"Rom? Ada apa? Kenapa kamu menjadi gemetar seperti ini?"
Aku mendekat ke arah Romi dan menepuk pundaknya. Berusaha membuatnya tenang.
"Nafas panjang dulu. Pelan-pelan."
Romi memandangiku lalu menggerung perlahan.
"Romi! Anak Mama! Apa kabar Sayang? Mama rindu."
Perempuan muda itu tiba-tiba memeluk Romi dan dua orang laki-laki berkaus tersenyum pada Romi dan duduk di kursi sofa yang memang merupakan fasilitas rumah sakit di kamar kelas satu.
Aku menjauh dan membiarkan anak beranak itu berpelukan, meskipun dalam hati bertanya-tanya dan tidak percaya bahwa perempuan muda itu adalah ibu Romi.
Romi terdiam saat perempuan itu mencium pipi kanan dan kiri Romi. "Suster baru ya kerja di sini? Bisa tinggalkan kami sebentar?"
Aku tertegun. Biasanya kalau keluarga berkunjung ke bangsal pasien, perawat yang menemani akan duduk di kursi dalam kamar untuk mengantisipasi jika pasien membahayakan keluarganya.
"Tenang saja. Romi sudah lebih waras dibandingkan saat baru masuk dulu kok. Suster bisa tunggu di luar kamar dan kalau ada apa-apa nanti saya panggil. Sama seperti kunjungan sebelumnya," tukas perempuan muda itu memandangiku.
Aku menghela nafas dan tersenyum. 'Okelah. Aku ikutin permainan apa yang sedang terjadi di rumah sakit ini.'
"Baiklah Bu. Saya tunggu di luar ya."
Aku berjalan keluar kamar dan duduk di bangku kayu depan bangsal. Memasang pendengaran dengan baik dan sesekali mengintip apa yang terjadi di kamar Romi.
'Pasti ini ada kaitannya dengan surat yang diberikan Romi kemarin.'
Aku tidak bisa mendengar dengan jelas, apa yang mereka bicarakan. Hanya kadang terdengar gelak tawa Romi dan perempuan itu.
Aku tersenyum. 'Sepertinya semua baik-baik saja,' pikirku.
Namun tak lama kemudian aku mendengar suara Romi berteriak. Aku segera masuk ke dalam ruangan dan melihat Romi sedang menyobek lembaran kertas yang ada di hadapannya. Bahkan ada sebagian kertas yang dimakannya.
Aku terkejut, tidak menyangka kalau Romi akan mengamuk seperti ini, padahal tadi masih baik-baik saja
"Rom! Hentikan!"
Aku maju mendekati Romi yang brutal menelan potongan kertas dihadapannya. Dua orang lelaki yang datang bersama perempuan itu memegangi tangan Romi.
Romipun berontak dan mengibaskan kedua lelaki itu sampai terpental lalu dengan cepat mendekat ke arah perempuan itu dan mencekiknya.
Aku terkejut. "Rom! Hentikan!"
Aku melompat ke arah Romi yang berteriak-teriak dan tampak melotot dengan tangan yang masih mencekik leher ibunya.
"Aaaarghhh ... Aarrrghhh!" Hanya itu yang keluar dari mulut Romi.
Dan tiba-tiba Dimas datang serta meminta dua lelaki berkaus tadi untuk memegangi Romi lalu Dimas menyuntikkan obat penenang di lengan Romi hingga Romi terkulai lemas.
"Apa kubilang? Biar aku saja yang menemani Romi saat kunjungan keluarga!" bisik Dimas padaku yang masih terpaku kebingungan dengan apa yang terjadi.
***
Keluarga Romi sudah pulang setelah berpamitan padaku.
"Romi ternyata belum sembuh benar ya. Padahal kami sudah rindu kepulangannya. Walaupun saya hanya ibu tirinya saja."
Terngiang lagi kata-kata ibu tiri Romi saat aku mencari petunjuk pada kertas-kertas yang berhamburan dan memperhatikannya dengan seksama.
Kertas HVS ini sebenarnya kosong. Lalu kenapa tiba-tiba Romi mengamuk saat ada kertas ini dan ketakutan saat melihat keluarganya?
Berbagai pikiran berkecamuk di kepalaku.
"Huft, nggak tahulah. Kenapa aku jadi yang kepo?" gumamku lalu keluar dari kamar Romi dan meminta cleaning service untuk membersihkan kekacauan yang terjadi.
***
Aku berjalan menuju ruang perawat. Mumpung perawat yang lain sedang ada di ruangan pasien, aku akan membaca status pengobatan Romi di lembar dokumentasi pasien.
Aku membaca lembar demi lembar kertas yang bertuliskan diagnosa Romi. Romi ternyata mengidap gejala prolonged grief disorder dengan BPD.
