Share

Panci Kosong

Dengan meraba-raba kusen pintu, Kang Wirna sepertinya mau masuk kembali ke rumahnya. Aku menunggu kesempatan untuk menyelinap ke rumah itu. Karena, kalau sampai ia menutup pintu atau bahkan menguncinya, itu akan membuat aku kehilangan kesempatan untuk mengintip kehidupan Kang Wirna secara nyata.

Begitu tangan Kang Wirna meraih tepi daun pintu untuk menutupnya, aku perlahan menyelusup dirongga pintu yang cukup lebar dan melintas di bawah ketiaknya yang terbuka lebar. Hampir saja speker yang kubawa menyentuh tubuh Kang Wirna. Namun syukurlah, aku bisa masuk walau harus menahan nafasku. Gerakan Kang Wirna yang lambat juga memudahkan aku untuk menjalankan aksiku.

Yes!

Aku berhasil masuk tanpa Kang Wirna curiga. Ia menutup pintu rumahnya lalu menggeser pegangan kunci bantu hingga pintu itu tidak mungkin bisa dibuka dari luar. Syukur aku berhasil masuk. Kalau tidak, aku harus menunggu Haris pulang dulu baru bisa menyerahkan speker itu. Tidak mungkin aku memanggil Kang Wirna. Aku tidak mau suamiku itu mengetahui kehadiranku.

Bahkan rencanaku, aku akan menyebut nama palsu diriku kepada Haris untuk menghindari kecurigaan Kang Wirna. Aku yakin Kang Wirna akan bertanya kepada Haris dari mana ia mendapatkan speker pengganti spekernya yang rusak. Dan aku sudah punya rencana yang jitu untuk menanggulangi masalah ini.

Tap..tap..tap..

Suara langkah kaki Kang Wirna terdengar sangat pelan seperti langkah kakinya. Kedua tangannya bergantung ke dinding untuk membantunya menentukan arah agar tidak menabrak benda-benda atau tersesat ke tempat yang salah.

“Abi..! Mana kamu yang dulu, Bi..? Yang selalu riang dan setiap pulang kerja memelukku dan menciumiku tanpa bosan. Seorang suami yang lembut dan penuh perhatian.” rintihku dalam hati.

Kembali, tanpa aku bisa menahan kedua mataku mulai berair. Bahkan isak dan sedu-sedan harus kutahan sedemikian rupa agar Kang Wirna tidak mendengarnya.

“Mau kemana, Bi?” tanyaku tentu saja hanya di dalam hati.

Kuikuti langkah Kang Wirna dan aku menjaganya agar tidak terjatuh.

Tap..tap..tap..

Kang Wirna terus berjalan dan ternyata ia menuju dapur.

“Oh, Kang Wirna lapar?”

Dengan susah payah Kang Wirna berusaha menemukan piring. Dan ternyata Kang Wirna hanya memiliki dua buah piring plastik yang keduanya nampak kotor dan terletak di tempat pencucian atau wastafel.

Akhirnya Kang Wirna menemukan piring itu dan dan terdengar sedikit berkeluh.

“Haris lupa mencuci piring. Ooh, aku hanya menyusahkannya saja.”

Aku diam saja mendengar keluh-kesah Kang Wirna. Bahkan aku mengangguk setuju bahwa keadaan Kang Wirna benar-benar telah menyusahkan Haris. Anak sekecil itu harus mengurus ayahnya yang buta dan miskin pula.

Ser..ser..ser...

Suara air jatuh menimpa piring dan tangan Kang Wirna menggosok-gosok piring itu dengan tangannya. Aku memperhatikan dari balik punggungnya.

Setelah beberapa saat mengobok-obok benda bulat yang pipih dan berlekuk bundar di tengahnya itu, Kang Wirna mematikan kran air. Suara gemericik air kini berganti dengah kesunyian.

Tap..tap..tap..

Dengan meraba-raba Kang Wirna melangkah mendekati pemasak nasi yang nama bekennya adalah rice cooker.

Begitu tangannya menyentuh tutup benda itu, ia langsung membukanya. Tapi alangkah perihnya hatiku begitu melihat bahwa periuk di dalam alat canggih bertenaga listrik itu ternyata kosong. Hanya beberapa butir nasi yang masih tersisa melekat di kedua sisi alat pemasak itu.

