Share

Flashback, Awal Bertemu

Lebih kurang 4 tahun yang lalu...

Aku terpaksa menutup warung makan milikku yang sebenarnya pada awalnya cukup ramai pengunjung dan memberikan hasil yang lumayan. Aku terpaksa melakukan itu karena keadaan ekonomi yang tengah kacau balau melanda kotaku bahkan mungkin negaraku dan bisa jadi seluruh dunia. Entah apa gerangan penyebabnya, aku tidak tahu.

Pengangguran meningkat dimana-mana. Masa kerja permanen ditiadakan dan diganti dengan sistem kontrak. Keadaan itu berimbas ke segala penjuru roda usaha termasuk usahaku. Para pelangganku banyak yang pulang ke kampung halaman mereka karena tidak mampu lagi bertahan hidup di kota. Demikian juga para tetangga pelaku usaha yang kebanyakan adalah pembuat perabotan kayu, satu-persatu menutup usahanya. Para pekerja mereka terpaksa dilepaskan alias di PHK karena sang Bos tidak mampu lagi menggaji mereka. 

Komplek ruko tempat warung makan milikku berada, langsung berubah sepi seperti kuburan karena para pekerja di sana yang sebelumnya adalah pelanggan tetapku kini sudah pergi entah ke mana dibawa nasib masing-masing. Dan tidak sedikit pula di antara mereka yang meninggalkan hutang kepadaku. Tapi aku memakluminya walau aku menderita rugi yang cukup lumayan jumlahnya. Mau tidak mau aku juga harus ikut hengkang dari tempat itu.

“Kamu mau tinggal di mana Uni?” tanya seorang sahabatku yang bernama Sari. Sari tahu kalau aku tidak lagi memiliki rumah semenjak usaha percetakan yang aku miliki bangkrut karena ditipu oleh kenalan mantan suamiku. Aku harus merelakan rumah dan mobilku untuk menutupi hutang kepada toko yang telah memberi hutangan bahan-bahan untuk mencetak buku. Hidupku jadi morat-marit beberapa tahun lamanya dan aku dan suami bercerai pula hingga saat itu aku telah menyandang gelar janda lebih 5 tahun lamanya.

“Aku akan menyewa kios lagi di tempat lain, Sar.” jawabku kepada Sari saat itu.

“Tapi sekarang kesulitan di mana-mana. Aku rasa kamu harus menunggu situasi agak membaik dulu. Kalau kamu mau, tinggallah di rumahku. Kamu bisa menempati salah satu kamar kos-kos an milikku tanpa harus membayarnya.” kata Sari menawarkan kebaikan. Sari memang teman baikku dan kami sudah biasa tolong menolong sejak dulu.

Setelah kupikir-pikir ada juga baiknya saran Sari. Apa lagi aku hanya tinggal sendirian. Anakku yang paling besar bekerja di sebuah perusahaan yang agak jauh dari tempatku sekarang. Anak perempuanku berada di kota lain yang sangat jauh dan ia bekerja sebagai sales mobil disalah satu show room disana. Sedangkan anak bungsuku tinggal bersama mantan suamiku yang sudah menikah.

“Baiklah!”

Usul Sari langsung aku setujui dan singkat cerita aku segera menempati salah satu kamar kos milik Sari yang berada di lantai atas atau lantai dua. Sedangkan Sari tinggal bersama keluarganya di lantai bawah dan di sana juga ada beberapa kamar yang di kos-kan.

Awal aku menempati rumah kos itu, suasana agak seram karena temanku itu malas mengurus apalagi membersihkan lantai dua yang sekarang aku tempati.

Hanya satu kamar saja yang terisi selain kamarku. Padahal, di lantai dua itu ada 8 kamar. Artinya 6 kamar lain masih kosong.

Karena aku tidak mempunyai kegiatan yang berarti, kubersihkan semua kamar dan seluruh ruangan kos di lantai dua itu. Itung-itung anggaplah aku membayar uang kos-ku dengan cara itu.

 Baru seminggu aku berada disana, penampilan lantai dua rumah milik temanku itu langsung bersinar dan nampak berseri. Mungkin karena itulah yang mengundang banyak orang untuk menyewa kamar di sana. Dan disanalah pertemuanku dengan Kang Wirna pertama kali terjadi.

Sore itu aku baru sampai di tempat kos-ku setelah seharian aku berjalan-jalan melepas kejenuhan. Aku sedikit kaget melihat kamar yang persis berada di sebelah kamarku sudah berpenghuni. Ada dua orang laki-laki yang tinggal di sana dan aku yakin umur mereka pasti di bawah usiaku. Dan sepantasnya aku menyapa mereka dengan panggilan ‘Adik’.