Aku mengerutkan kening. "Siapa yang telah meninggal dan membuat Romi dikirim ke rumah sakit ini?" tanyaku lalu membuka lembar demi lembar status pasien miliknya.
"Wali pasien bernama Riana. Hm, apa perempuan muda cantik yang tadi memeluk Romi ya?"
Aku mengetuk-ngetukkan ujung pulpen di meja sambil terus membolak-balik kertas di hadapanku.
"Setiap ada kunjungan keluarga mengamuk. Kenapa ya? Dan untuk apa keluarganya tadi membawa kertas kosong di hadapan Romi?" Aku bergumam sendiri.
"Hei, lagi mikirin apa?" Sepasang tangan menutup mataku.
"Lagi baca lembaran status Romi, Dim."
Seketika tangan yang menutup mataku terlepas.
"Kamu masih penasaran sama Romi? Kenapa sih? Kamu gak liat waktu dia tadi kumat dan hampir mencekik ibu tirinya? Kalau aku nggak datang, pasti sudah ada korban jiwa?!"
Aku seketika berdiri dari kursi yang kududuki.
"Hei Dimas. Kamu sudah belajar psikologi manusiakan sebelum masuk ke rumah sakit sini?"
Dimas memandangiku dan mengangguk.
"Harusnya kamu tahu kalau ODGJ itu ngamuk pasti ada pemicunya. Dan kalau setiap kali ibunya datang untuk menjenguknya, terus Romi ngamuk, berarti masalah itu ada pada ibunya!"
"Benar. Terus apa yang akan kamu lakukan?"
"Aku akan mencari tahu hubungan antara ibu tiri Romi dengan Romi yang mengamuk saat bertemu dengan ibunya," jawabku mantap.
Dimas mendekatiku. "Kamu baru datang dari pulau Jawa, dan baru 2 minggu bekerja di sini. Lebih baik kamu jangan terlibat masalah dengan penduduk asli di sini. Ingat, jangan karena kepo, kamu mengabaikan keselamatan kamu. Ini untuk kebaikan kamu sendiri."
Aku menghela nafas. "Makasih Dim untuk nasihatnya. Tapi aku bisa jaga diri kok. Aku kan ...,"
"Peraih sabuk hitam kelas sedang saat sekolah dulu."
Tanpa kuduga Dimas memotong perkataanku.
"Itu kamu sudah tahu," sahutku seraya melenggang pergi meninggalkan ruang perawat menuju ruang om Andri.
Aku sudah memutuskan akan menolong Romi dengan caraku sendiri. Dan langkah pertama adalah mencari tahu tentang keluarga Romi pada Om Andri.
Aku melangkahkan kaki dengan cepat ke arah kantor om Andri, namun sebelum membuka pintunya, aku mendengar om Andri sedang menelepon seseorang.
"Maafkan keponakan saya Bu Riana. Memang saya tidak pernah memprediksikan kedatangannya. Akan saya atasi serapi mungkin. Baiklah, iya. Tenang saja. Saya akan berusaha mendapatkan tanda tangan Romi dan stempel keluarga Anda."
Aku bengong di luar pintu masuk. Bu Riana? Dia kan ibu tiri Romi. Kok menelepon Om Andri? Jangan-jangan ....
Next?* Prolonged grief disorder merupakan gangguan kesedihan yang berkepanjangan mengacu pada sindrom yang terdiri dari serangkaian gejala yang berbeda setelah kematian orang yang dicintai.
Seseorang yang mengalami sindrom tersebut biasanya mengalami kesedihan mendalam secara intesif selama lebih dari 12 bulan usai kematian orang yang dicintainya.
Biasanya, kesedihan berlarut-larut tersebut menyebabkan seseorang selalu teringat pada orang yang dicintainya hingga mengganggu aspek-aspek lain kehidupan mereka.
Namun, ada juga yang berusaha menghindari ingatan atau kegiatan yang mengingatkan mereka akan peristiwa kehilangan tersebut.
* BPD ( Bordeline Personality Disorder) atau gangguan kepribadian ambang adalah sebuah kondisi yang muncul akibat terganggunya kesehatan mental seseorang. Kondisi ini berdampak pada cara berpikir dan perasaan terhadap diri sendiri maupun orang lain serta adanya tingkah laku abnormal.
* ODGJ : Orang Dengan Gangguan Jiwa.
