Ilham mengerutkan kening dan langsung menangkap garis besarnya; kenapa mereka jadi ribut dan saling marahan di sini. Rupanya, Tian tidak rela jika Hamdan memberikan uang kepada adik kandungnya sendiri.
Ilham menyahut, “Maaf, Mas, bawalah uang itu. Tidak akan berkah jika pun Mas meninggalkannya di sini. Sebab ada seorang istri yang tidak ikhlas jika suaminya memberikannya pada orang lain.”“Bukan masalah ikhlas atau tidak ikhlas,” sahut Tian ketus. “Masalahnya dia memberikannya tanpa sepengetahuanku. Itu yang membuatku kesal. Terlebih dia memberikannya di saat aku sedang butuh. Aku punya banyak cicilan, anakku juga butuh iuran sekolah. Aku juga sebentar lagi mau lahiran. Apakah kamu tak melihatnya?”“Bawalah uang itu, Mbak. Insyaallah aku masih bisa mencukupi istri dan anak-anakku. Kami nggak sedang dalam kekurangan, kok.”Tanpa menjawab apa pun, Tian langsung meninggalkan ruangan itu dan suaminya. Hamdan yang tidak enak lantas meminta maaf kepada adik iparnya tersebut. “Tolong maafkan sikap istriku.”Ilham tersenyum, “Lain kali jangan berikan uang lagi sama Riri, Mas. Ini terakhir kalinya. Kasihan Riri kalau terus diperlakukan kurang baik oleh keluarganya.”“Sekali lagi, aku minta maaf, Ilham,” ucap Hamdan lagi menepuk pundak Ilham, sebelum akhirnya keluar dari rumah.Ilham hanya mengangguk sambil menatap punggung lelaki itu, sambil bergumam. “Miris, karena cinta, dia lemah kepada istrinya. Hingga tanpa sadar, istrinya telah menginjak-injak harga dirinya sebagai seorang kepala keluarga.”Usai Hamdan masuk ke rumah mertuanya, Ilham menghampiri Riri yang tengah menidurkan kedua anak-anaknya. Dia menatap takjub perempuan hebat ini yang selalu tegar dalam setiap menghadapi cobaan yang menimpanya.“Ri ...,” ucap Ilham. Ia tahu bahwa Riri hanya pura-pura tidur saja. “Yang sabar, ya. Aku akan berusaha bekerja lebih keras lagi sampai mereka nggak berani hina kita. Maafkan suamimu yang belum bisa membahagiakan mu ya, Ri.” Ilham mengusap rambutnya, mengecup keningnya sebelum kemudian berjalan ke belakang untuk membersihkan diri karena baru saja pulang bekerja.Ilham hanyalah seorang buruh pabrik biasa. Dia bekerja selama delapan jam di sana. Berangkat dari pukul delapan, dan pulang jam empat sore.Keduanya menikah enam tahun lalu. Awalnya, keluarga Riri tidak setuju saat dia melamarnya karena pada saat itu, dia belum mempunyai pekerjaan tetap. Namun karena ketulusannya, akhirnya Ibu Saida menyetujui keduanya menikah.Awal pertemuan di tempat yang sama. Mereka bertemu di pabrik kemudian jatuh cinta. Tapi Riri memutuskan untuk berhenti semenjak menikah karena pada saat itu dia sedang hamil Fadly.Seperti inilah kehidupan mereka sehari-hari. Walau pun mereka hidup pas-pasan, namun mereka bahagia. Mereka baik-baik saja dan hidup normal layaknya pasangan lain. Namun entah mengapa keluarga Riri selalu menganggap kemiskinan adalah sebuah penderitaan?Bukan sekali dua kali kakak-kakaknya selalu mengusik kehidupan Riri serta membanding-bandingkannya dengan kehidupan mereka yang jauh lebih maju.