Share

Bab 3

 

Dengan malas kulihat Mas Haikal mengangkat tubuh mungil Neneng ke atas sofa, sedangkan ibu sibuk mengambilkan air dan minyak kayu putih.

 

Beberapa menit kemudian mata Neneng yang dihiasi bulu mata anti badai itu mengerjap lalu terbuka sepenuhnya, ia memandang kami satu persatu.

 

"Kamu ga apa-apa'kan, Neng?" tanya ibu.

 

Entah mengapa aku belum ingin beranjak pergi, masih asyik menonton drama gratisan yang lebih seru dari drama Korea yang sedang hits saat ini.

 

Wanita bertubuh pendek dan mungil itu bergegas bangun, menatapku laksana seorang musuh.

 

"Apa maksud Teh Mutia membuat Aa Haikal ga punya kerjaan?! Teteh jangan egois! Kalau dia ga kerja gimana mau nafkahin Eneng," ujarnya ketus.

 

"Itu bukan urusanku, Neneng! Bukannya kamu cinta sama Mas Haikal, terima dia apa adanya dong."

 

Aku melipat tangan di dada, berdiri dengan pongahnya, sedangkan Neneng kulihat semakin memanas.

 

"Dia itu orang Sunda! Panggil dia Aa," ujarnya sambil mendelik.

 

Bodo amat!

 

"Haikal, apa bener yang dikatakan Mutia?" kini ibu yang bertanya.

 

Sepertinya ia mulai panik, takut kehilangan uang belanja fantastis yang setiap bulan ia nikmati, untuk foya-foya, berbelanja dan mentraktir teman-temannya.

 

"Iya, Bu, ini semua demi menuruti perintah Ibu 'kan, Mutia mengajukan syarat itu." Mas Haikal menunduk dalam, ada gurat putus asa di wajahnya, mengingat di saat seperti ini sangat sulit mencari pekerjaan di luar sana.

 

"Terus kalau kamu nganggur nasib kita gimana? kamu juga Mutia, tega banget menelantarkan suami sendiri," ujar ibu masih dengan nada santai.

 

"Aku ga ridho kalau Neneng ikut menikmati hasil jerih payahku selama ini, emang dia siapa? kalau Neneng mau nikah sama Mas Haikal, itu berarti dia harus siap mulai merintis semua usaha dari nol, jangan mau enaknya aja dong!" 

 

Dengan tegas kuucapkan kalimat menyakitkan itu, membuat Neneng dan ibu saling berpandangan, mereka nampak kesal dan putus asa, rasanya puas sekali bisa menyaksikan kebingungan mereka.

 

Wanita itu harus tahu diri siapa posisinya di sini, ia hanya selir tak mungkin bisa menggeser kedudukan ratu sesungguhnya.

 

"Teteh mah pelit ya ternyata, pantas aja Allah ga kasih anak sampai sekarang, ya begini pelit," cetus Neneng sambil mendelik.

 

Mendengar ucapannya barusan hati ini bergemuruh hebat, ia telah menghinaku habis-habisan, baiklah jika begini itu artinya ia sudah menyeretku ke medan peperangan.

 

Peperangan memperebutkan posisi ratu yang sesungguhnya, walau terdengar konyol tapi aku tak ingin pergi dan menyerah begitu saja, terlebih Mas Haikal pun masih menapakkan rasa cintanya.

 

Terlihat jika cintanya masih lebih besar untukku dibandingkan dengan wanita cempreng itu.

 

"Kalau aku pelit, terus kamu apa? ... benalu? iya bener benalu yang numpang hidup enak sama kakak madunya." Aku tersenyum penuh kemenangan, terlebih saat melihat rona wajahnya berubah kesal.

 

"Kamu jangan gitu, Mutia! Gini-gini juga Neneng itu wanita yang akan mewujudkan cita-cita Haikal menimang seorang anak, hargai dia!" sela ibu membela menantu tersayangnya.

 

Oh ternyata wanita yang selama ini berlaku ramah dan manis padaku itu telah berpindah haluan.

