Share

Sunshine In The Rain
Sunshine In The Rain
Penulis: Vey Caelia. R

PART 1 - The Hope

“I know, maybe I'm just a sinner. But i hope God heard me just this once.”

_________

Suara elektrokardiograf berbunyi dengan konstan di tengah ruangan putih yang hening. Alat-alat penunjang kehidupan terpasang di sekitar tubuh seseorang yang terbaring dengan tenang di atas brankar rumah sakit yang lengang. 

Sudah hampir setengah tahun lamanya orang itu terbaring. Wajah dengan pipi tirus itu terlihat pucat dengan matanya yang cekung. Beberapa bekas luka terlihat di beberapa bagian tubuhnya. 

Jam di dinding menunjukkan pukul setengah dua belas malam lewat tiga puluh menit. 

Kenop pintu ruangan itu berputar dan terbuka. Seorang dokter masuk ke dalam ruangan, mengecek keadaan orang itu sebelum menatapnya lama. Tidak ada yang dapat terbaca dari ekspresi wajahnya yang datar. 

Dokter itu hanya menghela napas pelan dan beranjak keluar dari ruangan. 

Belum ada tanda-tanda perkembangan. 

Bertepatan saat ia berniat meraih gagang pintu, pintu ruangan VVIP itu terbuka dari luar. Seorang gadis berambut coklat terang datang dengan sebuket bunga dan bingkisan lainnya. Di belakangnya ada seorang pria dan gadis yang seumuran dengannya terlihat membawa beberapa balon udara. 

"Aphrodite? Untuk apa kau datang selarut ini?" tanya dokter berkacamata itu. 

"Menyingkirlah, Dimitri. Ini hari ulang tahun Arthemis, aku ingin yang menjadi pertama mengucapkannya," ucap gadis itu seraya menerobos masuk diikuti kedua temannya. 

Aphrodite tidak peduli dengan eksistensi Dimitri yang masih bergeming di depan daun pintu saat ia dan kedua sahabatnya memulai menempel beberapa dekorasi ruangan. Hingga akhirnya, dokter itu pergi dengan sendirinya sebelum kembali menghela napas pelan. 

Aphrodite, Dylan dan Carly meneruskan untuk menempel beberapa hiasan dan balon. Lalu, Aphrodite menaruh bunga yang baru di vas atas nakas dan mengganti bunga yang lama. 

Gadis itu dan kedua temannya telah selesai mendekorasi. Ruangan itu dipenuhi dengan balon dan beberapa dekorasi berwarna emas—warna kesukaan Arthemis selain hitam. Di tengah ranjang, terdapat balon dengan angka dua puluh tiga. Seharusnya perayaan ulang tahun Arthemis kali ini ramai dan meriah seperti saat ulang tahunnya yang ke dua puluh satu dan ke dua puluh dua. 

Gadis itu tersenyum sendu menatap Arthemis yang terbaring. "Selamat ulang tahun. Aku merindukanmu," ucapnya. Nada suara gadis itu terdengar bergetar. Aphrodite merasa sesak melihat kakaknya yang tak kunjung bangun dari mimpinya. Setiap hari, Aphrodite selalu datang melihat Arthemis, berharap kondisi kakaknya berkembang. 

"Um… Aku hanya membawakan buket, kue dan beberapa balon saja. Selebihnya, kau harus meminta itu pada Mom, Dad dan pacarmu. Itu pun kalau kau masih punya," ucapnya dengan terkekeh di akhir kalimatnya. 

Aphrodite menghela napasnya, gadis itu tidak yakin jika kakaknya dan Steven masih bersama setelah ini. Karena setiap Steven berusaha untuk masuk ke ruangan Arthemis, Aphrodite selalu menghadangnya. Gadis itu terlalu benci pada pria itu. Mengingat bagaimana Arthemis berada di sini karena kekasihnya dan mantan selingkuhannya juga, dada Aphrodite kembali berkobar. Ingin rasanya gadis itu membalas segala perbuatan mereka berdua. 

Carly mengulurkan tangannya di pundak gadis itu dan mengusapnya. Berusaha menenangkan, gadis itu tahu betul jika Aphrodite sedang diliputi kemarahan. Lalu, netra matanya mengarah pada Arthemis dan seulas senyum terbit di bibirnya. 

"Selamat ulang tahun yang ke dua puluh tiga, Arthemis. We're love you," ucap gadis itu. Begitu pula dengan Dylan, pria itu melakukan hal yang sama—Mengucapkan selamat ulang tahun pada Arthemis meski tidak ada respons dari gadis itu. Hanya ada suara pendeteksi detak jantung dan napas Arthemis yang terdengar teratur. Seolah, gadis itu memang sedang tertidur sangat lelap. 