“Aku heran sama kamu, apa yang membuatmu jatuh cinta samaI lham loh, Ri?” kata Nur Lela di malam sebelum mereka menikah. “Ilham Cuma laki-lakinya biasa. Kaya enggak, ganteng juga nggak. Tapi kamu kok, sampai segitunya suka sama dia. Padahal kalau kamu mau, Mbak punya banyak teman seorang pengusaha atau mandor proyek.”“Kaya bukan jaminan bahagia, Mbak. Walau pun Ilham Cuma laki-laki biasa, tapi dia itu baik, kok. Dia juga sayang sekali sama ibunya. Itu bisa jadi modal utama nanti Riri menikah. Karena laki-laki yang sayang sama ibunya, biasanya dia mempunyai hati yang lembut dan menghargai wanita. Pria seperti inilah yang banyak di cari, Mbak. Karena dia nggak akan berlaku kasar, apalagi tega melukaiku.”“Kamu doang yang nyari begitu!” sela Nur Lela. “Realistis sajalah, kita ini perempuan kan punya banyak kebutuhan. Apalagi kalau sudah punya anak. Salah satu tujuan menikah itu ya supaya kita bisa jadi lebih kaya daripada sebelumnya. Karena kaya itulah, kita akan bahagia.”‘Sepertinya Mbak Nur Lela memang tidak tahu apa makna bahagia yang sesungguhnya. Apa mungkin, punya suami yang sangat sibuk dan jarang pulang, lantas membuatnya merasa bahagia? Bukankah dia kesepian selama ini?Setelah kedua anak-anaknya terlelap, Riri pun beranjak keluar dari kamar dengan gerakan sangat pelan agar tak sampai membangunkan mereka. Dia terlebih dahulu menyiapkan pakaian untuk suaminya yang sedang membersihkan diri, kemudian menyiapkan makanan.“Tumben hari ini pulang lebih cepat, Mas?” tanya Riri begitusuaminya keluar dari dalam sana.“Iya, aku nggak ngambil lembur.” Hanya itu jawaban Ilham, sebelum kemudian pria itu menuju ke kamar. Dia kembali setelah berganti pakaian, lantas duduk di depan istrinya yang sudah menyiapkan piring untuknya.“Tumben masak rendang?” dia bertanya.“Ini dari Ibu, Mas. Tadi aku dikasih, soalnya aku disuruh masak di sana,” jawab Riri.“Oh, karena ada keluargamu yang datang itu?”Riri hanya mengangguk.“Kamu sendiri sudah makan apa belum?”“Sudah, Mas ... tinggal anak-anak yang belum, tapi mereka sudah keburu tidur. Sepertinya mereka kecapean habis main di halaman rumah Eshan.”“Matamu sembab ... kamu habis menangis?” Ilham menggenggam tangan istrinya
Riri memegangi kepalanya yang terasa berdenyut. Merasa gondok dengan kelakuan-kelakuan kakaknya yang keterlaluan terhadapnya.Tidak tahan berdiri tegak membuatnya mencari kekuatan dengan berpegangan pada pinggiran meja agar tak sampai terjatuh. Namun dilihatnya, ruangan menjadi gelap disusul dengan tubuhnya yang terasa ringan, lama-kelamaan tak sadarkan diri.GUBRAK!Terdengar suara perabot yang terjatuh bersamaan dengan tubuh Riri, membuat semua orang yang ada di ruang tamu bertanya-tanya.“Ada apa, tuh, Bu?” tanya Hamdan.“Nggak tahu,” jawab Ibu Saida. “Ri, Ri?” lantaran lama tak mendengar jawaban membuat Ibu Saida kembali memanggilnya, “Ri?”Hamdan beranjak dari tempat duduknya, “Coba aku lihat.” tapi sayangnya, batal karena tangan istrinya menahannya.“Apaan sih, kamu, Mas!” Tian tak setuju suaminya menemui Riri lagi setelah kejadian tadi. Dia masih takut kalau-kalau Hamdan kembali memberinya uang tanpa sepengetahuan dirinya.“Itu di belakang ada suara barang jatuh, aku mau lihat
