Share

Sumpah Palsu Suami Siri
Sumpah Palsu Suami Siri
Penulis: Neliwati Nelisaja

Pertemuan Tak Sengaja

Pagi di hari minggu adalah hari khusus untuk berbelanja di pasar kaget yang tidak begitu jauh dari rumahku. Aku memang lebih suka berbelanja kebutuhan dapur di pasar kaget dengan alasan salah satunya adalah harga lebih murah dan aku dapat bertemu dengan pedagang kecil yang kadang hanya menjual beberapa ikat sayur saja. Dan aku memang tak pernah menawar harga yang ditawarkan penjual kepadaku. Bukan karena aku sok kaya, tapi aku berfikir dengan cara inilah aku bisa membantu mereka. Aku membantu orang yang tepat yaitu orang yang mau berusaha. Fix, itulah alasanku yang manfaatnya timbal balik antara aku dan mereka.

Dua buah kantong plastik besar aku tenteng masing-masing dengan sebelah tanganku. Jangan tanya berapa beratnya, yang jelas aku cukup sempoyongan di buatnya.

Dengan tertatih aku menyeret langkah menuju tempat parkir di mana aku meninggalkan mobilku. Suasana pasar yang cukup ramai membuat aku harus banyak bersabar dan kadang bertabrakan dengan pengunjung pasar lainnya 

Tiba-tiba aku mendengar sayup-sayup sebuah lagu yang sangat aku kenal dinyanyikan oleh seseorang yang mungkin saja pengamen.

Makin lama suara itu semakin dekat. Sadarlah aku kalau diriku dan suara pengamen itu berada dalam dua arah yang berbeda. Artinya aku dan pemilik suara itu akan bertemu di sebuah titik beberapa puluh langkah ke depan. Aku mengambil uang sepuluh ribu rupiah yang kuniatkan untuk diberikan kepada sang pengamen bersuara merdu itu. Aku merasa wajib berterima kasih kepadanya karena ia telah mengingatkan aku pada masa lalu yang cukup indah.

Duhai bulan separuh gambaran cintaku. Kini bersemi walau pernah berbagi. Kini mewangi walau tak harum lagi......

Bait-bait lagu itu mengingatkan aku pada seseorang. Yah.. seorang lelaki yang sampai kini masih berstatus suami siriku yang sekarang tidak diketahui di mana keberadaannya.

Kami menikah atas dasar cinta dan dusta. Artinya, aku mencintainya tapi dia mendustai aku. Miris!

Makin lama suara itu makin mendekat. Di balik keramaian pengunjung pasar akhirnya aku bisa melihat seorang pengamen dengan sebuah speaker besar tergantung di dada dan tangan kanannya memegang sebuah mikrofon. Ia menyanyikan lagu itu dengan penuh penghayatan. Kedua matanya terpejam dan ia berjalan dengan dituntun oleh seorang anak lelaki yang berusia kira-kira delapan tahun. 

Aku mendekat dan bermaksud memasukkan uang yang telah ku siapkan ke dalam kantong plastik bekas bungkus permen yang disodorkan oleh anak lelaki itu kepada setiap orang-orang yang lalu lalang di pasar kaget tersebut.

Aku menjulurkan tanganku dan..

Astagfirullah...

Aku tersurut mundur begitu melihat satu tangan anak itu buntung. Tangan kirinya yang buntung dari siku tergantung dan menyembul dibalik lengan kaosnya yang pendek. Sedangkan tangan kanannya menyodorkan sebuah kantong plastik meminta partisipasiku atas suara lelaki yang terus saja menyanyi dengan penuh perasaan.

Aku memasukkan uang sepuluh ribu ke dalam kantong plastik yang disodorkan bocah itu kepadaku, lalu aku mengangkat wajahku untuk menatap wajah pengamen itu, dan...

Astagfirullaaaah...!

Aku beristigfar lebih panjang lagi sambil menutup mulutku yang ternyata telah terbuka lebar.

Dua kantong plastik berisi belanjaan yang kubawa telah terjatuh begitu saja ke tanah. Aku menutup mulutku dengan kedua telapak tanganku.

“Kang Wirna?” gumamku tertahan menyebut nama suamiku yang lebih tiga tahun yang lalu menghilang.

Pengamen itu terus saja bernyanyi. Aku melihat wajahnya sangat sedih dan dua anak air mengalir perlahan menuruni pipinya yang kurus. Aku masih terpaku di tempatku berdiri, sedangkan pengamen itu dan anak lelaki yang kemungkinan adalah putranya terus berjalan perlahan dan makin menjauhiku.

“Kang Wirna sekarang buta? Atau pura-pura buta? Bukankah zaman sekarang banyak cara orang untuk mendapatkan rejeki dengan cara menipu seperti pura-pura buta dan pura-pura lumpuh agar orang-orang bersimpati kepadanya.

