Setelah kedua anak-anaknya terlelap, Riri pun beranjak keluar dari kamar dengan gerakan sangat pelan agar tak sampai membangunkan mereka. Dia terlebih dahulu menyiapkan pakaian untuk suaminya yang sedang membersihkan diri, kemudian menyiapkan makanan.
“Tumben hari ini pulang lebih cepat, Mas?” tanya Riri begitusuaminya keluar dari dalam sana.“Iya, aku nggak ngambil lembur.” Hanya itu jawaban Ilham, sebelum kemudian pria itu menuju ke kamar. Dia kembali setelah berganti pakaian, lantas duduk di depan istrinya yang sudah menyiapkan piring untuknya.“Tumben masak rendang?” dia bertanya.“Ini dari Ibu, Mas. Tadi aku dikasih, soalnya aku disuruh masak di sana,” jawab Riri.“Oh, karena ada keluargamu yang datang itu?”Riri hanya mengangguk.“Kamu sendiri sudah makan apa belum?”“Sudah, Mas ... tinggal anak-anak yang belum, tapi mereka sudah keburu tidur. Sepertinya mereka kecapean habis main di halaman rumah Eshan.”“Matamu sembab ... kamu habis menangis?” Ilham menggenggam tangan istrinya dan memintanya untuk menatapnya lebih lekat. “Ri ... ceritakanlah. Apa mereka menyakitimu lagi?”Setelah sekian detik terdiam, akhirnya tangis Riri meledak,wanita itu tak tahan lagi menahan sebak di dadanya. “Ya, gimana nggak sedih ...hanya perkara soal uang saja aku yang jadi sasaran. Padahal aku nggak pernah minta. Uangnya yang dikasih juga nggak seberapa—tapi rasanya aku udah nggak punya harga diri lagi di depan mereka, Mas. Padahal sepeser pun aku nggak pernah mau nerima ....”Ilham menggeserkan kursinya untuk duduk lebih dekat, kemudian merengkuh tubuh istrinya untuk ia tenangkan. “Bersabarlah. Setiap anggota keluarga memang ditakdirkan oleh Allah memiliki watak yang berbeda-beda. Tujuannya adalah untuk menguji orang-orang terdekatnya. Kita berdoa saja, mudah-mudahan mereka cepat diberikan hidayah.”Setelah kembali tenang, Ilham melepaskannya, kemudian berusaha menghiburnya dengan cerita-cerita lucu yang ia jumpai selama ia bekerja. Dan ternyata usahanya efektif karena berhasil membuat Riri kembali tersenyum. Namun tak lama, karena beberapa menit kemudian, seseorang memanggilnya dari luar.“Ri ... Ri!”Keduanya sontak saling menatap. Bertanya-tanya lewat matanya. Mau apalagi dia mendatanginya?“Suara Mbak Nur, Mas.”Ilham mengiyakan, “Mau apalagi dia?”“Aku nggak tahu.”“Ri ... Ri!” wanita itu kembali memanggil.“Aku temui dulu, ya?” Riri beranjak berdiri menuju ke pintu.Ilham hanya mengangguk dan tersenyum samar. Padahal, dia baru saja membuat istrinya tersenyum, tapi mungkin sebentar lagi akan kembali dibuat tangis oleh orang lain. Terus terang, sebenarnya Ilham kurang suka jika kakak-kakak istrinya itu datang kemari, karena pasti akan berakibat seperti ini.“Alangkah baiknya kalau kami punya rumah yang jauh agar bisa hidup lebih tenang dan tak perlu bertemu lagi dengan mereka,” gumam Ilham. “Tapi sayangnya nggak mungkin karena Ibu Saida hanya sendiri di sini. Sementara beliau sudah tua. Nggak ada yang merawatnya kalau ada apa-apa, nanti.”Dan seandainya dia mempunyai banyak uang, mungkin Ilham akan membawa serta mertuanya itu untuk pindah ke planet lain. Agar hidup mereka senantiasa bahagia.Sementara di luar, Riri menemui Mbaknya yang sedari tadi memanggil-manggil namanya. “Iya, ada apa, ya, Mbak?”“Itu, loh, tadi Ibumu mberesin rumah sendirian. Mbok yo kamu bantuin kok malah pulang. Kasihan kan, tua-tua harus repot sendiri, nanti sakitnya bisa kambuh lagi, loh.”“Ya Allah, Mbak. Ibuku kan Ibumu juga. Mbak juga perempuan, bisalah kalau Mbak bantu beliau sedikit-sedikit. Nggak selalu harus aku ....”