Ilham terus berusaha membangunkan Riri setelah sang istri dibaringkan ke ranjang mertuanya. “Ri, bangun, Ri. Kamu kenapa?”Bingung dan panik, membuat Ilham menoleh kepada kedua kakak iparnya yang berdiri di belakangnya tanpa membantu melakukan apa-apa, “Ada minyak kayu putih nggak, Mbak? Punya nggak?”Keduanya mengedikkan bahu secara bersamaan.“Aku nggak bawa,” kata Nur Lela.“Apalagi aku, buat apa bawa-bawa kayu putih,” sahut Tian.“Ya Allah ... apa kalian nggak mau berusaha untuk mencarikan nya dulu?” geram Ilham sampai gigi-giginya gemeletuk. “Kalian ‘kan perempuan. Ini adik kalian pingsan, tolonglah sebentar, jangan Cuma berdiri menonton saja.”“Aku capek, Ham ... aku lagi hamil. Mana pula kamu suruh aku ke warung,” kata Tian beralasan. “Di sini kan warungnya jauh, aku nggak bisa jalan sejauh itu. Gimana kalau aku nanti malah ikutan pingsan juga. Repot.”Nur Lela langsung menyambung, “Aku juga, kakiku sedang pegal. Maklum, terlalu banyak memakai heels, jadi ya gini.” sambil menun
“Ini loh, adik kita,” Nur Lela menoleh kepada adik iparnya. “Masa dia hamil lagi, kan anaknya masih kecil-kecil. Setidaknya kasihlah jarak berapa tahun sama Fadlan. Minimal sampai Fadlan bisa ganti baju sendirilah.”“Oh ... jadi kamu pingsan karena kamu hamil lagi, Ri?” tanya Tian untuk memastikan. Namun Riri tak menjawab.“Ya sudahlah, Mbak. Yang penting nanti mereka nggak sampai merepotkan keluarga.”“Merepotkan keluarga yang bagaimana?” tanya Riri menyela pembicaraan mereka. “Biar pun aku nggak seberada kalian, tapi selama ini aku nggak pernah minta-minta, kok. Nggak pernah pinjam-pinjam uang sama kalian, alhamdulillah. Kami bahagia dalam kesederhanaan kami.”“Eh, biasa aja dong, jangan nyolot.”“Ah, sudah-sudah!” potong Ibu Saida. “Ibu pusing dengar perdebatan kalian. Apa-apa di masalahkan. Justru harusnya kalian itu senang karena sebentar lagi bakal menambah keponakan. Bukan malah menyalahkan Riri. Hadirnya seorang anak adalah kehendak dari Allah, rezeki yang patut disyukuri. Buk
Petang setelah menunaikan salat magrib di musala terdekat, kedua anak Ibu Saida serta menantu dan cucu-cucunya itu kemudian berpamitan pulang.“Kami takut sampai di sana kemalaman, Bu,” kata Hamdan menjadi perwakilan di antara mereka. “Besok anak-anak juga sudah mau sekolah lagi. Jadi nggak bisa terlalu lama apalagi menginap.”Ibu Saida mengangguk mengerti, “Pulanglah kalian, hati-hatidi jalan, jangan ngebut untuk menghindari hal-hal yang tidak di inginkan. Di sini jalannya sudah agak rusak.”“Baik, Bu,” jawab Hamdan lagi. “Kami pulang dulu. Sampai ketemu lagi bulan depan, insyaallah. Dan maaf kalau kedatangan kami merepotkan ibu dan juga Riri.”“Ah, tidak apa-apa, Nak. Beginilah memang seorang Ibu yang akan tetap menjadi naungan untuk anak-anaknya. Sejauh apa pun kalian pergi, pasti kalian akan kembali ke tempat ini lagi, berkumpul dengan orang tuanya selagi mereka masih ada.”Semua mengangguk dan saling berpamitan. Mulai dari anak, menantu, sampai cucu-cucunya.“Jangan lupa nastar k
