Fadly.‘Aku harus membawa anak-anakku ke dalam. Tidak baik kalau sampai anak-anakku melihat keributan ini,’ batin Riri.Padahal Fadlan baru saja ia tenangkan karena mengira Tantenya ini marah padanya sebab bersalaman dengan tangan yang kotor—namun lihatlah barusan, Tian malah membuat anaknya menjadi semakin takut.“Nak, kita ke dalam, ya. Mama temani kalian tidur di kamar, oke?” Riri beranjak berdiri menggendong Fadlan dan menuntun Fadly ke dalam.Sesampainya di kamar, Riri langsung menutup pintu rapat-rapat agar keributan mereka tak sampai mengontaminasi telinga anaknya.Kasihan, jika anak sekecil ini harus mendengar pertengkaran orang dewasa, karena akibatnya bisa berdampak buruk pada psikologi anak, pikir Riri sedemikian panjang.“Sudah aku duga, ya. Kamu ke sini mau ngapain. Berapa kali kamu sembunyi-sembunyi begini, Mas?”“Tian ... bantulah saudaramu yang kesusahan ini. Kasihan Riri. Sudah sepantasnya aku membantunya karena dia adalah adik kandungku. Dan kalau kita ikhlas, kita pasti akan mendapatkan pahala dari Allah.” masih terdengar sayup-sayup suara pertengkaran mereka dari luar.“Ma ... Tante Tian marah sama Mama, ya?” tanya Fadly.“Enggak, Sayang. Masa Tante Tian marah sama Mama.”Sebisa mungkin Riri berusaha untuk tidak meledak di depan mereka. Perkara soal uang memberi uang saja sampai seperti ini hebohnya.Toh, uang yang dikasihkan juga tidak seberapa. Mereka juga sangat jarang datang ke sini. Benar apa kata Hamdan tadi, dia adiknya. Wajar kalau seorang kakak memberi uang untuk adiknya sendiri.“Tapi masalahnya kamu nggak izin sama aku dulu, Mas. Aku ini istrimu, jadi kamu harus berunding sama aku dulu sebelum kamu memberikannya. Kamu anggap apa aku ini?”“Kamu istrikulah, Tian,” kata Hamdan geram. “Siapa pula yang menganggapmu orang lain. Hanya masalah memberikan uang saja kamu sampai segitunya. Padahal yang aku kasihan hanyalah seberapa, tapi sampai geger begini. Memalukan. Berlebihan!”Tian memunguti uang yang terserak di sofa, “Ini jatah Rizki, mau bayar iuran sekolah. Janganlah kamu asal kasih sebelum kamu bicarakan dulu sama aku. Soalnya aku lebih membutuhkannya.”Hamdan merebut uang tersebut dan kembali meletakkannya dimeja, “Ini uang milik Riri. Sudah aku berikan tadi. Jangan kamu ambil lagi tanpa seizin nya!”“Alah, kamu memberikannya juga tanpa izin dariku. Jadi ini masih milikku!”“Assalamualaikum ...,” sapa orang dari luar, yakni Ilham, suami Riri. “Eh, ada tamu,” ucapnya tersenyum. “Apa kabar, Mas, Mbak?”“Kami baik,” jawab Tian ketus dan membuat Ilham bingung. Karena datang-datang, langsung disambut dengan wajah masamnya.“Loh, Ririnya ke mana? Kok ada tamu nggak di layani? Atau sedang ambil minum?” tanya Ilham lagi.“Istrimu di kamar,” jawab Hamdan tanpa menoleh.Dia masih menatap tajam istrinya karena kembali memungut uang yang ada di meja.“Letakkan uangitu lagi, itu milik Riri,” ucap Hamdan setengah menyentak. “ Ayolah, aku hanya sekali ini memberikannya. Jangan biarkan aku menjadi kakak yang durhaka karena tak mau membantu adiknya yang kesusahan.”Ilham mengerutkan kening dan langsung menangkap garis besarnya; kenapa mereka jadi ribut dan saling marahan di sini. Rupanya, Tian tidak rela jika Hamdan memberikan uang kepada adik kandungnya sendiri.Ilham menyahut, “Maaf, Mas, bawalah uang itu. Tidak akan berkah jika pun Mas meninggalkannya di sini. Sebab ada seorang istri yang tidak ikhlas jika suaminya memberikannya pada orang lain.”“Bukan masalah ikhlas atau tidak ikhlas,” sahut Tian ketus. “Masalahnya dia memberikannya tanpa sepengetahuanku. Itu yang membuatku kesal. Terlebih dia memberikannya di saat aku sedang butuh. Aku punya banyak cicilan, anakku juga butuh iuran sekolah. Aku juga sebentar lagi mau lahiran. Apakah kamu tak melihatnya?”“Bawalah uang itu, Mbak. Insyaallah aku masih bisa mencukupi istri dan anak-anakku. Kami nggak sedang dalam kekurangan, kok.”Tanpa menjawab apa pun, Tian langsung meninggalkan ruangan itu dan suaminya. Hamdan yang tidak enak lantas meminta maaf kepada adik iparnya tersebut. “Tolong maafkan