“Tapi Mbak kan tamu di sini. Sekali-sekali, lah dilayani.Toh, kami datang ke sini juga nggak setiap hari. Kami pun capek habis dari perjalanan jauh,” jawab Nur sembari melihat-lihat tanaman hias milik Riri yang tumbuh sangat cantik di pot teras rumah.Riri menahan napasnya kesal. Ah, percuma saja berbicara dengan salah satu makhluk astral seperti mereka. Bukannya nyambung, malah semakin bikin emosi jiwa. Karena semua omongan, pasti akan dibantah olehnya dan malah balik menyalahkan orang lain. Dia selalu benar!“Eh, ini tanaman kamu dapat dari mana, sih?” tanyanya kemudian menunjukkan tanaman tersebut. “Kok cantik banget janda bolongnya. Mau dong! Mahal, nih.”“Jangan Mbak, ini dikasih sama orang. Biar Riri aja yang ngerawat. Gimana kalau yang ngasih nanti kecewa kalau tahu-tahu, barang pemberiannya sudah nggak ada.”“Alah, wong udah dikasih, mah, mau diapain juga terserah. Nggak dosa,” Nur Lela menampik.“Tapi kesannya jadi kayak nggak menghargai yang memberi, Mbak.”“Ya udah, Mbak nanti beli, deh. Lima sekalian yang lebih bagus dari kamu!” ketusnya, kemudian berlalu begitu saja.Lagi-lagi Riri menghela napas. Sabar ... sabar ... batinnya sambil mengelus dada. Tak berapa lama, diapun kembali ke rumah ibunya setelah memberitahu suaminya sekaligus memintanya untuk menjaga anak-anak sementara.“Nah, tuh dia anaknya,” ucap Nur Lela begitu wanita ini masuk ke dalam. Dan rupanya, ruangan sudah beres dari perabotan kotor. Tinggal hanya menyapu-nyapu lantai saja yang kebetulan berserak sisa-sisa makanan, mungkin kelakuan anak-anak mereka.“Nggak papa, kok, Ri. Ibu bisa mengerjakannya sendiri. Kakakmu saja yang khawatir tadi. Takut Ibu kelelahan mungkin. Kamu kalau mau pulang, pulang saja,” kata Ibu Saida tidak enak karena terus-menerus merepotkan anaknya yang satu ini.Namun begitu, Riri tetap menuju ke belakang untuk melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Sebab tadi ia meninggalkan cucian piringnya yang ternyata masih utuh, dan malah justru semakin menggunung.“Ibu mau bantu Riri, ya. Kasihan dia. Pekerjaannya sendiri malah nggak ke pegang karena bantuin Ibu terus,” ucap Ibu Saidah beranjak dari tempat duduknya, namun sontak dicegah oleh anak sulungnya.“Sudahlah, Bu. Nanti Nur yang ganti uangnya karena nggak kerja sehari demi kita. Ya nggak Ti?” dia meminta pendapat kepada adik iparnya. Tapi wanita itu masih cemberut sebab karena masalah tadi.“Paling berapa sih, pendapatan bikin kue. Sehari paling lima puluh ribu. Kecil menurutku,” sambungnya lagi tanpa menyadari perubahan roman muka adik iparnya lantaran keduanya sama-sama berotak bebal!Tanpa menunggu Riri selesai melakukan pekerjaannya, Nur Lela menuju ke belakang dan mengeluarkan dompetnya yang terisi banyak sekali uang lembaran berwarna merah dan biru. Seakan sedang memamerkan diri bahwa dia begitu kaya.“Nih, buat ganti pekerjaanmu sehari,” kata Nur Lela mengulurkan uang tersebut. “Aku tahu kamu pasti kehilangan pendapatan hari ini gara-gara kedatangan kita.”Namun Riri tersenyum dan menolak dengan ramah, “Maaf dan terima kasih sebelumnya Mbak. Aku melakukan ini ikhlas, demi Ibu, bukan karena ingin dibayar. Mana ada sama saudara perhitungan.”“Sombong!” maki Nur Lela kemudian keluar dari dapur itu.“Bukan begitu, Mbak ... Ya Allah ...,” geram Riri menahan marah. Begini salah, begitu salah. Lantas bagaimana benarnya? Kenapa lagi-lagi dia harus ribut masalah uang? Bukankah ini memalukan?Riri memegangi kepalanya yang terasa berdenyut. Merasa gondok dengan kelakuan-kelakuan kakaknya yang keterlaluan terhadapnya.Tidak tahan berdiri tegak membuatnya mencari kekuatan dengan berpegangan pada pinggiran meja agar tak sampai terjatuh. Namun dilihatnya, ruangan menjadi gelap disusul dengan tubuhnya yang terasa ringan, lama-kelamaan tak sadarkan diri.GUBRAK!Terdengar suara perabot yang terjatuh bersamaan dengan tubuh Riri, membuat semua orang yang ada di ruang tamu bertanya-tanya.“Ada apa, tuh, Bu?” tanya Hamdan.“Nggak tahu,” jawab Ibu Saida. “Ri, Ri?” lantaran lama tak mendengar jawaban membuat Ibu Saida kembali memanggilnya, “Ri?”Hamdan beranjak dari tempat duduknya, “Coba aku lihat.” tapi sayangnya, batal karena tangan istrinya menahannya.“Apaan sih, kamu, Mas!” Tian tak setuju suaminya menemui Riri lagi setelah kejadian tadi. Dia masih takut kalau-kalau Hamdan kembali memberinya uang tanpa sepengetahuan dirinya.“Itu di belakang ada suara barang jatuh, aku mau lihat
