Share

Bab 4. Romi Kumat

"Rom? Ada apa? Kenapa kamu menjadi gemetar seperti ini?"

Aku mendekat ke arah Romi dan menepuk pundaknya. Berusaha membuatnya tenang.

"Nafas panjang dulu. Pelan-pelan."

Romi memandangiku lalu menggerung perlahan.

"Romi! Anak Mama! Apa kabar Sayang? Mama rindu."

Perempuan muda itu tiba-tiba memeluk Romi dan dua orang laki-laki berkaus tersenyum pada Romi dan duduk di kursi sofa yang memang merupakan fasilitas rumah sakit di kamar kelas satu.

Aku menjauh dan membiarkan anak beranak itu berpelukan, meskipun dalam hati bertanya-tanya dan tidak percaya bahwa perempuan muda itu adalah ibu Romi.

Romi terdiam saat perempuan itu mencium pipi kanan dan kiri Romi. "Suster baru ya kerja di sini? Bisa tinggalkan kami sebentar?"

Aku tertegun. Biasanya kalau keluarga berkunjung ke bangsal pasien, perawat yang menemani akan duduk di kursi dalam kamar untuk mengantisipasi jika pasien membahayakan keluarganya.

"Tenang saja. Romi sudah lebih waras dibandingkan saat baru masuk dulu kok. Suster bisa tunggu di luar kamar dan kalau ada apa-apa nanti saya panggil. Sama seperti kunjungan sebelumnya," tukas perempuan muda itu memandangiku.

Aku menghela nafas dan tersenyum. 'Okelah. Aku ikutin permainan apa yang sedang terjadi di rumah sakit ini.'

"Baiklah Bu. Saya tunggu di luar ya."

Aku berjalan keluar kamar dan duduk di bangku kayu depan bangsal. Memasang pendengaran dengan baik dan sesekali mengintip apa yang terjadi di kamar Romi.

'Pasti ini ada kaitannya dengan surat yang diberikan Romi kemarin.'

Aku tidak bisa mendengar dengan jelas, apa yang mereka bicarakan. Hanya kadang terdengar gelak tawa Romi dan perempuan itu.

Aku tersenyum. 'Sepertinya semua baik-baik saja,' pikirku.

Namun tak lama kemudian aku mendengar suara Romi berteriak. Aku segera masuk ke dalam ruangan dan melihat Romi sedang menyobek lembaran kertas yang ada di hadapannya. Bahkan ada sebagian kertas yang dimakannya.

Aku terkejut, tidak menyangka kalau Romi akan mengamuk seperti ini, padahal tadi masih baik-baik saja

"Rom! Hentikan!"

Aku maju mendekati Romi yang brutal menelan potongan kertas dihadapannya. Dua orang lelaki yang datang bersama perempuan itu memegangi tangan Romi. 

Romipun berontak dan mengibaskan kedua lelaki itu sampai terpental lalu dengan cepat mendekat ke arah perempuan itu dan mencekiknya.

Aku terkejut. "Rom! Hentikan!"

Aku melompat ke arah Romi yang berteriak-teriak dan tampak melotot dengan tangan yang masih mencekik leher ibunya.

"Aaaarghhh ... Aarrrghhh!" Hanya itu yang keluar dari mulut Romi. 

Dan tiba-tiba Dimas datang serta meminta dua lelaki berkaus tadi untuk memegangi Romi lalu Dimas menyuntikkan obat penenang di lengan Romi hingga Romi terkulai lemas.

"Apa kubilang? Biar aku saja yang menemani Romi saat kunjungan keluarga!" bisik Dimas padaku yang masih terpaku kebingungan dengan apa yang terjadi.

***

Keluarga Romi sudah pulang setelah berpamitan padaku. 

"Romi ternyata belum sembuh benar ya. Padahal kami sudah rindu kepulangannya. Walaupun saya hanya ibu tirinya saja."

Terngiang lagi kata-kata ibu tiri Romi saat aku mencari petunjuk pada kertas-kertas yang berhamburan dan memperhatikannya dengan seksama.

Kertas HVS ini sebenarnya kosong. Lalu kenapa tiba-tiba Romi mengamuk saat ada kertas ini dan ketakutan saat melihat keluarganya?

Berbagai pikiran berkecamuk di kepalaku.

"Huft, nggak tahulah. Kenapa aku jadi yang kepo?" gumamku lalu keluar dari kamar Romi dan meminta cleaning service untuk membersihkan kekacauan yang terjadi.

***

Aku berjalan menuju ruang perawat. Mumpung perawat yang lain sedang ada di ruangan pasien, aku akan membaca status pengobatan Romi di lembar dokumentasi pasien.