Beberapa hari bahkan seminggu sudah berlalu tidak ada hal yang penting yang terjadi antara aku dan penghuni baru kamar sebelahku tersebut. Namun keesokan harinya kami mulai berkomunikasi karena aku butuh bantuan mereka untuk mengangkatkan air galon yang baru aku beli. Tentu saja aku tidak sanggup mengangkat air seberat itu dan harus melewati tangga berliku.

“Biar aku yang angkat, Bu! Jangan sungkan-sungkan kepada kami.” ucap mereka sangat ramah. 

“Terima kasih, Dik!” sahutku sambil tersenyum.

Sejak saat itu kami menjadi akrab. Dan berbulan-bulan kami berteman layaknya seperti keluarga sendiri.

Walau pun sudah cukup akrab, aku tidak pernah bertanya tentang masalah pribadi kedua laki-laki yang sudah aku anggap adikku itu. Kami hanya berbincang masalah pengetahuan agama yang kuyakini salah satu dari mereka lebih tahu dari pada aku. Salah satu yang aku maksud adalah Kang Wirna. Ia kukenal cukup rajin beribadah dan aku menyukai hal itu karena aku merasa diriku sangat kekurangan ilmu agama. Tidak jarang aku bertanya kepadanya tentang beberapa hadist dan hal yang aku kurang mengerti. Dan Kang Wirna menjelaskan kepadaku dengan cara yang sangat sopan.

Sering mengobrol bertiga membuat kedua adik angkatku itu tidak sungkan bertanya tentang perjalanan hidupku. Tanpa sungkan pula aku menceritakan kisah hidupku yang bergelombang. Kadang naik dan terkadang turun. Kadang menangis dan sering pula tertawa. Namun dasar aku tipe perempuan yang ceria, aku tidak pernah memperlihatkan sakit di depan orang banyak. Noo... Itu pantangan hidupku.

Suatu hari Ahmad teman sekamar Kang Wirna berkata kepadaku.

“Bu, menikah lagilah Bu. Nggak sepi hidup sendirian.”

“Aku tidak pernah berpikir untuk menikah lagi. Aku capek menghadapi sifat laki-laki yang menurutku mau menang sendiri. Walau hidup sendiri aku merasa lebih nyaman dan bahagia. Apalagi umurku tidak lagi muda.” kataku kepada mereka saat itu.

“Mana ada Ibu sudah tua. Ibu masih cantik dan awet muda.” celutuk Kang Wirna.

“Lagian Ibu belum bertemu saja dengan laki-laki yang baik. Tidak semua laki-laki itu jahat Bu.” sambung Kang Wirna kala itu.

Namun aku tidak menggubris ucapan mereka. Aku anggap mereka hanya memberi masukan kepada kakaknya saja.

Sekitar dua bulan selanjutnya, Ahmad, teman satu kamar Kang Wirna mengatakan kalau dirinya akan pulang ke kampung halamannya yang mungkin tidak akan kembali lagi ke Batam tempat kami sekarang berada. Alasannya sama dengan banyak orang-orang lainnya. Mereka sudah tidak sanggup lagi menjadi pengangguran yang terkadang hanya kerja serabutan setelah habis masa kontrak di sebuah perusahaan. Dan saat itu keadaan Kang Wirna juga seperti Ahmad. Ia hanya kerja serabutan tapi memilih untuk bertahan walau pun harus menjalani hidup yang pas-pas-an bahkan sering kurang.

Sejak kepergian Ahmad, Kang Wirna tinggal sendiri di kamarnya. Kami masih sering berkumpul di ruang tamu bersama satu orang wanita bernama Ida yang menempati sebuah kamar yang berada dekat ruang tamu itu sendiri.

Seperti diriku, Ida juga seorang janda namun usianya jauh lebih muda dari pada aku. Mungkin sepantaran Kang Wirna atau di bawahnya.

Terkadang aku sengaja meninggalkan mereka mengobrol berdua karena aku berpikir mana tahuan di antara mereka ada rasa. Namun anehnya, Kang Wirna akan segera masuk ke kamarnya kalau aku meninggalkan dirinya berdua saja dengan Ida di ruang tamu itu. Nampaknya ia sedikit jengah dengan sifat Ida yang memang lebay dan membosankan. Tak jarang pula Kang Wirna mengirimkan pesan kepadaku bila aku meninggalkannya berdua saja dengan Ida di ruang tamu itu.

“Bu, sinilah ngobrol. Nggak asyik kalau tidak ada Ibu.”

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status