Setelah kedua anak-anaknya terlelap, Riri pun beranjak keluar dari kamar dengan gerakan sangat pelan agar tak sampai membangunkan mereka. Dia terlebih dahulu menyiapkan pakaian untuk suaminya yang sedang membersihkan diri, kemudian menyiapkan makanan.“Tumben hari ini pulang lebih cepat, Mas?” tanya Riri begitusuaminya keluar dari dalam sana.“Iya, aku nggak ngambil lembur.” Hanya itu jawaban Ilham, sebelum kemudian pria itu menuju ke kamar. Dia kembali setelah berganti pakaian, lantas duduk di depan istrinya yang sudah menyiapkan piring untuknya.“Tumben masak rendang?” dia bertanya.“Ini dari Ibu, Mas. Tadi aku dikasih, soalnya aku disuruh masak di sana,” jawab Riri.“Oh, karena ada keluargamu yang datang itu?”Riri hanya mengangguk.“Kamu sendiri sudah makan apa belum?”“Sudah, Mas ... tinggal anak-anak yang belum, tapi mereka sudah keburu tidur. Sepertinya mereka kecapean habis main di halaman rumah Eshan.”“Matamu sembab ... kamu habis menangis?” Ilham menggenggam tangan istrinya
Riri memegangi kepalanya yang terasa berdenyut. Merasa gondok dengan kelakuan-kelakuan kakaknya yang keterlaluan terhadapnya.Tidak tahan berdiri tegak membuatnya mencari kekuatan dengan berpegangan pada pinggiran meja agar tak sampai terjatuh. Namun dilihatnya, ruangan menjadi gelap disusul dengan tubuhnya yang terasa ringan, lama-kelamaan tak sadarkan diri.GUBRAK!Terdengar suara perabot yang terjatuh bersamaan dengan tubuh Riri, membuat semua orang yang ada di ruang tamu bertanya-tanya.“Ada apa, tuh, Bu?” tanya Hamdan.“Nggak tahu,” jawab Ibu Saida. “Ri, Ri?” lantaran lama tak mendengar jawaban membuat Ibu Saida kembali memanggilnya, “Ri?”Hamdan beranjak dari tempat duduknya, “Coba aku lihat.” tapi sayangnya, batal karena tangan istrinya menahannya.“Apaan sih, kamu, Mas!” Tian tak setuju suaminya menemui Riri lagi setelah kejadian tadi. Dia masih takut kalau-kalau Hamdan kembali memberinya uang tanpa sepengetahuan dirinya.“Itu di belakang ada suara barang jatuh, aku mau lihat
Ilham terus berusaha membangunkan Riri setelah sang istri dibaringkan ke ranjang mertuanya. “Ri, bangun, Ri. Kamu kenapa?”Bingung dan panik, membuat Ilham menoleh kepada kedua kakak iparnya yang berdiri di belakangnya tanpa membantu melakukan apa-apa, “Ada minyak kayu putih nggak, Mbak? Punya nggak?”Keduanya mengedikkan bahu secara bersamaan.“Aku nggak bawa,” kata Nur Lela.“Apalagi aku, buat apa bawa-bawa kayu putih,” sahut Tian.“Ya Allah ... apa kalian nggak mau berusaha untuk mencarikan nya dulu?” geram Ilham sampai gigi-giginya gemeletuk. “Kalian ‘kan perempuan. Ini adik kalian pingsan, tolonglah sebentar, jangan Cuma berdiri menonton saja.”“Aku capek, Ham ... aku lagi hamil. Mana pula kamu suruh aku ke warung,” kata Tian beralasan. “Di sini kan warungnya jauh, aku nggak bisa jalan sejauh itu. Gimana kalau aku nanti malah ikutan pingsan juga. Repot.”Nur Lela langsung menyambung, “Aku juga, kakiku sedang pegal. Maklum, terlalu banyak memakai heels, jadi ya gini.” sambil menun
