Share

PART 4 - Little Closer

“Every day, life is just a scene from the past that keeps repeating itself like a tape. ”

________

"Di luar dugaan, keadaanmu lebih cepat pulih dari perkiraan sebelumnya. Mungkin lusa atau lebih cepat besok kau sudah boleh pulang, Arthemis," ucap Dimitri usai memeriksa wanita itu. Di ruangan itu hanya ada Arthemis sendirian dengan dua orang penjaga yang senantiasa berdiri di depan pintu—dan jangan lupakan beberapa orang yang juga berjaga di beberapa titik rumah sakit. Arthemis tidak mungkin membebani orang tua, Aphrodite atau Jeremy dengan menghambat aktivitas keseharian mereka demi menemaninya, ditambah mereka juga harus mengurus kelanjutan kasus tabrak-larinya. 

Arthemis hanya mengukir senyum. Wanita itu sudah sangat bosan di rumah sakit. Luka-lukanya juga sudah sembuh total. Arthemis bisa segera beraktivitas normal. 

Namun, wanita itu hanya bisa mengehela napas panjang. Semua ini belum usai. 

Melihat perubahan emosi Arthemis, Dimitri tahu ada sesuatu yang mengganggu wanita itu. Dokter itu akhirnya menarik kursi dan mendaratkan bokongnya. 

"Kau tahu, jika ada sesuatu yang mengganggumu, kau bisa mengatakannya padaku. I mean, kau bisa bercerita padaku, itu pun kalau kau mau." Dokter itu menawarkan. Dari kejadian sore kemarin, pria itu tahu bahwa Arthemis bukanlah tipe wanita yang sulit didekati. Wanita itu cukup terbuka dibanding dengan adiknya—Aphrodite—yang termasuk private person. 

Arthemis menghela napas. Ia bingung bagaimana harus memulainya. Kejadian sore kemarin cukup membuat Arthemis sedikit malu kepada Dimitri. Arthemis tidak pernah menangis atau meluapkan emosinya seperti itu di depan orang lain selain kepada orang-orang terdekatnya. 

Melihat kebimbangan Arthemis, pria itu hanya bisa tersenyum maklum. Memilih untuk tidak memaksa dan mencoba untuk mengerti posisi Arthemis. 

"It's okay kalau kau tidak ingin. Jika ada sesuatu yang bisa kubantu, kau tahu harus bagaimana," ucap Dimitri. Pria itu hendak beranjak, namun cepat-cepat Arthemis menghentikannya. 

"No, aku ingin membicarakannya saja denganmu. Just stay," ucap Arthemis pada Akhirnya. Wanita itu melepaskan tangannya dari lengan Dimitri ketika dokter itu memutuskan kembali untuk duduk. 

"Okay, i'm listening," gumam Dimitri seraya menaruh kedua tangannya di atas pahanya. Bersiap mendengarkan wanita itu. 

Arthemis mengembuskan napasnya, "Rasanya aneh mendapati seseorang melihat kelemahanmu. Maksudku, belum pernah seseorang selain orang terdekatku menyaksikan diriku yang seperti itu," ungkapnya mengawali pembicaraan. 

"Entah apa yang membuatku ingin melepaskan semuanya di hadapanmu. Tapi… Keadaanku akhir-akhir ini memang mengguncangku." Wanita itu menoleh sambil membetulkan posisinya mencari titik yang nyaman. 

"Okay, bukan masalah mengenai diriku yang mengalami koma hingga selama ini. Namun… sebelum ini pun, aku sudah mengalami yang lebih parah, bahkan jauh sebelum aku mengalami cidera fatal saat olimpiade pole dance."

"Lima tahun yang lalu, aku juga sempat mengalami koma karena kecelakaan. Oleh karena itu, aku kembali teringat saat aku kembali mengalami hal yang sama. Hal itu juga… Yang menggangguku. Terlepas, dari kejadian kemarin yang melatar belakanginya aku bisa terbaring di rumah sakit ini, " lanjut wanita itu. Sorot matanya kembali sendu saat seperti di taman rumah sakit sore itu. 

"Jadi karena itu… Hal yang mempengaruhimu?" tanya Dimitri. Arthemis mengangguk menjawab pertanyaan pria itu. 

