Share

Bab 7

Setelah kedua anak-anaknya terlelap, Riri pun beranjak keluar dari kamar dengan gerakan sangat pelan agar tak sampai membangunkan mereka. Dia terlebih dahulu menyiapkan pakaian untuk suaminya yang sedang membersihkan diri, kemudian menyiapkan makanan.

“Tumben hari ini pulang lebih cepat, Mas?” tanya Riri begitusuaminya keluar dari dalam sana.

“Iya, aku nggak ngambil lembur.” Hanya itu jawaban Ilham, sebelum kemudian pria itu menuju ke kamar. Dia kembali setelah berganti pakaian, lantas duduk di depan istrinya yang sudah menyiapkan piring untuknya.

“Tumben masak rendang?” dia bertanya.

“Ini dari Ibu, Mas. Tadi aku dikasih, soalnya aku disuruh masak di sana,” jawab Riri.

“Oh, karena ada keluargamu yang datang itu?”

Riri hanya mengangguk.

“Kamu sendiri sudah makan apa belum?”

“Sudah, Mas ... tinggal anak-anak yang belum, tapi mereka sudah keburu tidur. Sepertinya mereka kecapean habis main di halaman rumah Eshan.”

“Matamu sembab ... kamu habis menangis?” Ilham menggenggam tangan istrinya dan memintanya untuk menatapnya lebih lekat. “Ri ... ceritakanlah. Apa mereka menyakitimu lagi?”

Setelah sekian detik terdiam, akhirnya tangis Riri meledak,wanita itu tak tahan lagi menahan sebak di dadanya. “Ya, gimana nggak sedih ...hanya perkara soal uang saja aku yang jadi sasaran. Padahal aku nggak pernah minta. Uangnya yang dikasih juga nggak seberapa—tapi rasanya aku udah nggak punya harga diri lagi di depan mereka, Mas. Padahal sepeser pun aku nggak pernah mau nerima ....”

Ilham menggeserkan kursinya untuk duduk lebih dekat, kemudian merengkuh tubuh istrinya untuk ia tenangkan. “Bersabarlah. Setiap anggota keluarga memang ditakdirkan oleh Allah memiliki watak yang berbeda-beda. Tujuannya adalah untuk menguji orang-orang terdekatnya. Kita berdoa saja, mudah-mudahan mereka cepat diberikan hidayah.”

Setelah kembali tenang, Ilham melepaskannya, kemudian berusaha menghiburnya dengan cerita-cerita lucu yang ia jumpai selama ia bekerja. Dan ternyata usahanya efektif karena berhasil membuat Riri kembali tersenyum. Namun tak lama, karena beberapa menit kemudian, seseorang memanggilnya dari luar.

“Ri ... Ri!”

Keduanya sontak saling menatap. Bertanya-tanya lewat matanya. Mau apalagi dia mendatanginya?

“Suara Mbak Nur, Mas.”

Ilham mengiyakan, “Mau apalagi dia?”

“Aku nggak tahu.”

“Ri ... Ri!” wanita itu kembali memanggil.

“Aku temui dulu, ya?” Riri beranjak berdiri menuju ke pintu.

Ilham hanya mengangguk dan tersenyum samar. Padahal, dia baru saja membuat istrinya tersenyum, tapi mungkin sebentar lagi akan kembali dibuat tangis oleh orang lain. Terus terang, sebenarnya Ilham kurang suka jika kakak-kakak istrinya itu datang kemari, karena pasti akan berakibat seperti ini.

“Alangkah baiknya kalau kami punya rumah yang jauh agar bisa hidup lebih tenang dan tak perlu bertemu lagi dengan mereka,” gumam Ilham. “Tapi sayangnya nggak mungkin karena Ibu Saida hanya sendiri di sini. Sementara beliau sudah tua. Nggak ada yang merawatnya kalau ada apa-apa, nanti.”

Dan seandainya dia mempunyai banyak uang, mungkin Ilham akan membawa serta mertuanya itu untuk pindah ke planet lain. Agar hidup mereka senantiasa bahagia.

Sementara di luar, Riri menemui Mbaknya yang sedari tadi memanggil-manggil namanya. “Iya, ada apa, ya, Mbak?”

“Itu, loh, tadi Ibumu mberesin rumah sendirian. Mbok yo kamu bantuin kok malah pulang. Kasihan kan, tua-tua harus repot sendiri, nanti sakitnya bisa kambuh lagi, loh.”