"Maafkan keponakan saya Bu Riana. Memang saya tidak pernah memprediksikan kedatangannya. Akan saya atasi serapi mungkin. Baiklah, iya. Tenang saja. Saya akan berusaha mendapatkan tanda tangan Romi dan stempel keluarga Anda."Aku bengong di luar pintu masuk. Bu Riana? Dia kan ibu tiri Romi. Kok menelepon Om Andri? Jangan-jangan ....Hatiku berdebar kencang, berusaha untuk mendengarkan percakapan Om Andri lebih lanjut. Namun sayang sekali, meskipun kepala dan telingaku kutempelkan di pintu, aku tetap tidak bisa mendengarkan suara apapun lagi. Mungkin memang teleponnya sudah diakhiri. Berbagai pikiran buruk mampir di kepala tanpa bisa dicegah. Jangan-jangan memang om Andri punya hubungan dengan Bu Riana. Tapi apa ya? Ah, mana mungkin Om Andri berniat buruk pada salah satu pasiennya sendiri. Huft, semakin aku ingin tahu tentang hal ini, rasanya malah semakin banyak pertanyaan yang harus terjawab. Aku menghela nafas seraya menggeleng-gelengkan kepala, mencoba membuang segala pikiran buru
'Fix, andaikan dia tidak berada di rumah sakit ini. Pasti sudah aku karungin dan kuajak pulang ke jawa. Menghadap orang tuaku di Surabaya!'Ehhh!Aku menghela nafas dan menggeleng-gelengkan kepala untuk mengusir pikiran aneh yang tiba-tiba berserakan. Sementara tersangka yang baru saja melontarkan kata-kata pergombalan malah asyik menghabiskan supnya."Oh ya, Sus. Suster punya foto nggak?" tanya Romi setelah sayur sop di piringnya habis tak bersisa. "Punya. Di Hp sih. Ada apa Rom?""Boleh minta nggak?"Aku mengerutkan dahi. "Untuk apa kamu meminta fotoku?"Romi tersenyum manis sekali sebelum dia menggemparkan hati sekali lagi dengan menjawab, "untuk kutunjukkan pada teman-teman bahwa bidadari itu memang ada."Romi tertawa dan aku tersenyum, berusaha menutupi gemuruh di dalam hati yang semakin keras.Tapi tak urung juga aku masih penasaran dengan tanda tangan dan stempel. "Sudah makannya?" tanyaku memandangi piring dan mangkuknya yang kosong di atas nampan. Romi mengangguk. "Rom,
"Karena jodoh Juliet pasti Romeo. Mana ada jodoh Juliet itu Roy-co?" sahut Romi sambil nyengir dan berlalu meninggalkan aku dan Roy yang terpaku!"Ya Tuhan Mbak, ini nggak bisa dibiarin. Dia terang-terangan meledekku lo!"Roy merengsek maju sambil menyingsingkan lengan baju mengejar Romi yang mulai menjauh."Roy! Tunggu! Kamu mau apain dia? tanyaku mengejar Roy dan meraih lengannya.Roy menoleh lalu memandang lengannya yang kucekal. "Lepasin mbak! Aku mau memberikannya pelajaran. Aku diledek Mbak! Aku harus mempertahankan harga diri dong!" "Tunggu Roy. Romi pasien di sini. Jiwanya mengalami gangguan. Jadi apapun perkataannya, jangan dimasukkan ke dalam hati, ya."Aku mengusap lengan Roy, berharap dia legowo dan berusaha untuk melupakan kejadian tadi. "Mbak tadi bilang siapa namanya, Romi?!"Aku mengangguk."Wah, kalau begitu aku harus segera menemuinya dan menanyakan dimana sertifikat tanah rumah sakit ini agar papa gak pusing lagi mikirin sengketa tanah."Roy melangkah maju. "Roy,
Ya benar. Mereka Adimas dan Riana! Kemesraan mereka terlihat jelas dari mata. Bahkan kedua tangan mereka saling memeluk pinggang pasangannya. "Wah, ada hubungan apa mereka?" tanyaku lirih. Lebih pada diriku sendiri."Kenapa Mbak? Liatin siapa sih?" tanya Roy sambil menolehkan kepala ke kiri dan ke kanan. Aku segera menutup wajah dengan tas selempang hitam mungil yang kubawa. Sebenarnya ingin sekali menghampiri langsung dan menanyakan ada hubungan apa pada mereka berdua. Tapi, nanti mereka bohong. Malah gak bisa menyelidiki dan mencari jawaban valid. Dari dulu sampai sekarang, kan mana ada maling ngaku.Aku menghela nafas. "Mbak, Mbak Yuli!" Roy menjentikkan jempol jari dan telunjuknya di depan mukaku."Ssstt! Ada Dimas! Diam dulu Roy!"Lagi-lagi aku menutupi wajah dengan tas mungil dan menundukkan muka hingga menyentuh meja kayu yang terletak di antara kami. Roy semakin celingukan. "Dimas? Dimas siapa sih? Dan ngapain Mbak sembunyi seperti itu?""Ssttt! Jangan keras-keras kalau bi