"Ya, aku menahannya selama ini. Aku tidak tahu dengan siapa dan bagaimana harus berbicara. Aku… Ingin menyerah, masa lalu itu seolah menggerogotiku. Terlebih, masalahku dengan Steven membuat semuanya semakin runyam." Wanita itu terlihat lelah. Arthemis tidak tahu apakah ia harus terus berjuang. 

"Mengapa tidak sekalian saja Tuhan membuatku tidak pernah bangun jika pada akhirnya aku selalu menemukan kesialan yang seperti ini…, " lirihnya. Arthemis menarik napasnya dalam, mencoba mengisi setiap sudut paru-parunya yang terasa sesak. 

Dimitri mendekat, pria itu menyentuh lengan Arthemis. "Kalau kau tidak sanggup menceritakannya, lebih baik kau tidak perlu memaksakannya." Pria itu mencoba untuk memberikan pengertiannya. Namun, wanita itu menggeleng. 

"Mengapa aku merasa semuanya semakin terasa runyam? Aku muak… Apa yang harus kulakukan? Aku tidak tahu harus mengatakannya seperti apa dengan Jeremy …."

"Why? Apa yang kau takutkan? Apa kau takut padanya?" tanya Dimitri. 

"Tidak, bukan itu…." Arthemis menggeleng. Wanita itu menatap dalam-dalam manik hijau emerald milik Dimitri. "It's complicated. Aku tidak tahu bagaimana menghadapi respons Jeremy jika aku mengatakan ini. Mengatakan bahwa apa yang selama ini dia ingatkan untukku menjauhi Steven ada benarnya. Bahwa pada akhirnya, semua ini memang akan terus menyakitiku. Seharusnya aku mendengarkannya… Aku pikir itu semua hanya perhatian lainnya yang hanya bualan." Arthemis mengusap matanya dengan satu tangannya. Wanita itu mengigit bibir dalamnya. Perasaannya semakin bergejolak, Arthemis semakin bingung. 

"Memangnya kenapa? Apa maksudmu tentang perhatiannya yang hanya bualan?" tanya Dimitri. 

Tanpa mereka ketahui, seseorang di balik pintu mendengarkan. Satu tangannya terkepal, dan orang itu pergi beranjak dari depan pintu. 

"Aku pikir itu semua hanya perhatian lainnya yang hanya bualan."  

Dia pikir semua perhatiannya adalah bualan katanya?! 

Wanita itu pasti bercanda. 

Langkah kaki panjang itu membawanya naik menuju lantai teratas gedung. Melewati tangga darurat, langkahnya terhenti di atas rooftop rumah sakit. 

Tungkainya mendekati ke arah salah satu pinggir pembatas gedung. Netranya menatap ke arah langit di atas sana. Pria itu memejamkan matanya sejenak.

"Aku pikir itu semua hanya perhatian lainnya yang hanya bualan." 

Pria itu mendengus dan merogoh sakunya. Sebelum ia sempat mengeluarkannya, tiba-tiba saja tubuhnya tertarik ke belakang, pergerakan itu membuat tubuhnya sedikit limbung jika saja ia tidak cepat-cepat menyeimbangkan diri. 

Jeremy dengan cepat menoleh ke arah siapa gerangan seseorang yang berani menariknya sembarangan. Mata pria itu menajam mendapati seorang wanita berambut merah bergelombang berada selangkah di belakangnya. 

Wanita itu juga menatapnya dengan pandangan melebar. Sedikit takut-takut wanita itu bertanya, "Apa yang kau lakukan, hah?" tanya wanita itu. 

"Seharusnya aku yang bertanya. Apa yang kau lakukan, hah?" Suara Jeremy meninggi. Pria itu tidak habis pikir mengapa wanita berambut merah ini menariknya dengan tiba-tiba. Bahkan, Jeremy pun tidak mengenalnya. 

Jeremy menggeleng. Jangan bilang pria itu masuk ke dalam adegan novel atau drama klise lainnya?

Oh, seumur-umur hidupnya, adegan seperti ini tidak pernah terpikirkan akan terjadi padanya. 

"Apa kau mengira aku akan bunuh diri, hm?" tanya pria itu ketika wanita di hadapannya hanya membisu. Jeremy hanya mendengkus melihat wanita itu hanya gelagapan. 

