Share

5. Putraku dan Putrimu

"Silahkan masuk, Nyonya Amber!" Nancy membukakan pintu. Memberi jalan untuk Amber agar bisa masuk ke dalam ruangannya.

Amber keluar mobil dan berjalan di koridor sekolah dengan langkah tegap. Pandangannya lurus ke depan meskipun banyak sekali murid yang menatap penasaran ke arahnya.

Begitu sampai di depan ruangan Miss Nancy, orang yang memanggil Amber kemarin, dia mengetuk pintu dengan anggun.

Ruangan yang elegan, pikir Amber setelah mendudukkan diri di sebuah kursi tempat Nancy mempersilahkannya.

"Tunggu sebentar, Nyonya. Putra Anda sedang dipanggil dari kelasnya."

"Baik, terima kasih." 

Beberapa saat kemudian, pintu terbuka lagi. Amber mengira itu adalah putranya, tetapi sosok yang muncul dari balik pintu adalah laki-laki jangkung yang Amber lihat di ruangan kerjanya kemarin.

Amber nyaris tak berkedip karena keheranan.

"Siang, Miss!" Adam mengangguk ke arah Nancy. "Dan ... kita berjumpa lagi, Miss Amber!"

Amber buru-buru mengalihkan pandangan dan menatap lurus untuk memperlihatkan keanggunannya. "Jadi benar, dia adalah ayah dari gadis yang sudah mem-bully putraku," pikirnya. Berusaha bersikap normal.

"Silahkan duduk, Pak Adam!" Nancy mempersilahkan Adam duduk di samping Amber.

Beberapa saat kemudian, pintu terbuka lagi. Daniel muncul bersama dengan seorang gadis berwajah bulat dengan mata besar di bawah dahi indahnya. Amber menatap Adam dan gadis itu bergantian, tidak ada satu pun kemiripan antara keduanya. 

"Dad!" seru Ovi sambil berlarian ke arah Adam dan memeluk lehernya. Sedangkan Daniel berjalan pelan ke samping Amber.

"Maaf sebelumnya karena sudah menganggu waktu Anda." Nancy duduk di kursinya dengan ekspresi serius. "Saya ingin menyampaikan kabar singkat tentang anak-anak Anda."

"Oh tidak!" pekik Ovi ketika sadar siapa sosok yang duduk di samping ayahnya. Seketika semua pandangan tertuju kepadanya. "Kau Miss Amber Jenn!" matanya yang berwarna keabu-abuan membelalak takjub.

"Ya, itu saya," sahut Amber dengan nada profesional.

Ovi menjulurkan tangan. Tersenyum antusias. Amber ragu-ragu menjabat tangan mungilnya. "Senang bertemu dengan Anda, Miss. Saya mengoleksi barang-barang Anda. Ketika saya besar nanti, saya ingin sekali mengoleksi pakaian-pakaian Anda yang sangat cocok dengan kepribadian saya---"

"Maaf, Ovi!" sela Nancy membuat mata lebar Ovi teralihkan padanya. "Kurasa kau bisa bicara dengan Miss Amber nanti."

Ovi mengulum senyum. "Baiklah, Miss Nancy. Silahkan lanjutkan!" 

"Baik, terima kasih." Nancy kembali menatap lurus ke arah Adam dan Amber. "Apa yang terjadi kemarin, sangat diluar dugaan. Putra dan putri kalian bertengkar di tengah lapangan. Kami sangat sedih saat mengetahui bahwa Ovi dan Daniel sama sekali tidak menyesal karena sudah melanggar aturan."

Adam dan Amber menatap terkejut. 

"Daniel?" Sikap profesional Amber melunak begitu melihat Daniel menunduk ketakutan.

Sementara Ovi hanya menaikkan alis ke arah ayahnya. "Dia sudah bercerita tentang ini kepada saya semalam. Saya janji akan mengontrol Ovi lebih ketat lagi, Miss Nancy," jelas Adam.

"Saya juga berharap seperti itu, Pak."

Adam berbisik di telinga Ovi. "Ovi, ayah ingin kita bicara setelah kita keluar dari sini."

Ovi tersenyum meremehkan. "Kenapa tidak."

Nancy menatap lurus ke arah Amber. "Saya juga sangat mengharapkan perubahan Daniel, Miss Amber."

Amber mengangguk kaku. "Dia jarang bercerita, karena itulah saya tidak tau. Tapi saya akan pastikan dia tidak akan mengulangi kesalahannya."