Ilham terus berusaha membangunkan Riri setelah sang istri dibaringkan ke ranjang mertuanya. “Ri, bangun, Ri. Kamu kenapa?”Bingung dan panik, membuat Ilham menoleh kepada kedua kakak iparnya yang berdiri di belakangnya tanpa membantu melakukan apa-apa, “Ada minyak kayu putih nggak, Mbak? Punya nggak?”Keduanya mengedikkan bahu secara bersamaan.“Aku nggak bawa,” kata Nur Lela.“Apalagi aku, buat apa bawa-bawa kayu putih,” sahut Tian.“Ya Allah ... apa kalian nggak mau berusaha untuk mencarikan nya dulu?” geram Ilham sampai gigi-giginya gemeletuk. “Kalian ‘kan perempuan. Ini adik kalian pingsan, tolonglah sebentar, jangan Cuma berdiri menonton saja.”“Aku capek, Ham ... aku lagi hamil. Mana pula kamu suruh aku ke warung,” kata Tian beralasan. “Di sini kan warungnya jauh, aku nggak bisa jalan sejauh itu. Gimana kalau aku nanti malah ikutan pingsan juga. Repot.”Nur Lela langsung menyambung, “Aku juga, kakiku sedang pegal. Maklum, terlalu banyak memakai heels, jadi ya gini.” sambil menun
“Ini loh, adik kita,” Nur Lela menoleh kepada adik iparnya. “Masa dia hamil lagi, kan anaknya masih kecil-kecil. Setidaknya kasihlah jarak berapa tahun sama Fadlan. Minimal sampai Fadlan bisa ganti baju sendirilah.”“Oh ... jadi kamu pingsan karena kamu hamil lagi, Ri?” tanya Tian untuk memastikan. Namun Riri tak menjawab.“Ya sudahlah, Mbak. Yang penting nanti mereka nggak sampai merepotkan keluarga.”“Merepotkan keluarga yang bagaimana?” tanya Riri menyela pembicaraan mereka. “Biar pun aku nggak seberada kalian, tapi selama ini aku nggak pernah minta-minta, kok. Nggak pernah pinjam-pinjam uang sama kalian, alhamdulillah. Kami bahagia dalam kesederhanaan kami.”“Eh, biasa aja dong, jangan nyolot.”“Ah, sudah-sudah!” potong Ibu Saida. “Ibu pusing dengar perdebatan kalian. Apa-apa di masalahkan. Justru harusnya kalian itu senang karena sebentar lagi bakal menambah keponakan. Bukan malah menyalahkan Riri. Hadirnya seorang anak adalah kehendak dari Allah, rezeki yang patut disyukuri. Buk
Petang setelah menunaikan salat magrib di musala terdekat, kedua anak Ibu Saida serta menantu dan cucu-cucunya itu kemudian berpamitan pulang.“Kami takut sampai di sana kemalaman, Bu,” kata Hamdan menjadi perwakilan di antara mereka. “Besok anak-anak juga sudah mau sekolah lagi. Jadi nggak bisa terlalu lama apalagi menginap.”Ibu Saida mengangguk mengerti, “Pulanglah kalian, hati-hatidi jalan, jangan ngebut untuk menghindari hal-hal yang tidak di inginkan. Di sini jalannya sudah agak rusak.”“Baik, Bu,” jawab Hamdan lagi. “Kami pulang dulu. Sampai ketemu lagi bulan depan, insyaallah. Dan maaf kalau kedatangan kami merepotkan ibu dan juga Riri.”“Ah, tidak apa-apa, Nak. Beginilah memang seorang Ibu yang akan tetap menjadi naungan untuk anak-anaknya. Sejauh apa pun kalian pergi, pasti kalian akan kembali ke tempat ini lagi, berkumpul dengan orang tuanya selagi mereka masih ada.”Semua mengangguk dan saling berpamitan. Mulai dari anak, menantu, sampai cucu-cucunya.“Jangan lupa nastar k