Aku memandang alamat yang tertera di tembok luar gerbang. 'Padahal rumah ini sesuai dengan alamat yang diberikan Romi padaku.'Ada apa sih ini? Aku merasa jengkel sendiri."Roy, kita pulang dulu deh," ajakku lalu berpamitan pada kedua satpam rumah besar itu.Roy terdiam dan justru melihat berkeliling ke sekitar rumah. "Kamu kenapa? Kamu kenal kawasan ini?" tanyaku heran. Roy mengangguk. "Dulu waktu kecil, aku beberapa kali diajak ke sini. Benar. Ini tempatnya. Di sebelah kiri rumah ini ada warung Padang, di sebelah kanan ada lapangan futsal. Rumahnya di pinggir jalan raya besar. Ini rumah pak Adi! Teman papa yang udah meninggal!" Roy berseru lirih di telingaku."Kamu yakin?" tanyaku menarik lengan Roy untuk segera masuk ke dalam mobil. Roy menurut dan dia pun menghidupkan mesin mobil dan melajukannya membelah jalan raya. Aku berpikir keras. "Roy, kamu mau nggak bekerja sama denganku?""Bekerja sama dalam hal apa? Bekerja sama membuat buku nikah?" tanya Roy sambil tersenyum."Eh ka
Aku yang sedang memegang ponsel, menurunkan benda pipih hitam itu dari telinga tanpa mematikannya terlebih dahulu."Jawab aku, Yul!" tuntutnya seraya duduk di depanku."Dim, aku tidak tahu apa yang kamu katakan," sahutku pura-pura bingung. 'Duh, ini pasti satpamnya yang semalam sudah ngadu ke dia.'"Kamu jangan pura-pura. Selama Ini kan kamu yang paling penasaran soal Romi dan Dion Alexander?"Aku mengernyitkan dahi. Berarti Dimas ini tahu sesuatu tentang keluarga Alexander, sekalian saja kukorek keterangan darinya saja. Semoga saja di rumah semalam, tidak ada CCTV di pintu gerbangnya."Aku nggak ngerti apa yang kamu bicarakan. Apa Romi ada kaitannya dengan ... siapa tadi namanya? Dion Alexander?" tanyaku.Dimas duduk di hadapanku. Lalu meremas tanganku keras. "Jangan ikut campur urusan orang lain, Yul!""Aww! Sakit Dim!" Aku mendelik. Kubalas perbuatannya dengan meremas balik tangannya. Enak saja. Emang yang bisa meremas tangan cuma dia saja. Dimas terlihat kesakitan tapi masih terdi
"Astaga. Mbak puter balik dan pulang sekarang!" terdengar suara Roy yang panik dari seberang telepon sebelum ketiga lelaki itu mendekat dengan cepat kearahku dan tanpa aba-aba melayangkan pukulannya padaku.Buaagh!Refleks kutepis tangan begundal itu sampai beradu dengan tanganku. Laki-laki bertubuh gempal itu menarik tangannya dan mundur selangkah lalu berbisik pada temannya si Gundul.Terasa agak nyeri juga di tangan kananku. Segera aku berdiri dan melompat dari motor. Kumasukkan ponsel ke saku tanpa mematikannya.Hap!Aku masih melihat si Gempal dan si Gundul saling berbisik. Sementara itu si Jangkung mendekatiku.'Pasti si Gempal dan si Gundul membicarakan kekuatan ototku. Huh, mereka kira mudah mengalahkan aku. Mereka salah!'"Kamu juga mau nantangin saya? Saya gak tahu ya situ siapa! Saya pantang nyari musuh. Tapi kalau ada musuh mendekat, saya pantang lari!" Seruku pada si Jangkung.Aku memasang kuda-kuda saat melihat si Jangkung bersiap memukulku.Dan benar saja, si Jangkung m
Aku tersipu. "Sebenarnya hubungan saya dan Romi adalah hanya sekedar pasien dan susternya saja. Lagipula saya melakukan hal ini karena ingin menyelamatkan puluhan pasien rumah sakit jiwa yang terancam telantar jika tanahnya dimenangkan oleh keluarga Romi, padahal Om saya selaku direkturnya saat ini telah menerima hibah tanah tersebut dari temannya 15 tahun yang lalu.""Oh ya? Hanya itu saja?" tanya Pak Jamal seraya menaikkan sebelah alisnya."Tentu saja," sahutku yakin.Pak Jamal tertawa. "Sebenarnya klien saya tidak mengalami gangguan jiwa.""Loh kok bisa?" sahutku penasaran. Sebenarnya ada rasa bahagia mendengarnya. Berarti ada kesempatan untuk mengenalnya lebih jauh. Eh. "Jadi begini, saat itu pak Dion akan bebergian keluar kota untuk mengurus keperluan bisnis. Romi sangat yakin saat itu mobilnya dalam keadaan normal, karena baru saja dikendarai oleh Romi pulang dari kampus. Tapi saat dikendarai oleh pak Dion tiba-tiba remnya blong. Dan beberapa saksi mata mengatakan bahwa saat it