“Ooh...”

Aku menghela nafas dalam.

“Jalan Bu! Jangan berhenti di tengah. Orang juga mau lewat!” sebuah suara teguran bernada ketus membuyarkan pikiranku tentang Kang Wirna.

Seorang ibu-ibu gendut dengan wajah masam menatapku tidak senang. Jalannya terhalang karena aku memang berdiri di tengah jalan yang di jadikan pasar kaget dengan pengunjung cukup ramai.

Aku tidak mau menanggapi aksi kurang ramah ibu itu. Kuraih kedua kantong besar milikku yang tergeletak di jalan lalu aku melanjutkan perjalananku menuju parkiran. Suara si pengamen yang benar-benar mirip Kang Wirna tersebut terus mendayu dan semakin menjauh. Aku berusaha menutup pendengaranku. Bukankah ia juga telah menutup hatinya untuk mendengar rintihanku saat aku benar-benar terluka karena ia tinggalkan aku tanpa alasan dan tanpa dosa? Hmm...

Score 1:1

*

“Hai Mommy, Mommy masak apa hari ini?”

Sebuah chat masuk ke ruang aplikasi whatsaap di ponselku. Aku tersenyum membaca pesan dari Baby anak keduaku. Anak itu memang setiap hari chat bertanya aku masak apa hari ini. Dan ujung-ujungnya ia memintaku untuk mengirimkan hasil masakanku lewat jasa kurir. Baby memang tinggal di kota yang sama denganku, tapi ia tinggal di pusat kota untuk menjalankan bisnisnya. Sedangkan aku tinggal di daerah yang ramai penduduknya.

“Asam durian, Nak.”

Kubalas chatnya dan tak lupa aku pamerkan foto masakanku yang asapnya masih mengepul di dalam kuali yang berada di atas kompor dengan api menyala kecil.

“Amboooi... Enaknya masakan Mommy. Adek maulah.”

Nah tuh kaan? Anak-anakku pasti berselera jika aku memasak jenis makanan yang satu ini.

“10 menit lagi meluncur.” jawabku sambil mengaduk gulai tempoyak yang dicampur dengan ikan sungai dan terong ungu. 

Chatku dibalas emoji kiss oleh Baby anak perempuanku yang cantik dan manja itu. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku sambil tersenyum membayangkan wajah imut anakku tersebut.

“Hampir matang.” gumamku sambil meletakkan sendok di sisi kuali. Aku cukup menunggu barang 3 menit lagi. Semua akan matang sempurna dengan cita rasa yang spesial khas milikku saja. Yakin, tidak ada yang bisa membuat jenis masakan ini seperti yang tanganku hasilkan. Dan ini adalah masakan favorite keluarga kami.

Aku mencuci tangan lalu berjalan ke kamarku. Di sana aku melamun. Bayangan kejadian hampir 3 tahun lalu yang sebenarnya telah aku lupakan namun kini terusik kembali.

Apa mungkin Kang Wirna balik lagi ke Batam? Bukankah dirinya sudah pergi menghilang bagaikan ditelan bumi sehingga membuat kami sekeluarga bahkan teman-temannya heran dan bertanya-tanya. Aku larut dalam lamunan masa lalu di mana aku pernah hidup berumah tangga dengan masa yang sangat singkat saja dengan seorang laki-laki yang umurnya sepuluh tahun lebih muda dari pada diriku.

Sebenarnya pernikahan ini bukanlah mauku awalnya. Aku mengenal dirinya sebagai tetangga dan aku hanya menganggap sebatas adik saja.

Eit.. 5 menit berlalu begitu saja. Setengah berlari aku menuju ke dapur karena bau menyengat dari aroma masakanku sudah datang ke kamar bahkan sampai menusuk hidung.

Kumatikan kompor lalu aku menyibukkan diri di dapur mempersiapkan makanan yang akan aku kirim ke masing-masing anakku yang tinggal menyebar di kota Batam.

Bayangan tentang Kang Wirna kupending dulu walau hatiku dipenuhi jutaan pertanyaan. 

Beberapa pertanyaan besar yang paling dahsyat menyerangku adalah ‘Apakah Kang Wirna benar-benar menjadi buta?’.

Astagfirullah....

Aku kembali beristigfar dan kali ini disertai delikan mataku yang tanpa sengaja mengingat sesuatu di masa lalu.

Apakah mungkin sumpah yang sering Kang Wirna ucapkan kepadaku kini telah terjadi?

Aku kembali merenung dan sedikit bergidik ngeri sehingga masakan yang sedang aku masukkan ke dalam beberapa tupper wear sedikit tertumpah mengotori keramik dapurku yang tadinya sudah kinclong.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status