“Bu ... bukannya Riri melarang, sama sekali enggak, tapi seperti apa yang Ibu bilang tadi. Ibu harus bilang dulu sama kakak-kakak, itu saja,” Riri mengulang perkataannya sebelumnya.Namun Ibu Saida sepertinya tak mau mendengarkan apa pun ucapan Riri, “Ibu hanya ingin Umrah, mumpung masih mampu.”‘Baiklah, sepertinya ibu salah ngomong. Beliau hanya memberitahuku, bukan meminta pendapat. Sebab bagaimana pun aku memberi saran, tetap tidak akan di dengarkan olehnya.’“Semoga keinginan Ibu segera tercapai,” kata Riri akhirnya. Tak ingin mengucapkan apa-apa lagi karena bisa mematahkan hatinya yang kini sedang membayangkan hal-hal yang menyenangkan.“Iya, doakan ya, Ri.”Riri mengangguk dan membatin, ‘Aku tidak bisa memberikannya apa pun, jadi minimal aku jangan membuatnya kecewa.’Tak berapa lama, Ibu mengeluarkan uang dari kantong sakunya, “Ini dari Hamdan, nitip buat Ibu sama Riri katanya.”Namun sayang, Riri menggeleng. Dia trauma dengan kejadian kemarin. “Maaf, Bu. Riri memutuskan untuk
Mata Riri mengembun mendapatkan respons yang begitu buruk dari seberang. Padahal—dia hanya meminta haknya sendiri, tapi ada saja cobaannya. Lama-kelamaan kesabaran orang bisa habis juga kalau seperti ini caranya.Dia manusia, bukan malaikat. Jelas dia memakai perasaan. Memangnya manusia mana yang tidak kesal saat terus di remehkan dan di anggap sedemikian sepele oleh orang lain di tengah-tengah lelahnya dia bekerja keras?Terlebih, Riri juga sedang mengandung sekarang. Susah payah dia menahan rasa mualnya dari bau menjenuhkan kue nastar yang dia bikin seharian penuh—bahkan sampai sekarang pun belum usai karena dia harus membereskan bekas pekerjaannya.Dapur tampak obrak-abrik seperti baru saja di landa perang. Pun dengan anak-anaknya yang belum ia mandikan sesore ini. “Aku harus menutup modal pakai apa?” gumamnya kebingungan. Tetapi dia merasa masih memiliki harapan, yakni menghubungi Nur Lela. Ya, wanita itu pasti mau membayarnya sekarang juga, pikirnya begitu yakin.“Mbak ...” uca
Setelah pertengkaran malam itu, suami istri yang sebelumnya harmonis jadi merenggang karena sebuah problem, yakni hutang. Ilham yang biasanya perhatian kepada istrinya mendadak dingin dan lebih banyak diam. Bukannya Ilham egois, tetapi sesekali dia ingin membuat istrinya jera atas tindakannya yang bodoh karena selalu pasrah jika di perbudak oleh saudara-saudaranya.“Kali ini kamu cari solusinya sendiri,” kata Ilham pagi hari sebelum pria itu berangkat bekerja.Riri tak menjawab, ia hanya menunduk dengan pikiran yang penuh.“Lain kali kalau mau melakukan sesuatu bicarakan denganku dulu denganku. Aku suamimu. Jangan main ambil keputusan sendiri. Uang setengah juta lebih itu bukan uang yang sedikit. Mengerti kamu?”Riri mengangguk.“Aku berangkat kerja dulu. Jangan pergi ke mana-mana, apalagi ke warung sebelum Mbakmu mengirimkan uang untuk pelunasan.”Ilham pergi tanpa menyentuh atau menyodorkan tangannya untuk salim seperti biasa. Pria itu juga sempat menolak pada saat ia diberikan kota
Harap-harap cemas Riri menunggu suaminya pulang. Padahal jarum jam sudah menyentuh angka enam, tapi pria itu masih belum sampai juga.“Biasanya setelah ashar juga Mas Ilham sudah sampai. Atau dia masih marah sama aku, jadi dia nggak mau pulang?” gumamnya sangat gelisah, “ah, tapi mana mungkin Mas Ilham seperti itu ... ayo Riri, berpikir positif. Dia pasti pulang hari ini.”Wanita itu berjalan bolak-balik dari satu tempat ke tempat lainnya seperti yang biasa orang-orang lakukan untuk membuat dirinya lebih baik.“Mama kok bolak-balik?” tanya Fadly yang heran dengan kelakuan aneh mamanya.Riri tersenyum dan seketika menghentikan aktivitasnya yang konyol itu, “Nggak papa, Nak. Mama hanya lagi menunggu Papamu pulang.”“Papa kok belum puyang?” Fadlan ikut-ikutan bertanya dengan suara gemasnya.“Iya, sebentar lagi, Nak,” jawab Riri mendekati mereka berdua untuk duduk bergabung di depan televisi. Meraih ponselnya, wanita itu pun akhirnya menyerah dan memilih untuk menghubungi laki-laki yang s