LOGIN“Rencanaku dari dulu akan selalu sama, Mbak. Melepaskanmu dari jeratan si berengsek Surya,” ujar Arya dengan nada yang penuh amarah terpendam.Kelam menggeleng perlahan. Ia tidak menanggapi langsung, namun tangannya tetap cekatan membersihkan sobekan di tepi bibir Arya dan menekan perlahan memar di pelipisnya dengan kapas berantiseptik. Suasana kamar pun terasa tenang, hanya diisi oleh detak jarum jam yang terdengar samar berpadu dengan aroma antiseptik menggantung tipis di udara.Surya kemungkinan besar sudah kembali ke kamarnya. Atau, mungkin saat ini ia sedang menjejalkan pakaiannya ke dalam koper dengan kepala penuh kekacauan. Kelam tidak tahu pasti. Yang ia yakini hanyalah satu hal: ucapan Surya tadi bukan bualan, bukan ancaman kosong.Perselingkuhan Senja dengan Arya adalah ancaman nyata bagi Surya, dan pria itu tidak akan tinggal diam. Ia pasti akan pulang, memastikan semuanya berhenti sebelum hubungan terlarang itu tumbuh lebih jauh.Terlebih, Surya baru sekali menyentuh Senj
Kehilangan Senja? Di saat ia baru saja menaklukkan wanita itu di atas ranjang?Ada keraguan yang mengendap di hati Arya; secuil rasa egois muncul. Untuk sekali saja, ia ingin meraih kebahagiaan bagi dirinya sendiri. Rasa cintanya pada Senja telah ia simpan begitu lama, jauh sebelum keluarga Mulia memintanya menjadi calon suami Senja. Namun perasaan itu terpaksa ia pendam karena rumitnya hubungan antara Kelam dan Dirga.Ketika asmara di antara dirinya dan Senja akhirnya mulai terajut, harapan itu kembali runtuh. Sekali lagi, Arya dipaksa mengalah—karena Senja menginginkan Surya, dan Surya membalas perasaan itu. Hatinya hancur. Ia menjauh, menenggelamkan diri dalam hiruk-pikuk dunia malam. Hingga pada akhirnya, takdir menuntunnya kepada Lisette.Lisette adalah sosok teman yang baik; ia mendengarkan luka Arya dan ikut merasakan getir kisah cintanya—juga kisah cinta Kelam. Baik Lisette maupun Damian bersedia membantu. Mereka menyusun rencana untuk membuat Senja tersadar dari kebutaannya t
Arya tersenyum kecil ketika membaca sebuah pesan dari kekasih bisnis-nya, Lisette Alcantara. Isinya ucapan selamat karena ia berhasil meniduri Senja. Hubungan mereka tak pernah melibatkan perasaan, hanya sekadar kesenangan dan status. Lisette sejak awal menegaskan Arya bukan tipe prianya. Wanita mungil itu terkenal sangat pemilih—begitu kata Damian, kakak tirinya.Mungkin karena hatinya masih terkunci pada pria pujaan yang nyaris menjadi suaminya, yang meninggal dalam kecelakaan di Indonesia. Sejak saat itu, Lisette menutup diri. Jika ada pria singgah, tempat singgah itu hanya ranjangnya, bukan hatinya."Sedang asyik berbalas pesan dengan siapa?" Sebuah suara membuat Arya menoleh.Mia sudah berdiri di belakangnya. Berbeda dari penampilan menantang sebelumnya, kali ini ia tampak santai namun tetap anggun dalam piyama panjang. Kesederhanaan itu tetap tak mampu menyembunyikan auranya sebagai bangsawan. Siapa yang tak kenal keluarga De Luca dan Montgomery? Surya benar-benar bodoh meningga
[Gunakan ini untuk menjerat kembali D-mu!]Mia berdecak. Ia melihat jelas tanda centang biru di aplikasi pesan, tapi sudah tiga puluh menit berlalu tanpa balasan.Segera ia menekan nomor itu, mengulanginya hingga tiga kali, namun hasilnya tetap sama—nihil. Ada apa gerangan?Mia melempar ponselnya ke atas ranjang. Mungkin ia akan tidur saja, lalu menghubunginya kembali esok hari. Namun, ketukan di pintu membuatnya urung.“Siapa?” sahut Mia.“Ini aku, Mia … Arya,” jawab suara dari balik pintu.Sekilas Mia menoleh pada laptop yang masih terbuka di meja. Senyum penuh arti tersungging di bibirnya sebelum ia menjawab, “Sebentar ya ….”Pikiran liar berkelana. Mia tahu Arya mencintai Senja, tapi ia juga sadar pria itu masih menjalin hubungan dengan Lisette. Meski hubungan mereka hanya didasari urusan bisnis tanpa melibatkan perasaan, Mia paham keduanya beberapa kali sempat tidur bersama. Friends with benefit, begitu mereka menyebutnya.Mia pun berpikir, mungkin ia bisa menerapkan hal serupa d
Mia berdiri bersedekap di depan pintu kediaman Kemuning Raya. Tatapannya mengikuti sebuah sedan silver mewah yang berputar mengelilingi taman mawar dengan air mancur, sebelum akhirnya berhenti di sisi lajur kiri.Dari dalam, keluar seorang pria dengan postur tinggi tegap. Hanya dengan balutan kaos hitam dan celana jeans biru tua, kharismanya sudah cukup untuk memikat perhatian. Kacamata hitam bertengger di atas hidung bangirnya, menyembunyikan sepasang mata elang yang berkilat tajam namun terkadang melayangkan pandangan mendamba kepada kekasih yang terpilih.Dialah Arya Baskara Wicaksono—darah Arjuna Wicaksono dari garis ayah, dan kecerdasan Amirah dari rahim ibunya. Warisan fisik sang ayah berpadu dengan kejernihan akal sang ibu menjadikannya sosok menawan, salah satu primadona di dunia bisnis maupun masyarakat luas, sejajar dengan nama besar Dirgantara Mulia.Mia berdecak kagum dalam hati, mengagumi kesempurnaan yang pria itu sandang. Sayangnya, hatinya telah terikat pada sosok lain
Senja duduk bersila di atas ranjang, senyum tipisnya merekah tanpa ia sadari. Ponsel di pangkuannya masih menyala, menampilkan satu pesan yang masuk sejak siang tadi—dari Arya.[Pendek, aku merindukanmu. Mas datang, ya, hari ini?]Pesan itu belum juga ia balas. Ia hanya menatapnya lama, membiarkan perasaan campur aduk menyusup ke relung hati. Ingatan tentang tiga puluh menit kemarin sore—saat tubuhnya berpadu dengan mantan—masih berputar-putar di kepalanya.Senyumnya perlahan pudar, berganti gurat murung. Kesadaran akan pengkhianatannya pada sang suami menghantam batinnya. Namun, bayangan bagaimana Arya menyentuh dan menaklukkannya terus merambat masuk, membuat Senja nyaris kehilangan kendali. Nafasnya tercekat, tubuhnya bergetar. Jemarinya dengan ragu menyusuri kulitnya sendiri, seolah mencari kembali jejak panas itu, hingga ia terkulai menggeliat di atas ranjang, dirundung hasrat dan rasa bersalah yang saling menelan."Mas Arya...," desahnya lirih, disertai racauan nakal penuh kata-







