Share

Bab 4

“Mas Hamdan mau lagi, nggak?” tawar Tian kepada suaminya yang baru saja berhenti makan.

“Sudah, cukup,” jawabnya.

“Mas Abian ke mana, sih?” Nur Lela menanyakan suaminya sendiri kepada Hamdan.

“Keluar tadi sama anak lelakimu. Mau merokok katanya.”

“Oh ....”

Selesai makan, piring tercecer di mana-mana dan tak ada satupun orang yang mau berinisiatif membawanya ke belakang. Tak tega membiarkan Sang ibu kerepotan sendirian, lagi-lagi Riri yang angkat tangan. Dia membereskan semuanya ke dapur sembari membatin, semoga ia diberi kesabaran yang luas. Serta-merta dia yang mencucikan piringnya lantaran sudah tidak ada lagi yang ibunya andalkan selain dirinya.

‘Tak apalah, hitung-hitung membantu orang tua.’

“Maa! Mama!” panggil Fadly, anak sulung Riri yang datang-datang langsung menuju ke dapur. Mencari-cari ibunya.

“Dasar anak nggak sopan. Ada Tante dan Omnya di sini diamalah bablas ke dapur, bukannya salim!” gerutu Nur Lela dan juga Tian yang mempunyai wajah sama-sama judesnya.

“Iya, bukannya salim.”

“Ma, minta uang, adik mau jajan,” rengek Fadly.

“Sebentar, sebentar.” Riri mengeringkan tangannya sebelum akhirnya dia keluar menuntun Fadly karena mendengar gerutuan kakak-kakaknya. “Salimdulu sama Om, sama Tante.”

“Ma, salimnya nanti, adik mau jajan. Nanti orangnya keburu pergi!” Fadly menolak dan menggeret tangan Mamanya untuk keluar dari sana.

“Minta uang aja cepet, di suruh salim nggak mau. Dasar anak nggak punya etika!” lagi, Nur Lela mengomel kesal.

“Sabar, Nak. Tadi kita dengar kan pendengaran Fadly, adik minta uang. Butuh cepat karena penjual jajannya takut keburu pergi,” Ibu Saida menjelaskan agar tidak ada kekeliruan. “Lain kali dengar dulu kesimpulannya, lagi pula Fadly kan hanya anak kecil. Tahu apa dia.”

“Justru itu, dia itu harus di didik sopan-santun dari kecil. Supaya besarnya nggak blangsak.”

“Insyaallah tidak ... asalkan kita mendoakan yang baik untuknya.”

Beberapa menit kemudian, Riri kembali dengan kedua anak-anaknya yang membawa masing-masing cup es krim.

“Salim dulu sama Om sama Tante, Nak. Sama Viona sama Kakak juga,” ucap Riri mengarahkan anaknya dan mereka pun menurut dan tersenyum malu-malu. Namun saat Fadlan mendekati Tian, wanita itu berekspresi jijik.

“Kok jorok banget tangannya?” ucap Tian, terlebih saat tangan mungil Fadlan menyentuh tangannya. “Habis main di got yah? Aku harus langsung cuci tangan, nih. Kamu nggak kira-kira ya, Ri. Masa nyuruh anak salaman begini? Nggak di suruh cuci tangan dulu.”

Tatkala Tian bangkit ke kamar mandi, Riri langsung mengemban anaknya yang kedua karena anak ini hampir menangis. Dia sedih karena merasa TanteTian sedang memarahinya.

“Sssh ... jangan nangis, Nak. Tante Tian nggak marah, kok. Nggak marah, Sayang ....” untuk sementara, Riri meninggalkan mereka untuk menenangkan anaknya. Dia menuju ke rumahnya sendiri untuk mencucikan tangan Fadlan dan menggantikan pakaiannya yang kotor.

‘Padahal baru ganti, tadi. Namanya juga masih kecil. Da kan juga punya anak, harusnya maklum.’

“Tadi kalian habis main di mana, sih, Nak?” tanya Riri kepada Fadly.

“Tadi main di rumah Ehsan yang ada perosotannya, Ma,” jawab Fadly. “Kita jatuh-jatuh ke tanah.”

“Oh, ya pantes baju kalian kotor. Nanti setelah bersih, jangan main di sana lagi, ya?”

Fadly menurut.

Tatkala Riri sedang menidurkan kedua anaknya di ruang tamu, tiba-tiba pintu terbuka. Ternyata Mas Hamdan yang menghampirinya, kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong sakunya. “Ini ada sedikit rezeki, kamu ambil, ya. Untuk jajan mereka.”

“Tapi, Mas?” Riri bingung dengan lembaran uang ratusan ribu yang disodorkan untuknya. “Sudah izin sama Mbak Tian belum? Nanti aku yang disalahkan.”

“Kalau izin nggak bakal di izinkan,” katanya lagi.

Namun pada saat Riri menerima, terdengar suara dari pintu, “Apa yang kamu kasih ke dia, Mas?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status