Share

6. Lelaki Pembuat Onar

Laki-laki berambut kecoklatan itu duduk berhadapan dengan Amber. Matanya berkedip aneh. Salah satu tangannya berada di atas meja, nyaris menempel dengan tangan Amber padahal semua orang tau perlakuan seperti itu sama sekali tidak sopan.

 

Amber tidak memperhatikan apapun kecuali mendengarkan lawan bicaranya di telepon.

 

Saat itu pintu terbuka dari luar. Wanita berusia 26 tahun masuk dengan ekspresi marah. "Amber, aku muak dengan laki-laki itu."

 

Amber menoleh dengan ekspresi kesal. "Aku sedang menjawab telefon, Kaylin Hayes!"

 

"Ya, tapi kau harus dengarkan aku. Laki-laki bernama Adam itu berani mengancamku untuk bisa masuk ke sini. Dia datang untuk ketiga kalinya sejak pagi. Kedatangannya sungguh meresahkan." Kaylin baru sadar ada laki-laki duduk berhadapan dengan Amber sedang menatap datar ke arahnya. "James, apa yang kau lakukan di sini?"

 

"Cuma melaporkan masalah," sahut lelaki berambut coklat itu dengan ekspresi salah tingkah.

 

"Kau sudah selesai? Kalau begitu, silahkan keluar!" Kaylin menarik James dari kursi dan mendorongnya keluar. "Ada masalah lebih penting yang harus aku bicarakan dengan boss Amber J!" tegasnya dengan gigi menggertak.

 

"Relax! Aku akan keluar, tidak perlu mendorongku, Kaylin," sahut James sambil mengusap lengannya seolah ada debu di sana.

 

Kaylin menunggu pintu ruangan terutup dan James menghilang dari pandangan, baru dia bicara dengan ekspresi serius. "Adam McLarren, dia yang datang ke sini beberapa hari yang lalu---"

 

Amber memperlihatkan telunjuknya. Menyuruh Kaylin berhenti bicara dengan tatapan sinis. "Maaf, Pak. Bisa kita bicara lagi nanti? Sampai jumpa!" 

 

Amber mematikan panggilan sepihak. Menegakkan wajah ke arah Kaylin. "Kau harus belajar sopan santun di ruanganku."

 

"Oh, sudahlah. Aku tidak peduli sopan santun lagi, aku ingin laki-laki bernama Adam itu ditangani. Dia terus saja memberontak untuk masuk ke ruanganmu."

 

Amber menelan saliva. Mengingat saat dia bertemu dengan laki-laki itu di sekolah Daniel. Mereka tidak sempat saling bicara dan Amber bersyukur karena itu.

 

"Aku tidak mengerti kenapa dia punya keberanian sebesar ini. Seharusnya dia malu pernah ditolak, tetapi masih bersikeras datang ke sini."

 

"Mungkin dia datang untuk tujuan lain," sahut Amber tanpa nada.

 

"Untuk tujuan lain? Tujuan apa?"

 

"Kita tidak akan tau kalau tidak bertanya secara langsung padanya. Biarkan dia masuk."

 

Kaylin menatap tak percaya. "Kau serius?"

 

"Tidak ada salahnya membiarkan dia masuk."

 

"Ya, tapi kau tidak pernah mau bicara dengan orang asing sebelumnya. Sikapmu yang baru ini membuatku bertanya-tanya. Atau jangan-jangan ... kalian saling mengenal."

 

"Ya, kami saling mengenal."

 

Kaylin mematung selama beberapa detik. Lalu melebarkan matanya untuk memastikan sosok di hadapannya adalah Amber. "Hm ... oke. Aku akan suruh dia masuk. Setelah dia pergi, aku akan datang ke sini lagi untuk mengintrogasimu."

 

Kaylin bangkit dari duduknya. Masih menatap kebingungan ke arah Amber, sampai kakinya tak sengaja menyandung kaki kursi.

 

Beberapa saat setelah Kaylin keluar, terjadi keheningan suram. Amber menunggu selama hampir satu menit dengan menatap tak berkedip ke arah pintu, tak kunjung ada orang yang masuk.

 

"Buang-buang waktu," bisiknya sambil membuka catatan dan meraih bolpoin.

 

Brak ...

 

Pintu menjeblak terbuka. Amber mengira pintu kacanya itu pecah sehingga dia terlonjak kaget dari kursinya.

 

"Maaf, aku dikejar penjaga!" Adam menahan dadanya yanga bergerak naik turun. Napasnya ngos-ngosan parah. Dasi di lehernya melonggar dan ada bercak darah di sudut bibirnya.

 

"Sekali lagi kau tidak sopan di ruanganku, Tuan Adam."

 

Adam melangkah tertatih-tatih ke kursi di hadapan Amber. "Aku tidak bermaksud tak sopan, Miss. Aku benar-benar minta maaf."

 

"Mau apa lagi kau ke sini? Bukankah aku sudah bilang kemarin bahwa aku tidak ingin punya karyawan sepertimu."

