-----Kabin bisnis ITA Airways diselimuti ketenangan eksklusif di bawah cahaya siang yang menyilaukan. Sinar matahari menyusup lewat jendela oval pesawat, memantul lembut di permukaan meja kecil di samping kursi. Di luar, langit biru terbentang luas, awan-awan tipis tampak melayang seperti kabut kapas di kejauhan. Tapi ketenangan itu tidak menjalar ke dalam hati Senja.Ia duduk di samping Mia, perempuan yang seharusnya menjadi teman perjalanan biasa, tapi kenyataannya menyimpan terlalu banyak teka-teki.Kursi direbahkan setengah, tirai jendela tak sepenuhnya ditutup, dan udara dalam kabin beraroma citrus dari penyegar ruangan. Pramugari baru saja menawarkan prosecco dingin dan kacang panggang. Senja menolak. Ia memilih teh lemon. Mia, seperti biasa, mengangguk sopan tanpa benar-benar memperhatikan."Boleh aku tanya sesuatu, Mia?" Suara Senja pelan, nyaris larut dalam dengung mesin pesawat dan obrolan samar dari penumpang lain yang sedang menikmati siang panjang di langit Eropa.Mia me
-----Bandara Leonardo da Vinci–Fiumicino, Roma. Pagi itu cerah, tapi angin musim panas dari Laut Tirenia yang merayap masuk lewat celah-celah terminal membuat udara tetap terasa lembap.Jam masih menunjukkan pukul sepuluh kurang dua puluh. Bandara sudah penuh sejak pukul enam, seperti sarang lebah yang tak pernah tidur. Di Terminal 3, deru koper dan langkah kaki menjadi irama tak kasatmata, bersatu dengan suara pengumuman berbahasa Italia dan Inggris yang bergema dari pengeras suara.Bau kopi dari kedai Espresso House bercampur dengan aroma logam, parfum mahal, dan jejak peluh manusia yang ingin pulang, meninggalkan, atau memulai sesuatu yang baru.Dan di antara semua itu, duduklah Senja.Ia memilih bangku dekat jendela besar yang menghadap ke landasan pacu. Jendela itu memantulkan bayangan dirinya -rambut panjang yang digulung rapi, bibir pucat tanpa polesan, dan mata yang tak bisa berbohong meski seluruh tubuhnya tampak tenang.Ia baru saja menyelesaikan check-in. Paspor, boarding
-----Senja sedang mencari Damian sore itu untuk berpamitan. Esok pagi, ia akan kembali ke Indonesia. Pihak hotel telah mengonfirmasi jadwal kepulangannya, sesuai arahan dari Surya.Ia sempat turun ke lantai lima -tempat Damian biasanya menginap. Namun, penghuni baru di kamar yang dulu ditempati Kelam mengatakan bahwa Damian tak terlihat sejak semalam.Senja pun memutuskan untuk menelepon. Damian menjawab dan memberi tahu bahwa ia sedang berada di lobi hotel. Tanpa berpikir lama, Senja melangkah turun ke sana.Lobi hotel terbalut cahaya jingga yang jatuh lembut dari langit senja. Waktu menggantung di antara sore dan petang. Aroma kopi hangat bercampur samar dengan parfum tamu-tamu asing -yang mengisi udara dengan kesan yang tak sepenuhnya asing bagi hati yang sedang tak tenang.Senja melangkah perlahan. Ia menarik napas panjang, sebelum berjalan mendekat.Di salah satu sudut sofa, Damian tengah duduk bersama seorang perempuan Latin berambut panjang, berwarna cokelat terang dengan seny
-----Senja mendengar geraman panjang dari Surya, disusul raungan namanya yang menggetarkan. Suaranya dalam, serak, dan sarat kepuasan yang liar -membuat sekujur tubuh Senja terasa terbakar. Bulu romanya meremang. Kedua kaki Senja mengatup gelisah, sementara kepalanya mendongak dengan mata terpejam rapat.Dalam khayalannya, tubuh Surya meliuk di atas tubuhnya, bergerak dalam ritme yang memabukkan. Bibir Senja pun tak kuasa diam, meracau manja, merapal mantra-mantra nakal untuk tubuh si pria."Mas Surya…" desahnya tertahan, sebelum tubuhnya melengkung, tersentak oleh gelombang dahsyat yang melumat kewarasannya.Spontan, kedua tangan yang semula sibuk menyusuri tubuhnya sendiri kini meremas sprei dengan gemetar. Jemarinya mencengkeram erat, seolah mencari pegangan dari gelombang kenikmatan yang menghantam tanpa ampun. Tubuhnya melengkung ke atas, gemetar hebat, sebelum akhirnya jatuh lunglai kembali ke atas ranjang dengan napas yang tersengal.Ini gila!Senja tahu benar sensasi ini -kar
-----"Maukah kau membunuh wanita itu untukku?"Kelam mendengar helaan napas panjang dari seberang sambungan. Senja jelas terkejut, terperangah oleh permintaan yang tak masuk akal itu."Mbak, bercandanya jangan berlebihan begitu dong!"Kelam menunduk. Tatapannya berubah tajam dan dingin. Tak tersisa lagi kelembutan dalam sorot matanya, hanya dendam yang mendidih di balik pupilnya. Cinta yang ia perjuangkan kandas. Kelam dikhianati, sekaligus ditinggalkan.Hubungan dengan sang ayah pun tak jauh lebih baik. Arjuna Wicaksono masih memberinya kuasa dalam bisnis, karena tidak lepas dari peran ketiga Ibunya. Mereka kompak mengancam akan pergi jika Kelam tak diakui, jika hak-haknya dirampas. Untungnya, Arya dan Marisa juga berdiri di sisinya -setidaknya untuk saat ini."Senja, kau tahu kenapa dulu aku dan Mas Dirga putus?""Ma-maksud Mbak Kelam... a-apa?"Kelam tersenyum miring. Nada suara Senja terdengar gugup, nyaris gemetar. Seperti seseorang yang mulai takut akan kebenaran yang selama in
-----Senja duduk di atas ranjang, bersilang kaki dengan potato chips di pangkuan dan diet coke di tangan. Ia tidak sedang melihat telenovela. Tidak, bukan itu! Melainkan ia memandangi -kembali, lukisan yang terpajang di ruang tidurnya. Entah kenapa ia begitu terobsesi dengan lukisan itu sekarang.Layaknya seorang detektif -yang yakin ada clue tersembunyi di balik lukisan tersebut, Senja mengamatinya dengan seksama. Hitung-hitung mengobati kejenuhan di suite mewah. Tidak mungkin juga, Senja terus-menerus meminta Damian untuk menemaninya jalan-jalan. Ia tidak ingin menimbulkan kecemburuan di pihak Donna, pacar Damian.Senja memicingkan mata, menatap leher si wanita dalam lukisan. Ada sesuatu yang familiar -leher jenjang yang menggoda itu, dan tahi lalat kecil di pangkalnya."Siapa kau?" bisiknya. "Kau bukan sekadar objek sensual. Aku tahu, kau nyata."Kedua bola mata Senja bergulir perlahan, dari leher jenjang si wanita menuju punggung lebar dan kokoh milik pria yang menindih tubuhnya.