Aku membaca lembar demi lembar kertas yang bertuliskan diagnosa Romi. Romi ternyata mengidap gejala prolonged grief disorder dengan BPD.

Aku mengerutkan kening. "Siapa yang telah meninggal dan membuat Romi dikirim ke rumah sakit ini?" tanyaku lalu membuka lembar demi lembar status pasien miliknya.

"Wali pasien bernama Riana. Hm, apa perempuan muda cantik yang tadi memeluk Romi ya?"

Aku mengetuk-ngetukkan ujung pulpen di meja sambil terus membolak-balik kertas di hadapanku.

"Setiap ada kunjungan keluarga mengamuk. Kenapa ya? Dan untuk apa keluarganya tadi membawa kertas kosong di hadapan Romi?" Aku bergumam sendiri. 

"Hei, lagi mikirin apa?" Sepasang tangan menutup mataku.

"Lagi baca lembaran status Romi, Dim."

Seketika tangan yang menutup mataku terlepas. 

"Kamu masih penasaran sama Romi? Kenapa sih? Kamu gak liat waktu dia tadi kumat dan hampir mencekik ibu tirinya? Kalau aku nggak datang, pasti sudah ada korban jiwa?!"

Aku seketika berdiri dari kursi yang kududuki.

"Hei Dimas. Kamu sudah belajar psikologi manusiakan sebelum masuk ke rumah sakit sini?"

Dimas memandangiku dan mengangguk.

"Harusnya kamu tahu kalau ODGJ itu ngamuk pasti ada pemicunya. Dan kalau setiap kali ibunya datang untuk menjenguknya, terus Romi ngamuk, berarti masalah itu ada pada ibunya!"

"Benar. Terus apa yang akan kamu lakukan?"

"Aku akan mencari tahu hubungan antara ibu tiri Romi dengan Romi yang mengamuk saat bertemu dengan ibunya," jawabku mantap.

Dimas mendekatiku. "Kamu baru datang dari pulau Jawa, dan baru 2 minggu bekerja di sini. Lebih baik kamu jangan terlibat masalah dengan penduduk asli di sini. Ingat, jangan karena kepo, kamu mengabaikan keselamatan kamu. Ini untuk kebaikan kamu sendiri."

Aku menghela nafas. "Makasih Dim untuk nasihatnya. Tapi aku bisa jaga diri kok. Aku kan ...,"

"Peraih sabuk hitam kelas sedang saat sekolah dulu."

Tanpa kuduga Dimas memotong perkataanku.

"Itu kamu sudah tahu," sahutku seraya melenggang pergi meninggalkan ruang perawat menuju ruang om Andri.

Aku sudah memutuskan akan menolong Romi dengan caraku sendiri. Dan langkah pertama adalah mencari tahu tentang keluarga Romi pada Om Andri.

Aku melangkahkan kaki dengan cepat ke arah kantor om Andri, namun sebelum membuka pintunya, aku mendengar om Andri sedang menelepon seseorang.

"Maafkan keponakan saya Bu Riana. Memang saya tidak pernah memprediksikan kedatangannya. Akan saya atasi serapi mungkin. Baiklah, iya. Tenang saja. Saya akan berusaha mendapatkan tanda tangan Romi dan stempel keluarga Anda."

Aku bengong di luar pintu masuk. Bu Riana? Dia kan ibu tiri Romi. Kok menelepon Om Andri? Jangan-jangan ....

Next?

* Prolonged grief disorder merupakan gangguan kesedihan yang berkepanjangan mengacu pada sindrom yang terdiri dari serangkaian gejala yang berbeda setelah kematian orang yang dicintai.

Seseorang yang mengalami sindrom tersebut biasanya mengalami kesedihan mendalam secara intesif selama lebih dari 12 bulan usai kematian orang yang dicintainya.

Biasanya, kesedihan berlarut-larut tersebut menyebabkan seseorang selalu teringat pada orang yang dicintainya hingga mengganggu aspek-aspek lain kehidupan mereka.

Namun, ada juga yang berusaha menghindari ingatan atau kegiatan yang mengingatkan mereka akan peristiwa kehilangan tersebut.

* BPD ( Bordeline Personality Disorder) atau gangguan kepribadian ambang adalah sebuah kondisi yang muncul akibat terganggunya kesehatan mental seseorang. Kondisi ini berdampak pada cara berpikir dan perasaan terhadap diri sendiri maupun orang lain serta adanya tingkah laku abnormal.

* ODGJ : Orang Dengan Gangguan Jiwa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status