"J-jadi kau tidak ingin bunuh diri? Aku melihatmu di pinggir seolah—

"Jangan karena aku berdiri di pinggir pembatas gedung kau mengira aku akan bunuh diri. Apakah aku terlihat seperti pria menyedihkan yang berniat mengakhiri hidupnya sendiri, Nona?" tanya pria itu dengan penekanan di setiap suku katanya. Jeremy tidak membiarkan wanita itu menyelesaikan perkataannya terlebih dahulu. 

"T-tapi bukan hanya itu." Wanita itu tergagap. 

"Aku melihatmu merogoh sesuatu, aku pikir kau akan mengeluarkan sebilah pisau lipat atau silet untuk memotong nadimu," cicit wanita itu yang seketika langsung dihadiahi semburan tawa dari pria yang ada di hadapannya. 

Wanita itu tidak habis pikir dengan pria di depannya yang cepat sekali suasana hatinya berubah. Beberapa detik yang lalu, pria itu terlihat seperti orang yang putus asa pada hidupnya. Lalu sekarang, ia justru terlihat terbahak-bahak seolah tidak ada apa pun yang terjadi. 

Jeremy masih menertawakan kekonyolan wanita di hadapannya. Yang benar saja! Setelah Arthemis, wanita di depannya mengira ia akan memotong nadinya sendiri? 

Jeremy pasti sudah gila. 

Pria itu akhirnya menetralkan dirinya setelah tertawa. Jeremy hanya tersenyum geli dan kembali menghadap membelakangi wanita berambut merah itu. 

Wanita di belakangnya mengikuti Jeremy. Tubuhnya berdiri sejajar dengan pria itu. Pandangannya ia arahkan kepada pria tampan yang menatap lurus ke depan. Entah apa yang ditatapnya. 

"Tapi aku serius. Apa kau benar-benar tidak berniat bunuh diri? Apa kau berbohong padaku agar aku bisa pergi lalu setelahnya kau bisa bebas melancarkan aksimu?" cercanya, membuat Jeremy hanya berdecak malas dan menoleh ke arah wanita di sampingnya. 

"C'mon, aku ke sini hanya untuk merilekskan diri dan merokok." Pria itu merogoh sakunya dan mengeluarkan sekotak rokok dan korek apinya ke hadapan wanita itu. 

See? Jeremy hanya ingin merokok. 

Pria itu tak menghiraukan wanita di sampingnya dan mengambil sebatang dari dalam kotak. Saat ia sudah menyalakan rokoknya, pria itu kembali menoleh saat merasakan pandangan wanita itu tak kunjung lepas darinya. 

"Seriously? Kau masih tidak percaya? Okay, tell me, apa yang membuatmu tidak mempercayai perkataanku barusan? 

Karena tak ada sahutan, Jeremy melambaikan tangannya di depan wajah wanita itu, " Haloo, Nona? Apa kau masih di tempat?" tanyanya yang segera menyadarkan wanita itu. 

"Oh, I'm sorry," ucapnya sambil menggosok tengkuk lehernya. 

"Aku akan merokok di sini, jika kau tidak keberatan," ucap Jeremy. Pria itu menyalakan pemantik dan menghisap rokoknya. 

"Baiklah, kalau begitu aku pergi. Maafkan aku sebelumnya, dan… Jangan berbuat hal konyol, okay?" ucap wanita itu sebelum beranjak. 

Wanita itu berbalik, Jeremy hanya melirik dari sudut matanya. Saat wanita itu hampir meraih gagang pintu rooftop, langkah kakinya terhenti saat suara pria itu kembali terdengar di belakangnya. 

"Siapa namamu, Nona?" tanya pria itu saat ia berbalik. Pria itu juga berbalik menghadapnya dengan satu kakinya yang terpaut dengan kakinya yang lain. Jari tengah dan telunjuknya mengapit sebatang rokok yang menyala. 

Wanita itu mengulas senyum, "Panggil saja aku Rose," ucap wanita itu.

Jeremy menghembuskan asap rokoknya ke udara dan mengangguk. "Baiklah, sampai nanti, Rose." 

"Tapi siapa namamu?" tanyanya sebelum ia benar-benar beranjak. 

"Jeremy," balas pria itu singkat. 

Rose mengulum bibirnya dan mengangguk, "Baiklah, see you, Jeremy." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status