“Ini loh, adik kita,” Nur Lela menoleh kepada adik iparnya. “Masa dia hamil lagi, kan anaknya masih kecil-kecil. Setidaknya kasihlah jarak berapa tahun sama Fadlan. Minimal sampai Fadlan bisa ganti baju sendirilah.”“Oh ... jadi kamu pingsan karena kamu hamil lagi, Ri?” tanya Tian untuk memastikan. Namun Riri tak menjawab.“Ya sudahlah, Mbak. Yang penting nanti mereka nggak sampai merepotkan keluarga.”“Merepotkan keluarga yang bagaimana?” tanya Riri menyela pembicaraan mereka. “Biar pun aku nggak seberada kalian, tapi selama ini aku nggak pernah minta-minta, kok. Nggak pernah pinjam-pinjam uang sama kalian, alhamdulillah. Kami bahagia dalam kesederhanaan kami.”“Eh, biasa aja dong, jangan nyolot.”“Ah, sudah-sudah!” potong Ibu Saida. “Ibu pusing dengar perdebatan kalian. Apa-apa di masalahkan. Justru harusnya kalian itu senang karena sebentar lagi bakal menambah keponakan. Bukan malah menyalahkan Riri. Hadirnya seorang anak adalah kehendak dari Allah, rezeki yang patut disyukuri. Buk
Petang setelah menunaikan salat magrib di musala terdekat, kedua anak Ibu Saida serta menantu dan cucu-cucunya itu kemudian berpamitan pulang.“Kami takut sampai di sana kemalaman, Bu,” kata Hamdan menjadi perwakilan di antara mereka. “Besok anak-anak juga sudah mau sekolah lagi. Jadi nggak bisa terlalu lama apalagi menginap.”Ibu Saida mengangguk mengerti, “Pulanglah kalian, hati-hatidi jalan, jangan ngebut untuk menghindari hal-hal yang tidak di inginkan. Di sini jalannya sudah agak rusak.”“Baik, Bu,” jawab Hamdan lagi. “Kami pulang dulu. Sampai ketemu lagi bulan depan, insyaallah. Dan maaf kalau kedatangan kami merepotkan ibu dan juga Riri.”“Ah, tidak apa-apa, Nak. Beginilah memang seorang Ibu yang akan tetap menjadi naungan untuk anak-anaknya. Sejauh apa pun kalian pergi, pasti kalian akan kembali ke tempat ini lagi, berkumpul dengan orang tuanya selagi mereka masih ada.”Semua mengangguk dan saling berpamitan. Mulai dari anak, menantu, sampai cucu-cucunya.“Jangan lupa nastar k
“Bu ... bukannya Riri melarang, sama sekali enggak, tapi seperti apa yang Ibu bilang tadi. Ibu harus bilang dulu sama kakak-kakak, itu saja,” Riri mengulang perkataannya sebelumnya.Namun Ibu Saida sepertinya tak mau mendengarkan apa pun ucapan Riri, “Ibu hanya ingin Umrah, mumpung masih mampu.”‘Baiklah, sepertinya ibu salah ngomong. Beliau hanya memberitahuku, bukan meminta pendapat. Sebab bagaimana pun aku memberi saran, tetap tidak akan di dengarkan olehnya.’“Semoga keinginan Ibu segera tercapai,” kata Riri akhirnya. Tak ingin mengucapkan apa-apa lagi karena bisa mematahkan hatinya yang kini sedang membayangkan hal-hal yang menyenangkan.“Iya, doakan ya, Ri.”Riri mengangguk dan membatin, ‘Aku tidak bisa memberikannya apa pun, jadi minimal aku jangan membuatnya kecewa.’Tak berapa lama, Ibu mengeluarkan uang dari kantong sakunya, “Ini dari Hamdan, nitip buat Ibu sama Riri katanya.”Namun sayang, Riri menggeleng. Dia trauma dengan kejadian kemarin. “Maaf, Bu. Riri memutuskan untuk
Mata Riri mengembun mendapatkan respons yang begitu buruk dari seberang. Padahal—dia hanya meminta haknya sendiri, tapi ada saja cobaannya. Lama-kelamaan kesabaran orang bisa habis juga kalau seperti ini caranya.Dia manusia, bukan malaikat. Jelas dia memakai perasaan. Memangnya manusia mana yang tidak kesal saat terus di remehkan dan di anggap sedemikian sepele oleh orang lain di tengah-tengah lelahnya dia bekerja keras?Terlebih, Riri juga sedang mengandung sekarang. Susah payah dia menahan rasa mualnya dari bau menjenuhkan kue nastar yang dia bikin seharian penuh—bahkan sampai sekarang pun belum usai karena dia harus membereskan bekas pekerjaannya.Dapur tampak obrak-abrik seperti baru saja di landa perang. Pun dengan anak-anaknya yang belum ia mandikan sesore ini. “Aku harus menutup modal pakai apa?” gumamnya kebingungan. Tetapi dia merasa masih memiliki harapan, yakni menghubungi Nur Lela. Ya, wanita itu pasti mau membayarnya sekarang juga, pikirnya begitu yakin.“Mbak ...” uca