"Ovi dan juga Daniel!" seru Nancy dengan nada lebih bersahabat. "Kenapa kalian tidak berjabat dan saling memaafkan satu sama lain?"

Ovi menatap marah ke arah Daniel yang sedang menengadah ke arahnya. "Kenapa aku harus berjabat tangan dengannya? Maaf Miss Amber, tapi putramu tidak sopan kepadaku."

Amber menautkan alis kebingungan. Daniel sama sekali tidak melakukan perlawanan di sampingnya. 

"Ovi, dengarkan Miss Nancy!" tegur Adam. Menarik lengan kecil putrinya untuk diarahkan ke hadapan Daniel.

Daniel langsung menjabat tangan Ovi. 

"Itu bukan berarti kita sudah berdamai!" bisik Ovi dengan ekspresi mengancam. Adam langsung menariknya ke samping kursinya lagi.

"Saya tidak ingin mendengar tentang keributan kalian berdua di kelas maupun di koridor lagi, kalian mengerti?! Jika kalian masih berani bertengkar, saya tidak segan-segan untuk mengambil tindakan lebih jauh daripada memanggil orang tua kalian."

"Yes, Miss. Aku sangat setuju!" seru Ovi berbarengan dengan anggukan hormat Daniel.

Nancy menghela napas lega. Senyumnya pun terlihat tak seberat tadi. "Terima kasih, Nyonya Amber dan Pak Adam."

Amber bangkit disusul dengan Adam.

"Kami juga berterima kasih banyak untuk semua bantuan Anda, Miss Nancy!" sahut Adam sambil menjabat Nancy.

"Saya akan berusaha melakukan yang terbaik untuk memperhatikan putra saya." Amber menjabat Nancy.

Mereka keluar satu persatu. Adam dan Amber saling menatap nanar begitu mereka sampai di luar ruangan. Tidak ada yang bicara di tengah suasana canggung itu.

Amber merasa malu karena putranya tidak seberani Ovi, sedangkan Adam malu putrinya bersikap tak sopan.

Amber membawa Daniel pulang setelah Daniel mengambil tasnya di ruangan loker. Perasaannya campur aduk antara senang dan benci, terutama karena melihat putranya seolah direndahkan oleh sikap gadis hiperaktif itu.

Adam tidak segera pulang seperti Amber dan Daniel. Dia membawa Ovi ke taman untuk bicara baik-baik dengan anak itu. Terutama setelah Adam mendengar sendiri ketidaksopanan dan ancaman yang Ovi katakan kepada orang lain.

"Lihat, Papa! Kemarin aku menendang Daniel di sana." Ovi menunjuk koridor berisi empat tempat sampah berjejeran. "Dia ditertawakan anak-anak saat tubuhnya jatuh di rerumputan."

"Ovi, dengarkan Papa!" Adam menarik kedua bahu Ovi ke hadapannya. "Mem-bully orang lain itu salah besar. Apalagi kau seorang gadis."

"Seharusnya dia bisa melawan kan, Papa? Si culun Daniel itu. Kenapa dia cuma diam saja ketika aku mem-bully-nya? Apa dia bukan laki-laki?" Ovi tertawa.

"Dia masih kecil."

"Papa pikir aku sudah besar?"

"Iya, tapi ... Nak, setiap anak berbeda. Tidak semua dari mereka pemberani dan tidak semua dari mereka mengakui kehebatannya padahal sebenarnya dirinya salah."

Ovi mengerling bingung. "Apa maksud Papa?"

"Kau bertindak keterlaluan. Kau tidak tau Papa sedang berusaha melamar pekerjaan di perusahaan Miss Amber? Kalau kau menyakiti putranya, bagaimana Papa akan mendapatkan pekerjaan di sana?"

"Kenapa dia tidak seberani Miss Amber? Salah Daniel, dia penakut dan pengecut?"

"Aku sedang meminta persetujuan darimu untuk tidak menyakiti Daniel lagi kalau kau mau Papa bisa bekerja di perusahaan itu dan bertemu Miss Amber setiap hari. Papa bisa memberimu kabar tentang produk baru yang mereka keluarkan."

Ovi menarik napas dalam. Menatap ayahnya dengan ekspresi curiga.

Adam memeluk Ovi. Bukan salah Ovi punya sikap seperti ini. Dia memang tidak begitu memperhatikan Ovi sejak istrinya meninggal dan mereka tinggal berdua. Adam hanya fokus mencari uang agar Ovi bisa membeli apapun yang dia inginkan.

"Aku harus berhenti mem-bully Daniel? Lihat saja nanti." Salah satu alisnya terangkat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status