“Bu ... bukannya Riri melarang, sama sekali enggak, tapi seperti apa yang Ibu bilang tadi. Ibu harus bilang dulu sama kakak-kakak, itu saja,” Riri mengulang perkataannya sebelumnya.Namun Ibu Saida sepertinya tak mau mendengarkan apa pun ucapan Riri, “Ibu hanya ingin Umrah, mumpung masih mampu.”‘Baiklah, sepertinya ibu salah ngomong. Beliau hanya memberitahuku, bukan meminta pendapat. Sebab bagaimana pun aku memberi saran, tetap tidak akan di dengarkan olehnya.’“Semoga keinginan Ibu segera tercapai,” kata Riri akhirnya. Tak ingin mengucapkan apa-apa lagi karena bisa mematahkan hatinya yang kini sedang membayangkan hal-hal yang menyenangkan.“Iya, doakan ya, Ri.”Riri mengangguk dan membatin, ‘Aku tidak bisa memberikannya apa pun, jadi minimal aku jangan membuatnya kecewa.’Tak berapa lama, Ibu mengeluarkan uang dari kantong sakunya, “Ini dari Hamdan, nitip buat Ibu sama Riri katanya.”Namun sayang, Riri menggeleng. Dia trauma dengan kejadian kemarin. “Maaf, Bu. Riri memutuskan untuk
Mata Riri mengembun mendapatkan respons yang begitu buruk dari seberang. Padahal—dia hanya meminta haknya sendiri, tapi ada saja cobaannya. Lama-kelamaan kesabaran orang bisa habis juga kalau seperti ini caranya.Dia manusia, bukan malaikat. Jelas dia memakai perasaan. Memangnya manusia mana yang tidak kesal saat terus di remehkan dan di anggap sedemikian sepele oleh orang lain di tengah-tengah lelahnya dia bekerja keras?Terlebih, Riri juga sedang mengandung sekarang. Susah payah dia menahan rasa mualnya dari bau menjenuhkan kue nastar yang dia bikin seharian penuh—bahkan sampai sekarang pun belum usai karena dia harus membereskan bekas pekerjaannya.Dapur tampak obrak-abrik seperti baru saja di landa perang. Pun dengan anak-anaknya yang belum ia mandikan sesore ini. “Aku harus menutup modal pakai apa?” gumamnya kebingungan. Tetapi dia merasa masih memiliki harapan, yakni menghubungi Nur Lela. Ya, wanita itu pasti mau membayarnya sekarang juga, pikirnya begitu yakin.“Mbak ...” uca
Setelah pertengkaran malam itu, suami istri yang sebelumnya harmonis jadi merenggang karena sebuah problem, yakni hutang. Ilham yang biasanya perhatian kepada istrinya mendadak dingin dan lebih banyak diam. Bukannya Ilham egois, tetapi sesekali dia ingin membuat istrinya jera atas tindakannya yang bodoh karena selalu pasrah jika di perbudak oleh saudara-saudaranya.“Kali ini kamu cari solusinya sendiri,” kata Ilham pagi hari sebelum pria itu berangkat bekerja.Riri tak menjawab, ia hanya menunduk dengan pikiran yang penuh.“Lain kali kalau mau melakukan sesuatu bicarakan denganku dulu denganku. Aku suamimu. Jangan main ambil keputusan sendiri. Uang setengah juta lebih itu bukan uang yang sedikit. Mengerti kamu?”Riri mengangguk.“Aku berangkat kerja dulu. Jangan pergi ke mana-mana, apalagi ke warung sebelum Mbakmu mengirimkan uang untuk pelunasan.”Ilham pergi tanpa menyentuh atau menyodorkan tangannya untuk salim seperti biasa. Pria itu juga sempat menolak pada saat ia diberikan kota