Namun Kang Wirna tidak melihat apa yang aku saksikan. Di bibirnya tersungging senyuman dan kembali tangannya meraba-raba mencari sebuah sendok yang jelas akan ia gunakan untuk mengeruk nasi di dalam panci elektronik itu.

“Bi... Nasinya habis!” ucapku hatiku menahan tangis.

Aku teringat saat kami melewati masa-masa susah bersama. Saat itu Kang Wirna habis masa kontrak kerja dan menganggur. Kami tidak punya uang bahkan untuk membeli beras sekali pun. Namun sesulit apa pun kehidupan kami, aku tidak pernah menceritakan kepada anak-anakku. Yang anak-anakku tahu hanya aku hidup berbahagia dan berkecukupan dengan suami yang berusia lebih muda 10 tahun dariku. Yaah.. hanya itu yang diketahui oleh anak-anakku dan keluargaku yang lain bahkan teman-temanku.

Kruk..kruk..krukk..

Suara sendok plastik bertemu dengan dasar panci rice cooker. Kang Wirna menggaruk-garukkan sendok plastik itu ke kiri dan ke kanan bahkan ke seluruh bagian panci itu lalu menumpahkan isi sendok plastik tersebut ke piring yang ia tenteng dengan tangan kirinya.

Jangankan sekepal nasi yang berhasil ia pindahkan ke dalam piringnya, satu suap juga tidak cukup. Hanya beberapa butir nasi saja, itu pun nasi yang melekat di sendok tersebut.

Disitu aku sudah tidak bisa lagi menahan kepiluan hatiku. Ingin rasanya saat itu juga aku berlari keluar menuju rumah makan dan memborong semua makanan disana untuk aku suapkan ke mulut suamiku yang kelaparan. Bukankah ketika kami masih tinggal bersama aku hampir setiap hari menyuapinya? Yah, itu benar. Aku memang memanjakan Kang Wirna bagaikan aku memanjakan anak-anakku. Karena umurnya jauh di bawah usiaku, maka wajar saja aku memperlakukan dirinya seperti itu. Bagiku, di ranjang Kang Wirna adalah suamiku, namun dalam perlakuan sehari-hari aku memperlakukan dirinya sama dengan aku memperlakukan anak-anakku waktu kecil. Ketika makan aku suapi, ketika tubuhnya kotor aku mandikan dan kupakaikan semua pakaiannya. Mulai dari pakaian dalam sampai pakaian luar bahkan kaus kaki. Bukan selesai sampai di situ saja, aku juga menyisir rambutnya lalu kucium pipinya dengan penuh kasih sayang.

“Duh, gantengnya bujang, Ami!” begitulah candaku kepadanya setiap aku selesai mengurus tubuhnya.

“Oh, Haris menghabiskan nasinya. Mungkin anak itu lapar.” 

Keluhan pilu Kang Wirna tiba-tiba membangunkan aku dari lamunanku tentang masa indah bersama Kang Wirna. Aku masih setia berdiri di belakang tubuh Kang Wirna walau harus mundur beberapa langkah ke belakang. Aku tidak mau tubuh Kang Wirna sampai menabrakku walau hanya bersentuhan saja. Kalau itu terjadi, Kang Wirna pasti akan mengenaliku.

Sek..sek..sek...

Kang Wirna menurunkan tubuhnya dan berjongkok menghadap rongga persegi empat di bawah wastafel dan dataran beton tempat sebuah kompor gas berada. Kompor itu hanya satu tungku dengan slang gas menjulur ke bawah dan tersambung ke sebuah tabung gas bulat berwarna hijau.

Di samping tabung gas itu ada kantong plastik berwarna biru. Kantong biru itulah kini yang digerayangi tangan Kang Wirna. Dan ia menarik nafas lega karena menemukan butiran beras di sana walau hanya beberapa genggam saja.

“Alhamdulillah. Ini cukup untuk makan malam berdua dengan Haris. Untuk besok entahlah... Kalau memang sudah tidak ada rejeki lagi, itu artinya ajalku telah sampai.” ucap Kang Wirna bergumam sendiri lalu ia masukkan beras yang tidak seberapa itu kedalam panci. Ia lakukan itu sangat hati-hati karena ia khawatir beras itu akan tertumpah.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status