Ilham terus berusaha membangunkan Riri setelah sang istri dibaringkan ke ranjang mertuanya. “Ri, bangun, Ri. Kamu kenapa?”Bingung dan panik, membuat Ilham menoleh kepada kedua kakak iparnya yang berdiri di belakangnya tanpa membantu melakukan apa-apa, “Ada minyak kayu putih nggak, Mbak? Punya nggak?”Keduanya mengedikkan bahu secara bersamaan.“Aku nggak bawa,” kata Nur Lela.“Apalagi aku, buat apa bawa-bawa kayu putih,” sahut Tian.“Ya Allah ... apa kalian nggak mau berusaha untuk mencarikan nya dulu?” geram Ilham sampai gigi-giginya gemeletuk. “Kalian ‘kan perempuan. Ini adik kalian pingsan, tolonglah sebentar, jangan Cuma berdiri menonton saja.”“Aku capek, Ham ... aku lagi hamil. Mana pula kamu suruh aku ke warung,” kata Tian beralasan. “Di sini kan warungnya jauh, aku nggak bisa jalan sejauh itu. Gimana kalau aku nanti malah ikutan pingsan juga. Repot.”Nur Lela langsung menyambung, “Aku juga, kakiku sedang pegal. Maklum, terlalu banyak memakai heels, jadi ya gini.” sambil menun
“Ini loh, adik kita,” Nur Lela menoleh kepada adik iparnya. “Masa dia hamil lagi, kan anaknya masih kecil-kecil. Setidaknya kasihlah jarak berapa tahun sama Fadlan. Minimal sampai Fadlan bisa ganti baju sendirilah.”“Oh ... jadi kamu pingsan karena kamu hamil lagi, Ri?” tanya Tian untuk memastikan. Namun Riri tak menjawab.“Ya sudahlah, Mbak. Yang penting nanti mereka nggak sampai merepotkan keluarga.”“Merepotkan keluarga yang bagaimana?” tanya Riri menyela pembicaraan mereka. “Biar pun aku nggak seberada kalian, tapi selama ini aku nggak pernah minta-minta, kok. Nggak pernah pinjam-pinjam uang sama kalian, alhamdulillah. Kami bahagia dalam kesederhanaan kami.”“Eh, biasa aja dong, jangan nyolot.”“Ah, sudah-sudah!” potong Ibu Saida. “Ibu pusing dengar perdebatan kalian. Apa-apa di masalahkan. Justru harusnya kalian itu senang karena sebentar lagi bakal menambah keponakan. Bukan malah menyalahkan Riri. Hadirnya seorang anak adalah kehendak dari Allah, rezeki yang patut disyukuri. Buk
Petang setelah menunaikan salat magrib di musala terdekat, kedua anak Ibu Saida serta menantu dan cucu-cucunya itu kemudian berpamitan pulang.“Kami takut sampai di sana kemalaman, Bu,” kata Hamdan menjadi perwakilan di antara mereka. “Besok anak-anak juga sudah mau sekolah lagi. Jadi nggak bisa terlalu lama apalagi menginap.”Ibu Saida mengangguk mengerti, “Pulanglah kalian, hati-hatidi jalan, jangan ngebut untuk menghindari hal-hal yang tidak di inginkan. Di sini jalannya sudah agak rusak.”“Baik, Bu,” jawab Hamdan lagi. “Kami pulang dulu. Sampai ketemu lagi bulan depan, insyaallah. Dan maaf kalau kedatangan kami merepotkan ibu dan juga Riri.”“Ah, tidak apa-apa, Nak. Beginilah memang seorang Ibu yang akan tetap menjadi naungan untuk anak-anaknya. Sejauh apa pun kalian pergi, pasti kalian akan kembali ke tempat ini lagi, berkumpul dengan orang tuanya selagi mereka masih ada.”Semua mengangguk dan saling berpamitan. Mulai dari anak, menantu, sampai cucu-cucunya.“Jangan lupa nastar k
“Bu ... bukannya Riri melarang, sama sekali enggak, tapi seperti apa yang Ibu bilang tadi. Ibu harus bilang dulu sama kakak-kakak, itu saja,” Riri mengulang perkataannya sebelumnya.Namun Ibu Saida sepertinya tak mau mendengarkan apa pun ucapan Riri, “Ibu hanya ingin Umrah, mumpung masih mampu.”‘Baiklah, sepertinya ibu salah ngomong. Beliau hanya memberitahuku, bukan meminta pendapat. Sebab bagaimana pun aku memberi saran, tetap tidak akan di dengarkan olehnya.’“Semoga keinginan Ibu segera tercapai,” kata Riri akhirnya. Tak ingin mengucapkan apa-apa lagi karena bisa mematahkan hatinya yang kini sedang membayangkan hal-hal yang menyenangkan.“Iya, doakan ya, Ri.”Riri mengangguk dan membatin, ‘Aku tidak bisa memberikannya apa pun, jadi minimal aku jangan membuatnya kecewa.’Tak berapa lama, Ibu mengeluarkan uang dari kantong sakunya, “Ini dari Hamdan, nitip buat Ibu sama Riri katanya.”Namun sayang, Riri menggeleng. Dia trauma dengan kejadian kemarin. “Maaf, Bu. Riri memutuskan untuk
