Share

Bab 6

Ilham mengerutkan kening dan langsung menangkap garis besarnya; kenapa mereka jadi ribut dan saling marahan di sini. Rupanya, Tian tidak rela jika Hamdan memberikan uang kepada adik kandungnya sendiri.

Ilham menyahut, “Maaf, Mas, bawalah uang itu. Tidak akan berkah jika pun Mas meninggalkannya di sini. Sebab ada seorang istri yang tidak ikhlas jika suaminya memberikannya pada orang lain.”

“Bukan masalah ikhlas atau tidak ikhlas,” sahut Tian ketus. “Masalahnya dia memberikannya tanpa sepengetahuanku. Itu yang membuatku kesal. Terlebih dia memberikannya di saat aku sedang butuh. Aku punya banyak cicilan, anakku juga butuh iuran sekolah. Aku juga sebentar lagi mau lahiran. Apakah kamu tak melihatnya?”

“Bawalah uang itu, Mbak. Insyaallah aku masih bisa mencukupi istri dan anak-anakku. Kami nggak sedang dalam kekurangan, kok.”

Tanpa menjawab apa pun, Tian langsung meninggalkan ruangan itu dan suaminya. Hamdan yang tidak enak lantas meminta maaf kepada adik iparnya tersebut. “Tolong maafkan sikap istriku.”

Ilham tersenyum, “Lain kali jangan berikan uang lagi sama Riri, Mas. Ini terakhir kalinya. Kasihan Riri kalau terus diperlakukan kurang baik oleh keluarganya.”

“Sekali lagi, aku minta maaf, Ilham,” ucap Hamdan lagi menepuk pundak Ilham, sebelum akhirnya keluar dari rumah.

Ilham hanya mengangguk sambil menatap punggung lelaki itu, sambil bergumam. “Miris, karena cinta, dia lemah kepada istrinya. Hingga tanpa sadar, istrinya telah menginjak-injak harga dirinya sebagai seorang kepala keluarga.”

Usai Hamdan masuk ke rumah mertuanya, Ilham menghampiri Riri yang tengah menidurkan kedua anak-anaknya. Dia menatap takjub perempuan hebat ini yang selalu tegar dalam setiap menghadapi cobaan yang menimpanya.

“Ri ...,” ucap Ilham. Ia tahu bahwa Riri hanya pura-pura tidur saja. “Yang sabar, ya. Aku akan berusaha bekerja lebih keras lagi sampai mereka nggak berani hina kita. Maafkan suamimu yang belum bisa membahagiakan mu ya, Ri.” Ilham mengusap rambutnya, mengecup keningnya sebelum kemudian berjalan ke belakang untuk membersihkan diri karena baru saja pulang bekerja.

Ilham hanyalah seorang buruh pabrik biasa. Dia bekerja selama delapan jam di sana. Berangkat dari pukul delapan, dan pulang jam empat sore.

Keduanya menikah enam tahun lalu. Awalnya, keluarga Riri tidak setuju saat dia melamarnya karena pada saat itu, dia belum mempunyai pekerjaan tetap. Namun karena ketulusannya, akhirnya Ibu Saida menyetujui keduanya menikah.

Awal pertemuan di tempat yang sama. Mereka bertemu di pabrik kemudian jatuh cinta. Tapi Riri memutuskan untuk berhenti semenjak menikah karena pada saat itu dia sedang hamil Fadly.

Seperti inilah kehidupan mereka sehari-hari. Walau pun mereka hidup pas-pasan, namun mereka bahagia. Mereka baik-baik saja dan hidup normal layaknya pasangan lain. Namun entah mengapa keluarga Riri selalu menganggap kemiskinan adalah sebuah penderitaan?

Bukan sekali dua kali kakak-kakaknya selalu mengusik kehidupan Riri serta membanding-bandingkannya dengan kehidupan mereka yang jauh lebih maju.

“Aku heran sama kamu, apa yang membuatmu jatuh cinta samaI lham loh, Ri?” kata Nur Lela di malam sebelum mereka menikah. “Ilham Cuma laki-lakinya biasa. Kaya enggak, ganteng juga nggak. Tapi kamu kok, sampai segitunya suka sama dia. Padahal kalau kamu mau, Mbak punya banyak teman seorang pengusaha atau mandor proyek.”

“Kaya bukan jaminan bahagia, Mbak. Walau pun Ilham Cuma laki-laki biasa, tapi dia itu baik, kok. Dia juga sayang sekali sama ibunya. Itu bisa jadi modal utama nanti Riri menikah. Karena laki-laki yang sayang sama ibunya, biasanya dia mempunyai hati yang lembut dan menghargai wanita. Pria seperti inilah yang banyak di cari, Mbak. Karena dia nggak akan berlaku kasar, apalagi tega melukaiku.”

“Kamu doang yang nyari begitu!” sela Nur Lela. “Realistis sajalah, kita ini perempuan kan punya banyak kebutuhan. Apalagi kalau sudah punya anak. Salah satu tujuan menikah itu ya supaya kita bisa jadi lebih kaya daripada sebelumnya. Karena kaya itulah, kita akan bahagia.”

‘Sepertinya Mbak Nur Lela memang tidak tahu apa makna bahagia yang sesungguhnya. Apa mungkin, punya suami yang sangat sibuk dan jarang pulang, lantas membuatnya merasa bahagia? Bukankah dia kesepian selama ini?

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status