 

"Kok Ibu udah mendahului Tuhan, yakin banget gitu kalau Neneng bakal hamil, anak itu murni urusan sang khalik jika dia ga berkehendak memberi ya ga akan punya, Ibu ini gimana sih, tiap Minggu bolak-balik pengajian tapi hatinya ga bertauhid," jawabku dengan nada santai.

 

Beberapa detik kemudian wajah ibu berubah merah, bak seekor kepiting rebus, lidahnya setajam silet, maka aku pun akan membuat lidah ini setajam belati, sanggup mengiris hati siapa saja yang mencoba mengusik kenyamanan diri.

 

"Ibu yakin karena dia masih muda, rahimnya pasti subur, lihat saja beberapa bulan ke depan ibu bakal menimang cucu, kamu itu ga ngertiin perasaan mertua" timpalnya ketus.

 

"Sudah jangan bertengkar lagi! Sekarang lebih baik Ibu dan Neneng pulang dari pada bikin ribut," timpal Mas Haikal melerai peperangan dingin ini.

 

"Eneng ga mau pulang kalau engga sama Aa!" ujar wanita itu dengan suara cemprengnya.

 

"Semalam aku sudah bersamamu, sekarang waktuku bersama Mutia, aku harus adil! Istriku itu bukan kamu saja," jawab Mas Haikal tegas.

 

Hati ini nyeri membayangkan pekataan Mas Haikal barusan, jiwa dan raganya kini terbagi dua, aku harus siap melewati malam yang dingin seorang diri, kala Mas Haikal bermalam dengan wanita itu.

 

Tak sanggup lagi berada di sini, gegas aku naik ke lantai atas mengambil sesuatu yang tertinggal lalu kembali turun.

 

"Ingat ya, Mas! Benalu itu harus segera pergi dari rumahku! Aku pergi dulu," bisikku, Neneng terlihat membulatkan mata, mungkin ia mendengar perkataanku barusan.

 

*

 

Matahari mulai terik, beberapa jam aku lewati tanpa memikirkan Mas Haikal, tempat kerja adalah tempat ternyaman untuk saat ini, di mana otakku bisa istirahat dari peliknya keadaan rumah tangga kami.

 

"Hai, Mut, liat nih status efbe si Neneng, madu Lo yang rese itu." Tiba-tiba Renata masuk ke ruang kerjaku tanpa permisi.

 

"Dia nulis apaan, Ren?"

 

Renata memperlihatkan layar ponselnya, Neneng menuliskan status sindiran yang ditujukkan untukku di akun efbe-nya, akun yang bernama Neneng Beti Rustini itu menuliskan

 

'Dia perempuan paling tega di dunia, madu jahadt, rese, nyebelin pokoknya, dia juga tamak akan harta menikmati hasil perusahaan suaminya sendirian, kasihan suamiku tersayang jadi pengangguran, pantas saja sudah sepuluh tahun Tuhan belum juga mempercayainya, kita pasti kuat lewati semua ini, biarkan dia memakan harta itu sendirian, sebentar lagi juga kena karmanya'

 

Tak cukup di situ, rupanya status yang ditulis Neneng sudah disukai oleh seratus orang lebih dan dikomentari oleh saudara-saudara ibu mertuaku yang tak kalah rese dari Neneng.

 

'Bibi ga nyangka si Mutia sekejam itu, Neng!'

 

'Dia mh ga bersyukur emang jadi perempuan'

 

'Kok bisa begitu, bukannya pabrik itu milik Haikal?'

 

'Kalau aku jadi kamu, Neng, sudah kucakar-cakar mukanya pake garpu tanah'

 

'Ajakin ngopi bareng, Neng, jangan lupa taburi bubuk sumaida ke kopinya'

 

 

Ya Tuhan komentar mereka semua menghujatku, seolah ada yang meledak di dalam dada, lihat saja Neneng, tunggu pembalasan si Pitung, eh maksudnya pembalasanku!

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status