Mata Riri mengembun mendapatkan respons yang begitu buruk dari seberang. Padahal—dia hanya meminta haknya sendiri, tapi ada saja cobaannya. Lama-kelamaan kesabaran orang bisa habis juga kalau seperti ini caranya.Dia manusia, bukan malaikat. Jelas dia memakai perasaan. Memangnya manusia mana yang tidak kesal saat terus di remehkan dan di anggap sedemikian sepele oleh orang lain di tengah-tengah lelahnya dia bekerja keras?Terlebih, Riri juga sedang mengandung sekarang. Susah payah dia menahan rasa mualnya dari bau menjenuhkan kue nastar yang dia bikin seharian penuh—bahkan sampai sekarang pun belum usai karena dia harus membereskan bekas pekerjaannya.Dapur tampak obrak-abrik seperti baru saja di landa perang. Pun dengan anak-anaknya yang belum ia mandikan sesore ini. “Aku harus menutup modal pakai apa?” gumamnya kebingungan. Tetapi dia merasa masih memiliki harapan, yakni menghubungi Nur Lela. Ya, wanita itu pasti mau membayarnya sekarang juga, pikirnya begitu yakin.“Mbak ...” uca
Setelah pertengkaran malam itu, suami istri yang sebelumnya harmonis jadi merenggang karena sebuah problem, yakni hutang. Ilham yang biasanya perhatian kepada istrinya mendadak dingin dan lebih banyak diam. Bukannya Ilham egois, tetapi sesekali dia ingin membuat istrinya jera atas tindakannya yang bodoh karena selalu pasrah jika di perbudak oleh saudara-saudaranya.“Kali ini kamu cari solusinya sendiri,” kata Ilham pagi hari sebelum pria itu berangkat bekerja.Riri tak menjawab, ia hanya menunduk dengan pikiran yang penuh.“Lain kali kalau mau melakukan sesuatu bicarakan denganku dulu denganku. Aku suamimu. Jangan main ambil keputusan sendiri. Uang setengah juta lebih itu bukan uang yang sedikit. Mengerti kamu?”Riri mengangguk.“Aku berangkat kerja dulu. Jangan pergi ke mana-mana, apalagi ke warung sebelum Mbakmu mengirimkan uang untuk pelunasan.”Ilham pergi tanpa menyentuh atau menyodorkan tangannya untuk salim seperti biasa. Pria itu juga sempat menolak pada saat ia diberikan kota
Harap-harap cemas Riri menunggu suaminya pulang. Padahal jarum jam sudah menyentuh angka enam, tapi pria itu masih belum sampai juga.“Biasanya setelah ashar juga Mas Ilham sudah sampai. Atau dia masih marah sama aku, jadi dia nggak mau pulang?” gumamnya sangat gelisah, “ah, tapi mana mungkin Mas Ilham seperti itu ... ayo Riri, berpikir positif. Dia pasti pulang hari ini.”Wanita itu berjalan bolak-balik dari satu tempat ke tempat lainnya seperti yang biasa orang-orang lakukan untuk membuat dirinya lebih baik.“Mama kok bolak-balik?” tanya Fadly yang heran dengan kelakuan aneh mamanya.Riri tersenyum dan seketika menghentikan aktivitasnya yang konyol itu, “Nggak papa, Nak. Mama hanya lagi menunggu Papamu pulang.”“Papa kok belum puyang?” Fadlan ikut-ikutan bertanya dengan suara gemasnya.“Iya, sebentar lagi, Nak,” jawab Riri mendekati mereka berdua untuk duduk bergabung di depan televisi. Meraih ponselnya, wanita itu pun akhirnya menyerah dan memilih untuk menghubungi laki-laki yang s
Riri mengusap wajahnya kasar. Lagi-lagi dia harus terpuruk sendirian di saat-saat genting seperti ini. Celakanya, dia juga harus menenangkan kedua anak-anaknya yang juga khawatir dengan kondisi nininya.Nini kok nggak keluar-keluar, Ma?” tanya Fadly.“Kata Mama Nininya masih syakit,” sahut Fadlan menanggapi pertanyaan kakaknya.“Nini lagi diperiksa sama dokter, sayang. Sabar, ya, doakan supaya Nini cepat sembuh,” jawab Riri tanpa bisa menjelaskan hal lain lagi. “Atau kalian mau tidur? Capek?”Fadly yang sudah mengerti keadaan dirinya lantas mengangguk. Berbeda dengan Fadlan yang hanya bergelayut manja.“Ya sudah, sini, Nak. Bobo di dekat Mama, ya,” kata Riri kepada anak pertamanya. Meskipun tengah dalam keadaan kalut dan bingung, namun dia tetap berusaha tegar di depan keduanya agar mereka tahu, bahwa ibu mereka adalah ibu yang tangguh.Fadly pun mendekat, dia menyandarkan kepalanya di pangkuan mamanya. Pun dengan Fadlan yang juga menyusul hingga keduanya terlelap.‘Fadly pasti capek