 

"Ehm ... Anda tidak bilang begitu, Miss. Anda bilang Anda menolak lamaranku ... maksudku, lamaran pekerjaanku."

 

Amber mengalihkan pandangan dan mendengus.

 

"Tetapi sekarang aku ingin bersungguh-sungguh meminta kepada Anda untuk memperbolehkanku bekerja di sini." Adam memperlihatkan berkas yang tertekuk-tekuk ke hadapan Amber. 

 

"Aku benar-benar memohon!" Adam duduk di hadapan Amber sambil menahan napas tak beraturannya.

 

Amber menatap lurus ke mata Adam. Dia mengedipkan matanya setelah menatap mata itu terlalu lama dan mengambil napas. "Keputusanku sudah kau dengar kemarin, aku tidak akan menerimamu."

 

"Miss, kumohon! Anda bisa jadikan aku cleaning servise atau tukang pengantar teh, itu tidak masalah, asalkan Anda menerimaku."

 

Amber menautkan alis. 

 

"Aku tidak bercanda," sahut Adam ketika melihat ekspresi tak percaya di wajah Amber. 

 

"Maaf, Tuan McLarren, aku tidak bisa."

 

"Apa ini karena permusuhan kedua anak kita?"

 

Tiba-tiba Amber merasakan sengatan di nadinya. Kedua matanya kembali menatap lurus ke mata Adam. Sorotan marah menjalar di antara kedua mata Amber. 

 

"Aku tidak pernah membawa masalah pribadi dalam dunia pekerjaan," sahut Amber dengan nada getir.

 

"Aku benar-benar minta maaf atas nama Ovi."

 

"ITU DIA!" dua penjaga muncul di ambang pintu ruangan Amber. Keduanya menatap marah ke arah Adam yang kini berdiri dengan ekspresi kaku. 

 

"Maaf Miss Amber, dia datang dengan cara yang tidak sopan," kata salah satu penjaga yang sudah menodongkan tongkatnya untuk memukuli Adam lagi.

 

Kedua penjaga itu melangkahkan kaki tegap mereka ke dalam ruangan untuk meringkus Adam.

 

"Berhenti! Biarkan dia di sini!" perintah Amber membuat kedua penjaga itu saling menatap kebingungan. "Kami perlu bicara. Kalian boleh kembali ke tempat berjaga."

 

"Baik, Miss." Kedua penjaga itu pergi dengan langkah ragu-ragu.

 

Adam duduk lagi. Ekspresinya terlihat lebih lega. "Apakah ada kemungkinan bahwa aku akan diterima sekarang?" tanya Adam penuh percaya diri.

 

"Kenapa kau begitu bersikeras melamar pekerjaan di sini meskipun aku sudah menolakmu berkali-kali?" Amber menyeringai penuh selidik.

 

"Mencarikan berlian terlangka di ujung dunia pun tetap akan kulakukan jika demi putriku. Aku tidak bisa menolak apapun yang ia impikan, dan mendapatkan pekerjaan di sini adalah salah satu impiannya. Sudah kubilang, dia sangat menyukai Anda, Miss."

 

Amber kehilangan kata-kata. Ekspresi profesionalnya melunak. Matanya tak berkedip beberapa detik hanya untuk menatap betapa murninya sorotan mata Adam ketika mengatakan itu. Lalu Amber sadar, mungkin ini hanya sebuah trik agar dia bisa memberi Adam pekerjaan. Laki-laki itu benar-benar aktor handal.

 

"Karyawan di sini tidak boleh membawa anggota keluarganya masuk ke kantor," sanggah Amber sama sekali tidak mempengaruhi Adam.

 

"Aku tau, Miss. Setidaknya dia bisa membanggakan kepada teman-temannya kalau ayahnya bekerja di tempat impiannya. Dia selalu pulang dalam keadaan menangis ketika teman-temannya menyombongkan tentang ibu mereka, Ovi tidak punya ibu, dia tidak punya sesuatu untuk dibanggakan."

 

Amber kembali terlena dengan cara Adam menceritakan tentang putrinya. Sekarang dia agak sadar, Adam bukan seorang aktor, lelaki itu benar-benar tulus.

 

"Baiklah, aku memberimu satu minggu percobaan di departemen komunikasi. Setelah itu, baru aku akan menentukan apakah kau harus bertahan atau tidak."

 

Adam terperangah. Matanya berkedip cemas. "Apa aku tidak salah dengar? Anda memberiku pekerjaan?"

 

"Kau masih dalam tahap percobaan. Ingat itu!"

 

"Terima kasih, Miss. Terima kasih sudah memahami keadaaanku. Boleh aku pulang sekarang? Aku ingin memberi kabar bahagia ini untuk putriku. Dia pasti sangat senang."

 

"Ya, pergilah!" 

 

Adam berjalan keluar setelah memberi tatapan penuh terima kasih kepada Amber. Mulai besok dia akan bekerja di sini untuk Ovi.

 

Stara

Hay pembaca! Selamat membaca kisah Amber dan kawan-kawan. Semoga terhibur!

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status