“Ya Allah, Mbak. Ibuku kan Ibumu juga. Mbak juga perempuan, bisalah kalau Mbak bantu beliau sedikit-sedikit. Nggak selalu harus aku ....”

“Tapi Mbak kan tamu di sini. Sekali-sekali, lah dilayani.Toh, kami datang ke sini juga nggak setiap hari. Kami pun capek habis dari perjalanan jauh,” jawab Nur sembari melihat-lihat tanaman hias milik Riri yang tumbuh sangat cantik di pot teras rumah.

Riri menahan napasnya kesal. Ah, percuma saja berbicara dengan salah satu makhluk astral seperti mereka. Bukannya nyambung, malah semakin bikin emosi jiwa. Karena semua omongan, pasti akan dibantah olehnya dan malah balik menyalahkan orang lain. Dia selalu benar!

“Eh, ini tanaman kamu dapat dari mana, sih?” tanyanya kemudian menunjukkan tanaman tersebut. “Kok cantik banget janda bolongnya. Mau dong! Mahal, nih.”

“Jangan Mbak, ini dikasih sama orang. Biar Riri aja yang ngerawat. Gimana kalau yang ngasih nanti kecewa kalau tahu-tahu, barang pemberiannya sudah nggak ada.”

“Alah, wong udah dikasih, mah, mau diapain juga terserah. Nggak dosa,” Nur Lela menampik.

“Tapi kesannya jadi kayak nggak menghargai yang memberi, Mbak.”

“Ya udah, Mbak nanti beli, deh. Lima sekalian yang lebih bagus dari kamu!” ketusnya, kemudian berlalu begitu saja.

Lagi-lagi Riri menghela napas. Sabar ... sabar ... batinnya sambil mengelus dada. Tak berapa lama, diapun kembali ke rumah ibunya setelah memberitahu suaminya sekaligus memintanya untuk menjaga anak-anak sementara.

“Nah, tuh dia anaknya,” ucap Nur Lela begitu wanita ini masuk ke dalam. Dan rupanya, ruangan sudah beres dari perabotan kotor. Tinggal hanya menyapu-nyapu lantai saja yang kebetulan berserak sisa-sisa makanan, mungkin kelakuan anak-anak mereka.

“Nggak papa, kok, Ri. Ibu bisa mengerjakannya sendiri. Kakakmu saja yang khawatir tadi. Takut Ibu kelelahan mungkin. Kamu kalau mau pulang, pulang saja,” kata Ibu Saida tidak enak karena terus-menerus merepotkan anaknya yang satu ini.

Namun begitu, Riri tetap menuju ke belakang untuk melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Sebab tadi ia meninggalkan cucian piringnya yang ternyata masih utuh, dan malah justru semakin menggunung.

“Ibu mau bantu Riri, ya. Kasihan dia. Pekerjaannya sendiri malah nggak ke pegang karena bantuin Ibu terus,” ucap Ibu Saidah beranjak dari tempat duduknya, namun sontak dicegah oleh anak sulungnya.

“Sudahlah, Bu. Nanti Nur yang ganti uangnya karena nggak kerja sehari demi kita. Ya nggak Ti?” dia meminta pendapat kepada adik iparnya. Tapi wanita itu masih cemberut sebab karena masalah tadi.

“Paling berapa sih, pendapatan bikin kue. Sehari paling lima puluh ribu. Kecil menurutku,” sambungnya lagi tanpa menyadari perubahan roman muka adik iparnya lantaran keduanya sama-sama berotak bebal!

Tanpa menunggu Riri selesai melakukan pekerjaannya, Nur Lela menuju ke belakang dan mengeluarkan dompetnya yang terisi banyak sekali uang lembaran berwarna merah dan biru. Seakan sedang memamerkan diri bahwa dia begitu kaya.

“Nih, buat ganti pekerjaanmu sehari,” kata Nur Lela mengulurkan uang tersebut. “Aku tahu kamu pasti kehilangan pendapatan hari ini gara-gara kedatangan kita.”

Namun Riri tersenyum dan menolak dengan ramah, “Maaf dan terima kasih sebelumnya Mbak. Aku melakukan ini ikhlas, demi Ibu, bukan karena ingin dibayar. Mana ada sama saudara perhitungan.”

“Sombong!” maki Nur Lela kemudian keluar dari dapur itu.

“Bukan begitu, Mbak ... Ya Allah ...,” geram Riri menahan marah. Begini salah, begitu salah. Lantas bagaimana benarnya? Kenapa lagi-lagi dia harus ribut masalah uang? Bukankah ini memalukan?

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status