Carly meraih sebuah kue dan menyalakan lilin. Gadis itu mendekatkannya ke arah ranjang. Aphrodite menarik napasnya dan berdo'a. Kedua tangannya ia satukan di depan dada. Ia berharap, Tuhan dan Arthemis mendengarnya. Aphrodite membuka kedua matanya dan meniup lilin itu untuk mewakili Arthemis. 

Saat ia Aphrodite membuka matanya, pandangan gadis itu buram, Aphrodite tersenyum getir. "Happy birthday," ucapnya sekali lagi. 

Aphrodite tidak dapat menahannya, air mata gadis itu tumpah. Tangannya meraih tangan Arthemis yang dingin lalu mengelusnya. Bahu gadis itu bergetar hebat. Di belakangnya, Dylan mengeratkan satu tangannya yang menggenggam tangan Carly yang bebas. Kedua sahabatnya itu juga merasakan yang sama—Hancur. Mereka bertiga sama-sama pernah merasakan yang namanya kehilangan. 

"Kau jahat Arthemis. Kau sudah melewatkan ulang tahunku, padahal kau janji akan membawaku ke Greece. Kau juga melewatkan piala oscarmu."

"Kau dengar 'kan? Kau harus bangun, Arthemis! Kau harus menampar wajah si jalang Candice karena telah mencelakaimu. K-kau harus bangun karena kau harus meresmikan Bar Athens! Kau bilang kau tidak akan melewatkannya!" rengeknya. Gadis itu tergugu dengan air matanya yang semakin mengalir deras. 

"Kumohon bangunlah, Ini hari ulang tahunmu. Seharusnya kau merayakannya bersama kami, aku sudah membuatkan kue ulang tahun untukmu dan seperti biasanya, kau harus menghabiskan seluruh martini hingga kau mual-mual dan memuntahkannya di baju kesayanganmu. Kita bisa melakukannya seperti saat itu Arthemis…," mohonnya. Kalau saja saat ini keadaan Arthemis sedang baik-baik saja, mungkin keduanya akan tertawa karena perkataan Aphrodite. 

Aphrodite meremas tangan Arthemis yang ada digenggamannya. Berharap jika kali ini saja, setelah banyaknya air mata yang ia keluarkan, Arthemis terbangun. 

"Kumohon… Kumohon bangunlah, aku merindukanmu," lirihnya. Kepala Aphrodite tertunduk, membiarkan bulir air matanya menetes membasahi celananya. 

"Kumohon…," lirihnya sekali lagi dengan lemah. Kilasan saat ia sampai di rumah sakit melihat keadaan Arthemis yang bersimbah darah saat dibawa masuk ke ruang operasi menghimpitnya. Aphrodite takut jika Arthemis tidak mau membuka matanya kembali. Aphrodite takut jika pada akhirnya… Arthemis memilih menyerah. 

Aphrodite masih terisak. Di tengah tangisnya, suatu pergerakan kecil membuatnya terdiam. Dengan perlahan ia mengangkat kepalanya, netra coklatnya perlahan melebar bersamaan dengan pergerakan tangan yang berada di genggamannya semakin terlihat jelas. Dylan dan Carly pun melebarkan matanya menangkap pergerakan kecil itu. 

Aphrodite bangun dan dengan cepat gadis itu menekan tombol di atas brangkar tempat tidur beberapa kali. Tak lama, dokter yang tadi sempat ia temui bersama dua suster lainnya datang dan dengan cepat memeriksa keadaan Arthemis. 

Aphrodite, Dylan dan Carly menyingkir. Secercah harapan muncul memenuhi rongga dadanya. Aphrodite hanya berharap jika Tuhan benar-benar mendengarkan do'anya. 

"Arthemis, apa kau bisa mendengarkanku? Anggukan kepala atau kedipkan matamu jika kau bisa mendengarkanku," ucap Dimitri yang baru saja datang. 

Perlahan, Arthemis mengangguk. Meski dengan gerakan yang patah dan lemah, hal itu sudah cukup menandakan bahwa Arthemis sudah siuman. 

Aphrodite meneteskan air mata. Ketiganya mengembuskan napas lega ketika Arthemis menunjukan respons positif pada setiap pemeriksaan yang dilakukan Dimitri. 

Thank god… Terima kasih telah mendengarkanku

Batinnya. 

Aphrodite lega bukan main saat Dimitri mengatakan jika kondisi vital Arthemis juga baik saat sebelum meninggalkan ruangan. Dimitri juga berpesan agar Aphrodite memberikan Arthemis minum sedikit demi sedikit. 

Kedua kaki Aphrodite mendekat dan menatap Arthemis dengan haru. Tangannya menggenggam tangan Arthemis yang bebas. Satu titik air matanya kembali jatuh. Lalu, seulas senyum terbit di wajahnya yang sembap, "Welcome back, Arthemis," ucapnya seraya menghambur memeluk Arthemis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status